Prof Misri A. Muchsin: Peradaban Aceh Bersyariat Islam

Banda , 14 Rajab 1437/22 April 2016 (MINA) – Penerapan di Aceh selama ini dengan segala qanun-qanunnya sebagai aturan hukum merupakan bangunan dari sendi-sendi peradaban Islam.

Artinya, ketika Aceh menerapkan syariat Islam, itu bermakna Aceh sedang membangun peradaban. “Syariat Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan hukum, tapi juga berbagai aspek kehidupan. Ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), politik, muamalah, pergaulan dan sebagainya. Semua itu telah tercover dalam syariah,” ujar Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. H. Misri A. Muchsin, M.Ag., demikian keterangan pers Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Jumat.

Ia menyebutkan saat mengisi pengajian rutin KWPSI dengan tema “Peradaban Islam dan Eksistensinya dalam Pembangunan Aceh” di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, pekan ini, ada seorang pemikir/pelancong yang merekam sejarah Aceh dalam bukunya.

Ia mengatakan penerapan syariat di abad 19 adalah sangat real. Dulu, kata Misri, di samping adanya implementasi hukum jinayah, pelaksanaan syariat Islam juga dibuktikan dengan bukti fisik. Meuligoe Raja itu ada sambungan langsung dengan masjid, dan punya jalan khusus agar memudahkan pemimpin ke masjid.

Begitu juga, pembangunan masjid juga harus dekat dengan pasar agar penghuni pasar bisa segera ke masjid saat azan dikumandangkan. Karena dipahami, shalat berjamaah adalah amalan harian yang terus dilakukan Rasulullah SAW sepanjang hidupnya. Maka masjid harus dekat dengan pasar.

Begitu juga, seni-seni di Aceh memiliki nilai filosofis yang hulunya adalah Islam. Rumoh Aceh biasanya dibangun dengan menghadap kiblat. Rumah yang ada arah kiblat biasanya sangat adem.

Terkait dengan dinamika politik Aceh, diharapkan juga agar memperhatikan rambu-rambu ajaran Islam agar dinamikanya senantisa berada dalam garis peradaban Islam.

“Kalau kita melihat siyasah atau politik, bagaimana kelangsungan politik di Aceh, idealnya politik harus bersendikan pada nilai-nilai peradaban. Jangan mencapai kekuasaan lewat kekerasan, tapi berbuat dengan akal sehat, “ kata Misri.

Ia menegaskan, kalau kekerasan yang ditempuh dalam politik, maka hal demikian bermakna kita belum beradab atau belum berperadaban. Sebab, orang beradab itu suka damai, cinta ilmu, cinta keindahan. Maka kepemimpinan itu mampu mengundang cinta dari rakyat.

Lebih lanjut, dalam pengajian yang dimoderatori Dosi Elfian dari Kompas TV Aceh‎, Misri juga mengatakan, kita bersyukur di Aceh bukan hanya ada polisi, tapi juga ada polisi syariat. Terlepas polisi syariat tersebut memiliki kekurangan, hal demikian dianggap wajar karena sedang berproses. Dan kerja polisi syariat ini bekerja menegakkan peradaban.

Lalu bagaimana konsepsi peradaban dalam konteks pembangunan Aceh? Misri menyebutkan, pembangunan itu sebenarnya terbagi dua, yaitu pembangunan fisik dan non fisik. Non fisik, kata Misri, pembangunan sumber daya insani (SDI). Dan SDI ini menjadi hal yang penting yang harus dibangun secara terprogram dan sadar.

“Tanpa kesadaran untuk membangunnya, saya khawatir Aceh akan ompong. Maksudnya, Aceh punya nama besar, tapi isinya tidak bagus. Maka pembangunan insan ini seharusnya mendapatkan tempat yang baik dalam masyarakat dan pemerintahan kita, “ jelas Misri.

Di antara sejumlah agenda pembangunan dalam membangun peradaban, menurut Misri, pembangunan pendidikan hal yang mesti diperkuat dan dipoles lagi. Buktinya, banyak rancangan pendidikan, kurikulum dan lembaga pendidikan yang mengabaikan pertimbangan dan capaian bagaimana agar nilai-nilai insaniah dari alumnusnya bisa terbangun.

“Dalam penyusunan kurikulum atau silabus misalnya, bagaimana capaian alumnus kita bisa tercover dari kedua arah. Bagaimana agar pembentukan karakter bisa tercipta, “ sebutnya.

Terhadap tuntutan ini, Misri mengatakan, ia telah melakukan ujicoba di Fakultas Adab dan Humaniora sejak empat tahun terakhir. dengan Bahasa yang simple, ia mengatakan, boleh saja ia mengajari Mata Kuliah (MK) filsafat, tapi ia juga mewajibkan mahasiswa yang diasuhnya untuk dekat dengan Alquran.

“Belajar sama saya boleh mata kuliah apa saja, tapi di sepuluh menit awal itu para mahasiswa saya wajibkan setoran hafalan Alquran. Penghafalan Alquran itu dalam filosofi yang saya bangun, gunanya untuk mendekatkan mereka dengan Alquran, yang pada akhirnya mendekatkan mereka dengan Allah Swt. Sebaliknya kalau tidak mau dekat dengan Alquran, maka secara tidak langsung ia akan jauh dengan Allah dan dekat dengan setan. Saya pikir ini merupakan cara lain membangun spiritualitas kaum muda yang memang harus kita pikirkan,“ katanya.

Pembangunan yang seperti itu memang tidak nampak sebagaimana halnya pembangunan fisik. Tapi merupakan suatu yang paling penting. Apalagi, dalam bidang fisik pembangunan Aceh sudah sangat drastis sejak pasca tsunami. Namun sekarang, bagaimana pembangunan non fisik ini harus dipikirkan.

Di akhir pengajian, Misri mengatakan, pemimpin Aceh yang baik harus islamis (memnjalankan nilai-nilai Islam) supaya sesuai dengan agenda penerapan syariat Islam, agar tidak jadi momok bagi masyarakat. ”Kalau seorang pemimpin tidak pernah ke masjid raya, itu patut dicurigai kemana Aceh hendak mereka bawa, “ terangnya.

Pengajian rutin KWPSI ini turut dihadiri wartawan dari berbagai media, aktivis, mahasiswa, santri, ormas Islam dan unsur birokrat lainnya.

Selain itu juga dihadiri sejumlah tokoh seperti Direktur Syariah dan SDM Bank Aceh, Haizir Sulaiman, Ketua Komisi D DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, Kasubbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh, H.Achyar M.Ag yang juga Ketua BKPRMI Aceh.(L/R05/P2)

Mi’raj islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.