Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[POPULER MINA] Proposal Trump Soal Gaza dan Kembalinya Relawan Sumud Flotilla 

Hasanatun Aliyah Editor : Rudi Hendrik - 2 menit yang lalu

2 menit yang lalu

0 Views

Global Sumud Flotilla. (Quds Press)

MINA – Informasi terkait proposal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal gencatan senjata di Gaza, Palestina dan kembalinya relawan Sumud Flotilla menjadi sorotan pembaca Minanews.net edisi 29 September – 5 Oktober 2025.

Proposal Trump soal gencatan senjata di Gaza 

Delapan negara Muslim, termasuk Indonesia, Turki, Arab Saudi, dan Qatar, menyatakan dukungan terhadap proposal perdamaian yang diajukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menghentikan perang di Gaza.

Rencana bertajuk “20 Poin Perdamaian Trump” itu mencakup penghentian perang, rekonstruksi Gaza, larangan pengusiran warga Palestina, pembebasan sandera, penarikan pasukan Israel, serta penyatuan Gaza dan Tepi Barat dalam kerangka solusi dua negara. Dukungan dari negara-negara Islam ini dinilai memberi legitimasi baru dan memperkuat peluang terciptanya kesepakatan damai yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.

Baca Juga: Ratusan Ribu Warga Spanyol Demo Tuntut Akhiri Genosida di Gaza

Namun, rencana tersebut memunculkan sejumlah keraguan. Amerika Serikat kerap dinilai terlalu berpihak kepada Israel, sementara rincian teknis mengenai penarikan pasukan dan jaminan keamanan belum dijelaskan secara detail. Ketiadaan keterlibatan langsung Hamas dan faksi Palestina lainnya dalam proses perumusan proposal juga menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi internal. Meski demikian, Uni Eropa menyambut proposal ini sebagai peluang nyata, sedangkan Israel menyatakan dukungan bersyarat, menegaskan akan tetap mempertahankan kendali keamanan di Gaza.

Sementara Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menyatakan akan mempelajari proposal tersebut dengan hati-hati, terutama yang berkaitan dengan jaminan hak dan kepentingan rakyat Palestina.

“Kami belum menerima salinan resmi rencana Amerika Serikat, namun kami serius ingin membebaskan tahanan dan memastikan penarikan pasukan pendudukan,” ujar juru bicara Hamas, Taher al-Nunu, dalam pernyataannya pada Senin (29/9).

Ia juga menegaskan kesiapan Hamas untuk gencatan senjata jangka panjang dan menyambut usulan Mesir mengenai pembentukan pemerintahan independen di Jalur Gaza.

Baca Juga: 137 Aktivis Global Sumud Flotilla Tiba di Istanbul Setelah Dipenjara Israel, Termasuk 23 Warga Malaysia

Dalam tanggapan resminya, Hamas menyatakan menyetujui sebagian isi rencana Trump, terutama terkait pembebasan sandera, dengan catatan perlu negosiasi lebih lanjut. Pejabat senior Hamas, Mousa Abu Marzouk, menyebut proposal tersebut “tidak dapat dilaksanakan tanpa negosiasi langsung.”

Ia juga menambahkan bahwa pembebasan seluruh sandera dalam waktu 72 jam, seperti yang diatur dalam rencana itu, sulit dilakukan karena beberapa sandera mungkin sudah meninggal. Sementara itu, Hamas menolak kehadiran administrasi atau pasukan asing di Gaza dan menegaskan bahwa kendali penuh harus diserahkan kepada otoritas Palestina yang independen.

Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak sepenuhnya ketentuan yang mengharuskan penarikan total pasukan Israel dari Gaza.

Dalam pernyataan video pada Selasa (30/9), Netanyahu menegaskan bahwa pasukan Israel “akan tetap berada di sebagian besar Jalur Gaza” demi alasan keamanan dan memastikan pembebasan seluruh sandera Israel.

Baca Juga: PBB Siap Salurkan Bantuan Masif Jika Usulan Gencatan Senjata Gaza Terwujud

Pernyataan itu bertentangan dengan isi proposal Trump yang menegaskan bahwa Israel “tidak akan menduduki atau mencaplok Gaza,” melainkan menarik pasukannya secara bertahap.

Meski menyambut baik respons Hamas, Trump menegaskan pentingnya menghentikan kekerasan segera. Ia menyatakan optimisme bahwa kedua pihak “siap menuju perdamaian abadi.” Namun, situasi di lapangan berkata lain. Tentara Israel dilaporkan masih melancarkan serangan udara intensif di Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 60 warga Palestina, termasuk anak-anak, pada Sabtu (4/10).

Serangan tersebut menghantam permukiman padat penduduk di wilayah al-Tuffah, al-Yarmouk, dan al-Labbabidi di Kota Gaza.

Gelombang serangan yang terus berlangsung ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen Israel terhadap proses perdamaian yang diusulkan.

Baca Juga: Topan Matmo akan Hantam Hainan dan Guangdong, Cina

Banyak pihak menilai, tanpa adanya gencatan senjata yang nyata dan jaminan penghentian kekerasan, proposal Trump hanya akan menjadi dokumen politik tanpa dampak di lapangan. Meski begitu, keterlibatan aktif negara-negara Muslim dan mulai terbukanya Hamas terhadap negosiasi memberi harapan tipis bahwa upaya diplomasi kali ini dapat menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen bagi Gaza dan seluruh Palestina.

Kembalinya Relawan Sumud Flotilla 

Misi Kemanusiaan Global Sumud Flotilla (GSF) merupakan armada kemanusiaan internasional yang bertujuan membawa bantuan ke Gaza sekaligus menyoroti blokade ilegal Israel terhadap wilayah tersebut. Sebanyak 44 kapal berpartisipasi dalam misi ini sebelum 42 di antaranya dibajak oleh Angkatan Laut Israel dalam operasi yang berlangsung selama 38 jam di perairan internasional sejak Rabu (1/10).

Penyerangan itu disertai dengan penangkapan ratusan relawan serta penahanan seluruh bantuan kemanusiaan agar tidak sampai ke Gaza.

Baca Juga: Penutupan Pemerintah AS Memasuki Hari Ketiga, Negosiasi Masih Buntu

Dua relawan asal Indonesia, Muhammad Fatur Rohman dari Aqsa Working Group (AWG) dan aktivis publik Wanda Hamidah, telah kembali ke Tanah Air setelah mengikuti misi kemanusiaan tersebut. Mereka tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Sabtu (4/10) malam, dan kemudian berbagi pengalaman kepada media di Jakarta Selatan. Fatur, yang juga anggota Ukhuwah Al Fatah Rescue (UAR), menjadi satu-satunya delegasi Indonesia di kapal Kamr bersama lima relawan lain dari Mauritania dan Aljazair.

“Kita akan buat lagi gelombang-gelombang berikutnya yang jauh lebih besar untuk menembus gaza/">blokade Gaza,” ujarnya.

Sementara itu, Wanda Hamidah berangkat bersama rombongan Indonesian Global Peace Convoy (IGPC) di kapal Kaiser. Dalam perjalanan, ia sempat bertemu Fatur di Pelabuhan Sidi Bou Said, Tunisia, sebelum berpisah di kapal masing-masing. Wanda mengaku telah mempersiapkan diri menghadapi risiko besar.

“Kami pasrah jika ditangkap dan dipenjara, karena yang kami perjuangkan adalah hak rakyat Palestina untuk hidup,” tuturnya.

Baca Juga: Partai Oposisi Prancis Desak Macron Usir Duta Besar Israel

Namun perjalanan armada tidak berjalan mulus. Sejumlah kapal, termasuk Kaiser dan Observer Nusantara, mengalami kerusakan teknis saat tiba di Sisilia, Italia. Akibatnya, delegasi Indonesia dan puluhan relawan dari berbagai negara tertahan selama dua pekan menunggu kapal pengganti. Harapan untuk melanjutkan perjalanan pupus ketika kapal Nusantara tidak diizinkan berlayar karena alasan keselamatan.

“Sampai hari terakhir kami masih berharap bisa berangkat, tapi akhirnya tidak ada lagi kapal yang melanjutkan perjalanan,” kata Fatur.

Meski misi kali ini belum berhasil mencapai Gaza, baik Wanda maupun Fatur menegaskan tekad untuk terus mendukung perjuangan rakyat Palestina.

“Kami tidak berhenti di sini. Misi ini akan terus berlanjut sampai blokade keji Israel benar-benar runtuh,” ujar Fatur.

Baca Juga: Lebih dari 300 Lembaga Budaya Belanda dan Belgia Boikot Israel

Upaya mereka dianggap sebagai bagian dari gerakan kemanusiaan global yang terus menekan Israel agar membuka akses bantuan ke Gaza.

Sementara itu, sebanyak 137 aktivis GSF termasuk 36 warga Turki dan 23 warga Malaysia akhirnya tiba di Istanbul dengan pesawat khusus Turkish Airlines pada Sabtu (4/10), setelah sebelumnya diculik dan dipenjara secara ilegal oleh Israel di perairan internasional. Pesawat tersebut mendarat pukul 12.40 waktu setempat setelah berangkat dari Bandara Ramon di Eilat. Kedatangan mereka disambut langsung oleh Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan, yang memuji keberanian para aktivis.

“Mereka telah mengambil sikap terhormat melawan penindasan dan menjadi suara kaum tertindas,” tegas Fidan.

Para aktivis berasal dari 14 negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Aljazair, Maroko, Italia, Kuwait, Libya, Mauritania, Swiss, Tunisia, dan Yordania.[]

Baca Juga: 36 Warga Negara Turkiye Aktivis Global Sumud Dipulangkan

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda