Potret Perbandingan Pengungsi Eropa di Timur Tengah dan Imigran Suriah di Eropa Saat Ini

Oleh: Widi Kusnadi, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Menurut laporan resmi badan PBB untuk , UNHCR yang dirilis dalam laman resminya, memperingati Hari Pengungsi Internasional, 20 Juni lalu melaporkan, sebanyak 65,3 juta orang menjadi pengungsi, 51 persen di antaranya adalah anak-anak. Lebih dari setengahnya berasal dari tiga negara dengan konflik paling parah, yaitu , Afganistan, dan Somalia.

Turki adalah salah satu negara penerima pengungsi terbesar di dunia dengan menampung 2,5 juta orang, disusul Pakistan (1,6 juta), Lebanon (1,1 juta) Jerman (500 ribu), Amerika Serikat (172 ribu) juga Swedia dan Rusia (masing-masing 150 ribu). Khusus pengungsi Suriah, data Desember 2015 menyebutkan, hampir satu juta rakyat Suriah bermigrasi menuju Eropa. Sebanyak 10 ribu diantaranya dinyatakan tenggelam di perairan Mediterania dalam perjalannya menuju benua biru itu.

Perlu kita ketahui bahwa pada dua, gelombang pengungsi dari negara-negara Eropa juga membanjiri wilayah-wilayah Timur Tengah, Afrika, dan Rusia (dahulu masih bernama Uni Soviet). Wilayah-wilayah yang teribat konflik perang, para penduduknya melakukan eksodus besar-besaran, menyebar ke berbagai penjuru.

Lantas, bagaimana kondisi mereka? Apakah nasib para pengungsi asal Eropa 70 tahun lalu yang lari ke negeri-negeri di Timur tengah sama dengan para pengungsi Timur Tengah saat ini berada di Eropa? Mari kita simak ulasan berikut.

Pengungsi Eropa pada Perang Dunia Dua

Saat Perang Dunia Kedua, ketika Nazi menguasai Jerman dan mulai melebarkan pengaruh dan kekuasaannya ke negara Eropa lainnya, jutaan orang, termasuk etnis harus menjadi Pengungsi dan melakukan migrasi besar-besaran menjauh dari kejaran Nazi.

Data dari Jewish Virtual Library menunjukkan fakta memilukan, sedikitnya ada enam juta etnis Yahudi di seluruh Eropa terbunuh dan jutaan lainnya menjadi pengungsi.

Sebuah media non profit berbasis di Minneapolis, Amerika Serikat (AS) pada Ahad (26/6) merilis sebuah artikel yang mengulas bagaimana keadaan para pengungsi Eropa yang mengadu nasib ke negara-negara Timur Tengah seperti Suriah, Palestina, dan Mesir pada Perang Dunia Dua 1944 silam.

Berdasarkan catatan sejarah Dinas Sosial Internasional, di Amerika Serikat yang tersimpan dalam arsip Sejarah di University of Minnesota, seorang Jenderal Angkatan Darat AS, Allen Gullion dan Direktur Badan PBB untuk Pengungsi, Fred K. Hoehler mengatakan, ratusan ribu pengungsi Eropa (sebagian besar berasal dari sebagian besar dari Bulgaria, Kroasia, Yunani, Turki, dan Yugoslavia ) yang berada di negeri-negeri Timur tengah seolah mendapatkan surga di tempat pengungsian mereka.

Sebuah organisasi non profit yang menangani masalah pengungsi MERRA (Middle East Relief and Refugee Administration) berkoordinasi dengan pemerintah setempat memberikan bantuan akomodasi gratis kepada para pengungsi Eropa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (dengan adanya rumah sakit darurat) dan pendidikan bagi anak-anak di kamp-kamp pengungsian.

Lembaga ini melakukan aksi sosialnya di beberapa kota seperti di Alleppo (Suriah), Nuseirat (Gaza, Palestina), Tolumbat, Khatatba, dan Moses Wells (Mesir).  MERRA juga menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga internasional seperti Badan Pengungsi Internasional (International Migration Service), Palang Merah (the Red Cross), dan Lembaga Perlindungan Anak (Save Children Fund) Lembaga itu bekerja secara profesional.

Para pengungsi didata oleh petugas kamp dan menerima kartu identitas yang dikeluarkan oleh lembaga. Kartu identitas itu memuat informasi seperti nama lengkap dan asal pengungsi, jenis kelamin, nomor perkemahan, riwayat pendidikan, status, tanggal kedatangan, serta pekerjaan dan keahlian khusus yang mereka miliki.

Dalam arsip MERRA, lembaga itu memberi pelayanan kepada lebih dari 40.000 pengungsi, sebagian besar wanita dan anak-anak. Untuk pengungsi yang bersama-sama dengan keluarga, disediakan kamp khusus. Para pengungsi dapat pergi ke luar kamp, melihat kondisi kehidupan masyarakat sekitar. Bagi para laki-laki dewasa, mereka diizinkan untuk mencari pekerjaan di kota tersebut di bawah pengawasan petugas. Bahkan di Moses Wells, pengungsi diizinkan untuk menghabiskan waktu setiap hari dengan menikmati keindahan Laut Merah yang hanya berjarak beberapa kilo meter dari kamp.

Pengungsi yang cukup beruntung memiliki uang bisa membeli kacang, buah zaitun, minyak, buah, teh, dan kopi di toko-toko lokal. Selain itu, mereka bisa membeli sabun, pisau cukur, pensil, kertas, perangko, dan barang-barang lainnya.

Di kamp pengungsian Aleppo, misalnya, petugas memberikan pelatihan bagi pengungsi wanita seperti pelatihan keperawatan, membuat makanan ringan, dan menjualnya di pasar terdekat. Mereka didorong untuk bekerja sebagai juru masak, petugas pembersih, penjaga toko, penjahit, tukang batu, tukang kayu atau tukang pipa.

Petugas juga berusaha menciptakan peluang bagi pengungsi untuk menggunakan keterampilan mereka dalam pertukangan dan seni lukis sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan dan hidup layak bersama keluarganya. Sedangkan bagi pengungsi yang memiliki keahlian profesional, mereka bisa menjadi kepala sekolah atau mandor.

Untuk para wanita, mereka dapat melakukan pekerjaan rumah tangga tambahan seperti menjahit, laundry, dan pembantu rumah tangga. Dalam sebuah artikel American Journal of Nursing, Badan Pelayanan Migrasi Internasional juga memberikan ijazah bagi para pengungsi yang mengikuti pelatihan keperawatan.

Seorang perawat terkenal bernama Margaret G. Arnstein mendapatkan kesempatan untuk memberi pelatihan keperawatan kepada pengungsi. Arnstein mencatat bahwa kurikulum keperawatan yang diajarkan menekankan pengalaman praktis lebih dari teori dan terminologi.

Kondisi Imigran di Eropa Saat ini

Gelombang Xenofobia (perasaan benci terhadap orang asing) saat ini sedang melanda negara-negara Eropa. Salah satu puncak dari Xenofobia adalah kerajaan Britania Raya yang keluar dari Uni Eropa yang terkenal dengan Brexit (Britain Exit). Berdasarkan data, jumlah imigrasi di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu orang.

Tidak hanya dari pengungsi asal Timur Tengah dan Afrika saja, tapi imigran juga berasal dari negara-negara berkembang di Eropa seperti Polandia, Rumania, dan Lithuania. Saat ini ada sekitar 3 juta pekerja Uni Eropa bekerja di Inggris.

Adanya imigran tersebut berdampak terhadap masalah-masalah sosial warga asli Inggris. Mereka merasa kedatangan imigran akan memperkecil lapangan pekerjaan dan memberatkan pemerintah akibat tanggungan biaya jaminan sosial. Selain itu, imigran dinilai menjadi perusak budaya masyarakat lokal berdampak meningkatnya angka kriminalitas.

Kembali ke masalah imigran, Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur sebagai pemimpin umat Islam seluruh dunia menghimbau kepada negara-negara Islam di Timur Tengah khususnya, juga negara-negara Eropa dan Amerika untuk bahu membahu mengatasi masalah pengungsi saat ini.

“Dalam memberikan pertolongan, kita tidak boleh membeda-bedakan berdasarkan ras, suku, agama, golongan dan perbedaan lainnya. Mereka manusia, sama seperti kita. Maka sudah seharusnya kita menolong mereka,” tegasnya.

Pemimpin Katolik, Paus Fransiskus pada 25 Maret 2016 mengkritik Eropa yang tidak peduli dan mematikan nuraninya terhadap penderitaan para pengungsi yang sedang berjuang menyelamatkan diri. Paus menyampaikan kritik pedasnya itu saat memimpin ibadah Jumat Agung di Vatikan.

“O Salib Kristus, hari ini kami melihatmu di Laut Mediterania dan Aegean yang menjadi pemakaman yang tak terpuaskan, refleksi dari ketidakpedulian kami dan mematikan nurani,” kata Paus Fransiskus seperti dikutip CNN.

Paus juga menyerukan agar masyarakat internasional membuka pintu mereka untuk para pengungsi dan melawan sikap Xenophobia.

Sementara itu, Daily Mail melaporkan, Menteri Dalam Negeri Yunani Panagiotis Kouroublis mengatakan kamp pengungsi imigran asal Timur Tengah di Idomeni lebih buruk daripada kamp konsentrasi Nazi, Dachau.

Kamp Idomeni terletak di perbatasan Yunani dengan Makedonia. Kondisi kamp Idomeni, kata Kouroublis, sangat kumuh dan tidak layak huni serta begitu menyedihkan. Hujan yang mengguyur secara terus-menerus telah membuat kamp tersebut tak ubahnya seperti rawa.

Ribuan orang tidur di tenda-tenda kecil di tanah berlumpur dan selokan. Mereka harus antre selama berjam-jam untuk mendapatkan makanan dari lembaga bantuan. Puluhan anak-anak menderita pilek dan demam dan tidak mendapatkan perawatan karena masih harus menunggu lembaga bantuan yang bermurah hati.

Uni Eropa dan Turki

Uni Eropa dan Turki mencapai persetujuan bersejarah dengan mengekang arus masuk pendatang ke Eropa. Kasus pengungsi ini merupakan krisis terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.

Berdasarkan kesepakatan itu, semua pendatang yang tiba di Yunani dari Turki mulai Sabtu, 19 Maret 2016, dikirim kembali ke Turki. Namun pemimpin negara Eropa mengatakan tugas sulit adalah menunggu pelaksanaan perjanjian itu.

Sementara itu, Kesediaan Jerman menerima pengungsi, terutama dari Suriah, dalam beberapa waktu terakhir ini tak lepas dari situasi darurat yang terjadi di Hongaria dan rasa solidaritas di masyarakat Jerman sendiri.

Hal ini disampaikan Berthold Damshauser, pemerhati masalah sosial di Bonn, ketika ditanya tentang sikap Jerman terkait krisis pengungsi di Eropa. “Ada situasi darurat di Hongaria di mana para pengungsi tidak ditangani dengan baik, sehingga pemerintah Jerman membuka jalan bagi mereka,” ujar Damshauser kepada BBC.

Penerimaan secara terbuka sebagian masyarakat Jerman ini, menurut Damshauser, mungkin disebabkan oleh pengalaman warga Jerman di masa lalu. Jerman kalah di Perang Dunia II dan jutaan warga Jerman menjadi pengungsi dan terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka di Jerman bagian timur.

Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, mengatakan, para pemimpin Eropa perlu lebih mengoordinasikan kebijakan-kebijakan. Selain itu, para pemimpin juga perlu melawan xenofobia dan melawan stereotip negatif tentang pengungsi. “Mereka yang melakukan sebaliknya, yang mengaduk opini publik dengan melawan pengungsi, harus bertanggung jawab karena menciptakan iklim Xenofobia,” kata Grandi.

Ia menilai, suasana anti-imigran ini sudah sangat mengkhawatirkan di Eropa. Grandi mengatakan, sebagian besar orang mengungsi karena perang dan tuntutan. Ditambah, ancaman untuk mereka semakin meningkat. Ketika mencoba menyelamatkan diri, mereka terancam tenggelam di laut dan dihalau di perbatasan.

Imigran Bukan Ancaman

Secara teori, keberadaan para pendatang sebenarnya menjadi salah satu pilar utama sebuah daerah atau negara untuk bisa lebih memajukan perekonomiannya. Mereka akan memberikan warna berbeda dengan penduduk asli dan akan lebih bersemangat untuk dapat bekerja secara profesional karena berada di perantauan.

Para imigran di Eropa sejatinya bukan merupakan ancaman bagi penduduk asli di benua biru itu. Justru keberadaan mereka dapat memacu perkembangan ekonomi, terutama sektor UKM dan dapat memenuhi kekurangan tenaga kerja, terutama pekerja menengah dan profesional.

Sebagai contoh, sejak adanya imigran Muslim di Inggris, negara itu telah mendeklarasikan diri sebagai salah satu pusat bisnis syariah di kawasan Eropa. Negara ini terus berbenah untuk menjadi kiblat baru bagi sistem keuangan syariah.

Hampir setiap menjelang Ramadhan, kota ini disesaki oleh kedatangan penduduk kaya Timur Tengah yang ingin berbelanja barang-barang bermerek. Tak heran, jika London pun menjadi kota lahirnya orang-orang kaya Muslim dari berbagai dunia.

Mengutip laporan Standar.co.uk, Dewan Muslim Inggris merilis penilaian terhadap kontribusi Muslim bagi perekonomian Inggris. Mereka memperkirakan bahwa saat ini London memiliki lebih dari 10.000 jutawan Muslim, dengan aset likuid lebih dari 3,6 miliar poundsterling.

Selain itu, ada 13.400 bisnis milik Muslim di London yang menciptakan lebih dari 70.000 lapangan kerja dan mewakili lebih dari 33 persen dari Usaha Kecil Menengah (UKM) di London.

The Sunday Times bahkan mencatat ada lebih dari 15 Muslim yang masuk daftar terkaya. Mereka berbisnis di bidang ritel, hotel, dan keuangan. Ada nama Mohamed Bin Issa Al Jaber (bisnis perhotelan), Mohamed al-Fayed (mantan pemilik klub sepak bola Fulham FC) , Fakhruddin Suterwalla (Pengusaha makanan), Camilla al-Fayed (bisnis Fesyen), Rasha Said (ahli keuangan kelahiran Suriah) dan masih banyak lagi.

Tidak hanya itu, kehadiran imigran juga dapat mengangkat prestasi dan martabat negara tempat mereka tinggal. Lihatlah para atlit yang berjuang membawa bendera negara tempat ia tinggal. Ada petinju legendari Muhammad Ali (Tinju), Kareem Abdul Jabbar (Basket)yang mengharumkan nama Amerika Serikat. Ada Zinedine Zidane, Kareem Benzema (Sepak bola) yang mengharumkan nama Prancis, dan masih banyak lagi sederet atlit yang mulanya menjadi imigran, kemudian mengharumkan negara tempat ia tinggal. (R03/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.