Jakarta, MINA – Informasi terkait Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memutuskan untuk mengambil alih Jalur Gaza sepenuhnya dan respons internasional maupun warga di Gaza menjadi sorotan pembaca Minanews.net dalam sepekan (4-10 Agustus 2025).
Langkah itu memicu penolakan dari kalangan militer, mantan pejabat keamanan Israel, warga Palestina, keluarga sandera, hingga komunitas internasional.
Media Israel Yedioth Ahronoth mengutip pejabat dekat Netanyahu yang menyebut bahwa keputusan itu bersifat final, bahkan mencakup operasi militer di wilayah padat penduduk dan kamp pengungsi.
Channel 12 Israel menyebut rencana tersebut sebagai perubahan besar strategi, meski bertentangan dengan penilaian Kepala Staf Angkatan Bersenjata Eyal Zamir.
Baca Juga: Setidaknya 23 Warga Gaza Meninggal Akibat Bantuan dari Udara
Zamir memperingatkan pendudukan penuh akan menjadi “jebakan strategis” yang dapat membahayakan tentara, para sandera, dan stabilitas Israel. Laporan harian Maariv memperkirakan sekitar 50 sandera, termasuk 20 yang diyakini masih hidup, berisiko tewas jika operasi besar-besaran dilakukan.
Gerakan Commanders for Israel’s Security (CIS), yang beranggotakan lebih dari 550 mantan pejabat militer, intelijen, dan diplomasi Israel, turut mengecam rencana tersebut. Mereka menilai langkah itu bertentangan dengan kepentingan keamanan jangka panjang Israel.
Di sisi lain, Hamas menyatakan pendudukan penuh akan gagal total dan merupakan pelanggaran Konvensi Jenewa, menegaskan rakyat Palestina tetap bertahan menghadapi agresi.
“Zionis akan menelan biaya yang mahal dan tidak akan mudah. Rakyat dan perlawanan kami masih tangguh menghadapinya,” pernyataan Hamas Jumat (8/8) menanggapi hasil rapat Kabinet Zionis tersebut.
Baca Juga: Pemukim Yahudi Serang Sumber Air di Tepi Barat
“Kami juga sepenuhnya menyatakan tidak akan menyerah menghadapi rencana tersebut,” lanjutnya.
Selain itu, salah satu warga Gaza,Ahmed Hirz yang sudah menderita akibat blokade dan serangan sejak Oktober 2023, menolak meninggalkan rumah mereka.
“Demi Tuhan, saya sudah menghadapi kematian sekitar 100 kali, jadi bagi saya, lebih baik mati di sini. Kami telah melewati penderitaan, kelaparan, penyiksaan, serta kondisi yang menyedihkan. Keputusan akhir kami adalah lebih baik mati di sini,” ujar Ahmed Hirz.
Penolakan juga datang dari keluarga sandera Israel, yang berunjuk rasa di depan rumah Menteri Pertahanan Yoav Gallant dan mendesak pertukaran tahanan. Mereka khawatir operasi besar justru akan membunuh tawanan.
Baca Juga: Warga Gaza Tegaskan Tolak Tinggalkan Wilayahnya Meski Israel Ancam Ambil Alih
Sementara itu, dunia internasional ikut bereaksi. Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, menegaskan penolakan terhadap seluruh bentuk permukiman Israel, termasuk di Tepi Barat dan Gaza.
“Italia menentang setiap bentuk permukiman Israel di Tepi Barat karena hal itu akan melemahkan fondasi proyek ‘dua bangsa, dua negara’ -satu-satunya solusi untuk membangun perdamaian yang stabil di Timur Tengah,” tulis Tajani dalam pernyataan di platform X, Rabu (6/8).
Ia memperingatkan bahwa ekspansi permukiman melanggar hukum internasional dan mengancam Solusi Dua Negara sebagai jalan menuju perdamaian.
Rencana Netanyahu yang disetujui Kabinet Keamanan Israel ini memuat lima prinsip, termasuk melucuti senjata Hamas, memulangkan sandera, dan mempertahankan kendali keamanan Israel atas Gaza. Namun mayoritas menteri mengakui langkah tersebut tidak menjamin Hamas akan hilang atau sandera dibebaskan.[]
Baca Juga: Israel Ultimatum Warga Gaza untuk Mengungsi sebelum 7 Oktober 2025
Mi’raj News Agency (MINA)