Praktisi: Penanganan Narkoba Perlu Ritme

Praktisi: Penanganan Narkoba Perlu Ritme
Kepala BNN Budi Waseso saat menjelaskan penyitaan 32 kilogram sabu yang hendak diselundupkan dari Malaysia melalui Medan. (Foto: Rina/MINA)

Jakarta, 2 Jumadil Akhir 1438/1 Maret 2017 (MINA) – Penyebaran dan pengguna obat terlarang di Indonesia tiap tahun makin meningkat.  Menurut praktisi kesehatan ada cara yang kurang tepat dalam penanganan narkoba di Indonesia.

, praktisi kesehatan herbal yang dulunya seorang pemakai, menjelaskan penanganan ketat bagi pengguna narkoba di Indonesia bisa diselesaikan dengan meningkatkan pendekatan psikologis daripada menetapkan hukuman penjara walau cuma satu tahun.

“Bukan ditangkap. Mereka itu bukan tersangka kriminal. Mereka butuh pendekatan, kalau kita sudah dekat secara psikologis, mereka akan lakuin apa yang kita lakuin,” katanya saat diwawancarai MINA baru-baru ini.

Alfi mencontohkan, pendekatan psikologis ini juga diakui sebagai cara benar oleh terpidana bandar narkoba yang akhir tahun lalu dihukum mati.

“Pendekatan kaya kemaren Freddy Budiman ya? Terakhir dia bilang apa? ini cara yang bener nih bapak ini, kenapa? Dia mendekati saya secara persuasif,” tambahnya sambil (menirukan ucapan Freddy.

Pria yang lulusan kesehatan UI tersebut juga mengatakan penanganan pengguna narkoba ibarat seperti menggenggam pasir, tidak boleh terlalu kencang atau longgar jika ingin tidak terjatuh.

“Ketika pasir digenggam full, dia akan tumpah. Ketika pasir dipegang longgar dia akan jatuh semua, jadi memang harus pake ritme,” katanya.

Ketika ditanya alasan jika pengguna ditahan, Alfi menjelaskan, di lembaga pemasyarakatan pun sudah diketahui menjadi pasar lain penyebaran narkoba. “Tidak ada yang menjamin di dalam lapas bebas narkoba,” ujarnya.

Saat menjadi pemakai, Alfi mengaku peredaran narkoba sangat tidak terdeteksi dan rahasia. Penjual atau pengedar biasanya menggunakan telepon genggam sejenis polyphonic yang tidak memiliki GPS seperti pada telepon pintar masa kini. Di samping itu, pengedar juga mengganti nomornya tiap kali satu transaksi sehingga menyulitkan aparat melacak mereka.

“Jadi memang setiap orang punya kode masing masing. Nama samaran. Jadi mereka tidak tau satu sama lain. Dia cuma pakai nomor telepon hari ini pake ini, patahin, buang. Besok telepon lagi pakai nomor lain. Patahin, dan  buang. Terus begitu,” ungkapnya.

Bagi sebagian pemakai, cara rahasia ini dianggap aman sehingga mereka berani masuk ke dunia ini. Menurutnya, para pemakai di kalangan muda biasanya berdalih mencari ketenangan dengan menggunakan obat terlarang ini.

“Saking depresinya, mereka mencari ketenangan dari dunia ini, mereka merasa orang lain tidak mengerti masalah yang mereka alami. Kalau dihubungkan dengan kemiskinan, saya rasa tidak, karena beli narkoba juga pakai uang,” tegas Alfi. (L/NMT/RE1/R01)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)