Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PP Muhammadiyah Kritik RUU KUHAP: Abaikan Prinsip Keadilan dan HAM

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 10 jam yang lalu

10 jam yang lalu

5 Views

Ilustrasi. Bendera Muhammadiyah (Foto: Shutterstock)

Jakarta, MINA – Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melontarkan kritik keras terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah.

Dalam pernyataan resminya, Muhammadiyah menilai sejumlah pasal dalam RUU KUHAP mengandung potensi pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan, perlindungan HAM, dan partisipasi publik yang substansial.

“Proses penyusunan RUU KUHAP yang terburu-buru dan minim partisipasi publik menimbulkan keprihatinan mendalam. Ini berpotensi menghasilkan produk hukum yang cacat legitimasi,” demikian bunyi pernyataan yang ditandatangani Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Dr Trisno Raharjo, dan Sekretarisnya, M. Alfian, diterima MINA, Sabtu (26/7).

Majelis menyoroti lemahnya transparansi dalam pembahasan RUU KUHAP. Disebutkan, pembahasan 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya dilakukan dalam waktu dua hari, yakni 9–10 Juli 2025. Hal ini dinilai sebagai indikasi kuat bahwa penyusunan beleid penting ini dilakukan tanpa perencanaan matang dan keterlibatan publik yang memadai.

Baca Juga: Kelaparan di Gaza Jadi Seruan Utama Aksi Ribuan Warga di CFD

Lebih lanjut, Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah mengungkapkan kekhawatiran atas sejumlah pasal yang dianggap berbahaya bagi perlindungan hak-hak dasar warga negara. Di antaranya adalah Pasal 90 yang memungkinkan penangkapan terhadap tersangka hingga tujuh hari, jauh melampaui standar internasional yang hanya membolehkan 48 jam.

Selain itu, penghapusan ketentuan pembatalan status tersangka akibat penyiksaan, diperbolehkannya pengakuan bersalah di tingkat penyidikan tanpa pengawasan yang ketat, serta penggunaan saksi mahkota tanpa jaminan perlindungan, juga dianggap membuka ruang penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.

Majelis juga mengkritik ketentuan dalam RUU yang memperbolehkan teknik investigasi khusus—seperti penyadapan dan pengawasan elektronik—dilakukan tanpa izin pengadilan. “RUU ini secara sistematis menempatkan hak-hak warga dalam posisi lemah di hadapan kekuasaan negara. Ini berbahaya bagi demokrasi dan perlindungan HAM,” ujar Dr Trisno.

Di sisi lain, Majelis Muhammadiyah juga mendorong agar RUU KUHAP tidak hanya fokus pada proses hukum terhadap pelaku, tetapi juga memberi ruang keadilan yang layak bagi korban. Beberapa usulan yang diajukan meliputi pengakuan terhadap victim impact statement, pembentukan dana kompensasi korban atau victim trust fund, serta penguatan peran justice collaborator dalam sistem peradilan pidana.

Baca Juga: MUI Pusat Dukung Fatwa Haram Sound Horeg, Serukan Regulasi demi Ketertiban Sosial

Kritik Muhammadiyah ini memperkuat suara publik yang selama ini mempertanyakan urgensi dan arah perubahan KUHAP. Sejumlah kalangan akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil juga menilai bahwa revisi KUHAP semestinya dilakukan secara transparan, inklusif, dan berbasis pada prinsip-prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi martabat manusia.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Hukum Pidana juga telah menyampaikan sikap serupa. Mereka menilai, penyusunan RUU KUHAP tidak boleh dilakukan secara terburu-buru karena menyangkut jaminan hak-hak dasar warga negara dalam proses peradilan pidana.

Muhammadiyah menutup pernyataannya dengan menyerukan agar DPR dan pemerintah menunda pembahasan RUU KUHAP hingga seluruh elemen masyarakat dilibatkan secara utuh dalam proses legislasi, serta melakukan audit menyeluruh terhadap pasal-pasal bermasalah. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bencana Hidrometeorologi Kering Masih Mendominasi, BNPB Imbau Masyarakat Waspada

Rekomendasi untuk Anda