Presiden Terpilih MU PBB Desak Penyelesaian Sengketa Kashmir

Karachi, MINA – Presiden terpilih Majelis Umum (UNGA) asal Turki, pada hari Senin (10/8) mendesak penyelesaikan sengketa antara tetangga India dan Pakistan untuk perdamaian yang berkelanjutan di Asia Selatan.

“Masalah yang sudah lama membara harus diselesaikan melalui “cara damai,” kata Volkan Bozkir dalam konferensi pers bersama di Islamabad, dengan Menlu Pakistan Shah Mehmood Qureshi.

Bozkir, diplomat Turki, yang akan memimpin Majelis Umum mulai 15 September, tiba di Islamabad pada Ahad malam dalam kunjungan perdananya selama dua hari. Anadolu Agency melaporkan.

Terlepas dari resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Kashmir, ia mengamati, ada Perjanjian Simla 1972 antara Islamabad dan New Delhi yang menyerukan penyelesaian perselisihan melalui saluran politik dan diplomatik dan sejalan dengan keinginan Kashmir.

Menyinggung peran Misi Pengamat Militer PBB, yang telah mengawasi gencatan senjata antara India dan Pakistan di wilayah yang disengketakan sejak 1949, Bozkir mengatakan dia akan berkonsultasi dengan sekretaris jenderal dan pejabat PBB lainnya begitu dia menjabat.

“Pendirian Turki atas Kashmir sudah dikenal dunia. Itu sudah dijelaskan berkali-kali,” katanya.

“Sebagai warga negara Turki, tangan saya besar bagi Pakistan, tetapi sebagai presiden PBB, saya harus mengikuti prosedur tertentu dan menjaga ketidakberpihakan,” lanjutnya.

Salah satu tujuan utama dari kunjungan ini, lanjutnya, adalah untuk memahami situasi terbaru di Jammu dan Kashmir yang disengketakan, sehingga “ketika masalah itu datang” ke Majelis Umum, mereka dapat membahasnya sebagaimana mestinya.

Menteri Luar Negeri Qureshi, pada pernyataannya menyebutkan, India telah mengubah demografi mayoritas Muslim Jammu dan Kashmir melalui sejumlah tindakan, terutama dengan pencabutan status khusus selama puluhan tahun di lembah yang disengketakan itu.

Dia mendesak PBB dan komunitas internasional untuk menekan India agar mengakhiri “pengepungan militer” dan blokade komunikasi di lembah Himalaya yang diberlakukan sejak 5 Agustus tahun lalu, dan untuk membebaskan para pemimpin pro-kemerdekaan dan aktivis politik.

Majelis Umum PBB, lanjutnya, harus mengadakan sidang tahunannya pada September di New York secara fisik, tanpa batasan partisipasi para pemimpin dunia.

“Kami akan mengevaluasi situasi pada September sebelum membuat keputusan akhir tentang itu,” tambahnya. (T/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.