Aden, MINA – Presiden Yaman Abedrabbo Mansour Hadi menuntut penarikan penuh pemberontak dari Hodeida yang dilanda konflik, kata satu sumber pemerintah, setelah pembicaraan dengan utusan tertinggi PBB pada Rabu (27/6) di Aden.
Utusan PBB Martin Griffiths bertemu dengan Presiden Hadi, yang pasukannya bertempur melawan pemberontak Houthi di negara itu untuk menguasai kota pelabuhan Laut Merah, Hodeida.
Keduanya bertemu dalam putaran terakhir pembicaraan yang bertujuan untuk mengatasi kekerasan yang meningkat.
“Presiden Hadi berkeras pada perlunya kelompok Houthi untuk mundur sepenuhnya dan tanpa syarat dari Hodeida, atau menghadapi solusi militer,” kata seorang sumber Pemerintah Yaman, yang meminta anonimitas, seperti dilaporkan The Arab New, Kamis (28/6).
Baca Juga: Israel Perintahkan Warga di Pinggiran Selatan Beirut Segera Mengungsi
Pemerintah Yaman juga menuntut penarikan penuh dari provinsi Hodeida, termasuk pelabuhan, dalam sebuah pernyataan yang disiarkan Rabu (27/6) oleh kantor berita negara Saba.
Hodeida, daerah bagi pelabuhan paling berharga di negara itu, mengalami serangan militer selama berpekan-pekan oleh pemerintah Yaman dan sekutu regionalnya, yang dipimpin oleh Uni Emirat Arab di lapangan.
Satu sumber diplomatik mengatakan para pemberontak Houthi telah setuju menyerahkan kendali atas pelabuhan itu ke PBB. Namun laporan ini belum dikonfirmasi oleh PBB.
Sikap Presiden Yaman tetap pada penarikan penuh pemberontak dari Hodeida sejalan dengan yang dilakukan oleh aliansi Emirat.
Baca Juga: Diboikot, Starbucks Tutup 50 Gerai di Malaysia
Pada hari Senin (25/6), Menteri Urusan Luar Negeri UEA, Anwar Gargash, men-tweet bahwa penarikan Houthi dari pelabuhan dan kota Hodeida adalah “penting”.
Houthi yang didukung Iran telah mengendalikan kota barat Hodeida, dan pelabuhannya, sejak 2014, ketika mereka mengusir pemerintah Hadi keluar dari ibu kota dan menyita sebagian besar wilayah Yaman utara.
Pada 13 Juni, UEA dan sekutu-sekutunya, termasuk Arab Saudi, melancarkan operasi militer besar-besaran – dijuluki “Kemenangan Emas” – untuk mengusir pemberontak keluar dari pelabuhan Hodeida.
Dua putaran pembicaraan yang ditengahi PBB dengan pihak-pihak yang berseteru telah gagal menemukan solusi politik untuk konflik Hodeida, yang memicu ketakutan akan bencana kemanusiaan baru di negara paling miskin di dunia Arab itu.
Baca Juga: Survei: 37 Persen Remaja Yahudi di AS Bersimpati dengan Hamas
Dalam konferensi pers hari Rabu (27/6) di New York, juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan situasi di kota pelabuhan memburuk.
“Toko-toko, toko roti dan restoran sebagian besar tetap tertutup, karena terbatasnya persediaan di pasar,” katanya.
Harga barang kebutuhan pokok seperti tepung terigu dan minyak sayur telah meningkat sekitar 30 persen, katanya, dengan biaya gas memasak melonjak 52 persen dalam sepekan terakhir.
“Listrik tidak tersedia di sebagian besar wilayah kota Hodeida,” katanya, seraya menambahkan bahwa kekurangan air ditambah lagi dengan masalah sanitasi “bisa memicu wabah kolera”.
Baca Juga: Hongaria Cemooh Putusan ICC, Undang Netanyahu Berkunjung
Sekitar 70 persen impor ke Yaman, di mana delapan juta orang menghadapi kelaparan segera, mengalir melalui pelabuhan Hodeida.
Hampir 10.000 orang tewas dalam perang Yaman sejak 2015, ketika Arab Saudi dan sekutunya bergabung dengan perang pemerintah melawan Houthis.
PBB telah menyebut Yaman mengalami krisis kemanusiaan terbesar di dunia. (T/B05/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki