Jakarta, MINA – Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan, setiap rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta harus mengedepankan keselematan pasien ketimbang keuntungan bisnis.
“Dalam keadaan gawat darurat, rumah sakit harus memperhatikan keselamatan pasien. Ini sudah fardhu ‘ain. Ada atau tidak ada BPJS dan semisalnya, rumah sakit harus melayani,” ujar Jimly kepada MINA di Jakarta, Rabu (13/9).
Pakar Hukum Tata Negara itu menegaskan, rumah sakit yang mementingkan bisnis ketimbang keselamatan pasien berarti telah nyata-nyata melanggar konstitusi. Menurut Jimly, rumah sakit tidak boleh menanyakan dulu ada atau tidak KTP, ada atau tidak uang mukanya.
“Mungkin syarat gawat darurat sudah dilakukan, setelah itu baru ditanyakan uang muka. Itulah akibat dari motif menejemen yang mencari untung. Jadi pasien orang-orang miskin, orang-orang lagi kesusahan dijadikan objek,” katanya.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Jimly juga mengingatkan, siapa saja yang ingin mendirikan rumah sakit atau rumah pelayanan-pelayanan sosial, atas nama menejemen modern profesionalisme, harus hati-hati dalam mengelolanya.
“Perusahaan-perusahaan yang mendirikan rumah sakit dan sekolah, ,harus diawasi pemerintah. Jangan sampai melenceng dari tujuan sosial yang hanya mencari untung, dan milih-milih pasien. Nah itu namanya kecelakaan pelaksanaan,” katanya.
Terkait insiden meninggalnya bayi Tiara Debora, Jimly meminta semua pihak untuk menahan diri. Kalau terbukti bersalah, maka pemilik dan pengurusnya harus bertanggung jawab.
“Rumah sakit jangan takut kalau memang merasa benar. Buktikan saja. Tapi kalau ditemukan ada malpraktek, ya dihukum, bila perlu ijinnya dicabut. Kita harus tegas menangani rumah sakit yang tidak taat aturan,” ujarnya.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Bayi Tiara Debora meninggal dunia di RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, pada Ahad (3/9) lalu setelah disebut tidak menerima penanganan medis memadai karena uang muka perawatan yang diberikan orangtuanya tidak mencukupi.
Awalnya, staf medis memberikan pertolongan pertama saat bayi berusia empat bulan itu dibawa ke rumah sakit tersebut pada Minggu dini hari.
Dokter kemudian memberi tahu bahwa Debora harus dimasukkan ke ruang pediatric intensive care unit (PICU).
Namun, keluarga harus membayar dulu uang muka berjumlah belasan juta rupiah. Akhirnya, Debora tak bisa dirawat di ruang PICU karena uang muka tidak mencukupi. (L/R06/RS1)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Mi’raj News Agency (MINA)