Tunis, MINA – Keputusan tunisia/">Presiden Tunisia Kais Saied yang memecat perdana menteri dan membubarkan parlemen pada hari Ahad (25/7) telah digambarkan sebagai “kudeta” oleh politisi dan aktivis terkemuka di negara itu.
Presiden mengumumkan penangguhan parlemen dan pemecatan Perdana Menteri Hichem Mechichi pada Ahad malam menyusul kebuntuan yang berkepanjangan dengan mereka, The New Arab melaporkan.
Langkah itu dikecam oleh Rached Ghannouchi, Ketua Parlemen Tunisia dan ketua Gerakan Ennahda Islam, partai terbesar dan anggota pemerintah koalisi.
“Rakyat Tunisia membuat revolusi, bukan kudeta, dan itu adalah revolusi bersama orang-orang muda. Pria dan wanita yang akan mempertahankannya,” katanya, menurut laporan Arabi21, Senin (26/7).
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Dia mengatakan bahwa meskipun Saied berbicara kepadanya tentang mengadopsi “langkah-langkah luar biasa dalam kerangka konstitusi”, dia malah melakukan “kudeta terhadap konstitusi”.
Ghannouchi menjelaskan, legislatif harus tetap duduk dalam sesi permanen dan pemerintah tidak dapat diberhentikan, termasuk dalam keadaan darurat.
Pasal 80 konstitusi, yang Saied aktifkan, memungkinkan untuk “tindakan luar biasa” ketika “bahaya segera” ada terhadap lembaga-lembaga negara.
Mantan Presiden Moncef Marzouki juga bergabung dengan kelompok yang mengecam “kudeta bersih”, menurut Arabi21.
Baca Juga: Rwanda Kirim 19 Ton Bantuan Kemanusiaan ke Gaza
Dia mendesak pemilihan umum awal dan menyebut Saied sebagai “bahaya”.
Tampil di televisi Al Magharibia, mantan kepala negara itu mengklaim apa yang terjadi adalah “keputusan regional Israel-Emirat”.
Marzouki mengatakan tentara akan menentang tindakan seperti ini dan percaya akan terus melindungi lembaga dan warga negara. Tunisia dipandang oleh banyak analis sebagai satu-satunya demokrasi sejati di dunia Arab dan merupakan kisah sukses utama Musim Semi Arab. (T/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Korban Tewas Ledakan Truk Tangki di Nigeria Tambah Jadi 181 Jiwa