Jakarta, MINA – Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab, menyampaikan Islamofobia sudah ada sejak abad pertengahan, namun muncul secara masif setelah serangan 11 September 2021 atau 9/11 di Amerika Serikat (AS).
Untuk itu, sikap kebencian yang tidak berdasar terhadap agama atau kelompok tertentu, seperti Islamofobia dan antisemitisme yang sebenarnya memiliki kesamaan ciri, perlu ditepis dengan seperangkat kompetensi dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) untuk membantu berelasi dengan orang yang berbeda agama.
Hal itu terungkap dalam International Panel Discussion Cross-Cultural Religious Literacy (CCRL) bertemakan “Islamophobia and Antisemitism in The World” yang diadakan oleh Masjid Istiqlal bekerja sama dengan Institut Leimena di Aula Al-Fattah Masjid Istiqlal, Rabu (3/5).
“Ada ciri yang dikemukakan scholar, ahli-ahli bahwa seseorang yang ingin menjalin hubungan baik dengan pihak lain harus memiliki tiga kompetensi yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif,” kata mantan utusan khusus presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tersebut.
Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga
Hadir dalam acara ini 16 perwakilan dari kedutaan besar negara asing termasuk para duta besar dari Uni Emirat Arab, Oman, Mesir, Pakistan, Moroko, Tunisia, Sudan, Lebanon, Aljazair, Suriah, Yaman, dan Iran, serta Direktur Timur Tengah Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Bagus Hendraning Kobarsyih.
Alwi menjelaskan ketiga kompetensi tersebut merupakan intisari dari LKLB. Kompetensi pribadi adalah bagaimana seseorang kembali mengacu kepada ajaran agamanya dalam berelasi dengan orang yang berbeda agama.
Sedangkan, kompetensi komparatif yaitu mengenal ajaran agama lain untuk membangun relasi dengan orang yang berbeda agama.
Dalam LKLB, kompetensi komparatif berfokus kepada tiga agama Samawi yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi karena menjadi mayoritas agama penduduk dunia dan kerap terjadi konflik diantara ketiganya. Terakhir, kompetensi kolaboratif yakni kompetensi untuk membangun kerja sama dengan pihak lain.
Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas
Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, mengatakan teologi yang menekankan kepada perbedaan bahkan kebencian seharusnya sudah ditinggalkan dan diganti dengan teologi cinta.
Menurutnya, Islam sejak awal menekankan aspek titik temu, bukan perbedaan (kalimatun sawa).
Nasaruddin mengatakan tugas kita di masa depan adalah menciptakan generasi yang lebih solid untuk menghadapi tantangan yang semakin berat seiring dengan krisis sumber daya alam.
“Kita perlu ditopang kerja sama antar warga, antar kultur, antar agama, bagaimana memerangi problem-problem masa depan bersama seperti krisis global, krisis lingkungan, dan berbagai macam krisis kemanusiaan seperti kelaparan, kriminalitas, dan populasi penduduk,” katanya.
Baca Juga: Tiba di Inggris, Presiden Prabowo Hadiri Undangan Raja Charles III
Perwakilan Indonesia dan Ketua ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengatakan pada 15 Maret 2023, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingati Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia yang diadopsi pertama kali di Majelis Umum PBB tahun lalu.
Dalam konteks ASEAN, Pasal 22 Deklarasi HAM ASEAN juga menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan secara khusus deklarasi itu mencantumkan unsur “hasutan kebencian atas dasar agama dan kepercayaan” yang sedikit berbeda dengan Deklarasi Universal HAM PBB.
“Saya ingat bahwa rumusan teks khusus ini diajukan oleh organisasi masyarakat sipil dari Indonesia yang diilhami dari insiden ujaran kebencian dan pelanggaran berbasis agama pada masa itu, yang sayangnya masih berlanjut hingga saat ini,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan ujaran kebencian yang diantaranya bersumber dari Islamofobia dan antisemitisme perlu diatasi dengan menyelesaikan akar permasalahannya.
Baca Juga: Syubban Jambi Kibarkan Bendera Palestina di Puncak Gunung Dempo
Salah satunya adalah kurang mengenal satu sama lain sehingga pola pikir hanya terbentuk dengan informasi-informasi yang belum tentu akurat dan menganggap orang yang berbeda sebagai “musuh”.
“Program LKLB yang digagas Institut Leimena dan lebih dari 12 lembaga lainnya termasuk Masjid Istiqlal, dalam kurun dua tahun sudah melatih lebih dari 4.000 guru madrasah dan sekolah dari 34 provinsi di Indonesia. Dari program ini kita belajar saling pengertian, menghormati perbedaan, dan tidak hanya berhenti pada dialog melainkan menuju kolaborasi,” kata Matius.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ulama Palestina: Ujian Pertama untuk Bebaskan Al-Aqsa adalah Shubuh Berjamaah