Oleh: Rifa Berliana Arifin, Kared Arab MINA
Bukan Donald Trump namanya jika tidak membuat hal-hal kontroversial. Kali ini bukan main, ia membuat secara sepihak proposal Deal of Century pada 28 Januari 2020.
Trump mengklaim dirinya sebagai deal maker yang cakap dan hebat meyakini bahwa proposal yang dibuatnya akan diterima dunia karena berisi solusi yang win-win solution bagi konflik Israel-Palestina yang sudah berumur satu abad lamanya.
Amerika Serikat sebagai negara adidaya dan salah satu “penentu” dalam proses perdamaian Israel-Palestina bersama sama dengan PBB dan Uni Eropa, memiliki peranan untuk meredam Israel dan Palestina berdialog dan bersama mewujudkan perdamaian. Akan tetapi dalam perjalanannya, Trump tidak fair. Dinilai sangat berat sebelah ke Israel, dalilnya, Proposal Deal of Century ia umumkan bersama PM Israel Benjamin Netanyahu.
Baca Juga: RSF: Israel Bunuh Sepertiga Jurnalis selama 2024
Tidak perlu heran jika proposal ini secara terang-terangan ditolak oleh negara anggota OKI yang vokal seperti Turki dan Iran. Adapun negara-negara teluk pro Amerika Serikat seperti Arab Saudi, Qatar, Mesir dan UEA tidak berani untuk menyutujui proposal tersebut secara terbuka, dan juga tidak menolaknya secara keras.
Isi Pokok Deal of Century
Proposal yang dibuat Trump berisi bujukan atas Palestina supaya mengakui pendudukan Israel atas Lembah Sungai Jordan yang sebagiannya berada di wilayah Tepi Barat. Wilayah itu dirampas Israel dalam perang enam hari tahun 1967. Juga isi lainnya adalah bahwa Palestina harus mengakui bahwa Al-Quds adalah ibukota Israel.
Baca Juga: Setelah 20 Tahun AS Bebaskan Saudara Laki-Laki Khaled Meshal
Remunerasi atas dua hal itu, Trump dalam proposalnya akan mengakui kedaulatan negara Palestina, dan menjadikan sebagian Yerusalem Timur sebagai ibukota baru negara Palestina. Selain itu negara Palestina baru dijanjikan akan menerima imbalan investasi senilai 50 Miliyar dollar AS yang dibayarkan dalam kurun waktu 10 tahun untuk membangun ekonomi negara.
Dua Fraksi terbesar di Palestina, Fatah dan Hamas bersamaan menolak proposal tersebut akan tetapi dengan alasan berbeda. Fatah sebagai oraganisasi PLO yang diakui PBB sebagai perwakilan representative bangsa Palestina beragumen bahwa pembagian wilayah Palestina dan Israel harus berdasarkan pada Green line yang ditetapkan paska genjatan senjata perang Arab-Israel tahun 1949.
Paska gencatan senjata itu, Mesir memegang kendali atas Jalur Gaza dan Yordania memegang kendali atas Tepi Barat dan Yerusalem Timur di mana terdapat Haram al-Sharif ada Masjid Al-Aqsa dan Tembok Ratapan. Mesir dan Yordania mengaku berada di posisi sebagai pembela Palestina.
Pada tahun 1967 terjadi perang enam hari Arab-Israel. Gaza-Tepi Barat dan Yerusalem Timur kembali dirampas Israel. Atas konsekuensi itu juga Israel berhasil mengakusisi Bukit Sinai di Mesir dan Dataran Golan di Suriah.
Baca Juga: Al-Qassam Sita Tiga Drone Israel
Akan tetapi pada tahun 1978 Israel mengembalikan Sinai ke Mesir karena kekalahannya dalam perang Yom Kippur 1973 dan Amerika Serikat saat itu menekan Israel supaya berdamai dengan Arab pada tahun 1988. Perdamaian itu dilatarbelakangi terbentuknya PLO di bawah kepemimpinan Yaser Arafat yang mengakui wujud negara Israel di wilayah Palestina. Dengan begitu Israel perlahan mengakui eksistensi wilayah Palestina. Dan Yordania melepaskan Tepi Barat, dijadikannya Tepi Barat sebagai wilayah di bawah Otoritas Palestina.
Kesepakatan antara PLO dan Israel saat itu melahirkan Perjanjian Oslo I tahun 1993, Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di bawah Otoritas Palestina (السلطة الفلسطينية) yang dibentuk oleh PLO. Kenapa tidak menggunakan kata negara (دولة) karena Israel belum mau mengakui Palestina sebagai negara karena hal itu akan bertentangan dengan akidah zionis tentang tanah Israel atau biasa disebut Eretz Israel.
Setelah Perjanjian Oslo I, Israel rupanya belum puas melepaskan Tepi Barat sepenuhnya untuk dimiliki Otoritas Palestina. Maka PLO-Israel kembali berunding hingga melahirkan Perjanjian Oslo II tahun 1995 yang isinya adalah pembagian Tepi Barat dalam tiga zona wilayah A, B dan C. (akan dibahas di artikel selanjutnya).
Perjanjian Oslo II ini disepakati hanya berlaku selama lima tahun, setelahnya Tepi Barat akan kembali ke wilayah Otoritas Palestina seluruhnya. Akan tetapi setelah tahun 2000 tidak ada tanda-tanda Israel mau mengembalikan Tepi Barat ke Otoritas Palestina. Hal itulah yang menghambat proses berjalannya perdamaian Israel-Palestina.
Baca Juga: Parlemen Inggris Desak Pemerintah Segera Beri Visa Medis untuk Anak-Anak Gaza
Setelah Pemimpin Fatah Yaser Arafat dan Pemimpin Hamas Sheikh Ahmad Yasin wafat pada tahun 2004 dan terjadi konflik diantara keduanya pada tahun 2006-2007, Palestina semakin kehilangan arah dan Israel dibawah Netanyahu semakin berani untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya.
Intinya, isi proposal Trump adalah supaya Palestina melepaskan hak nya atas sebagian zona wilayah di Tepi Barat yang mencakup Al-Haram al-Sharif yang di dalamnya Masjid Al-Aqsa Al-Mubarak. Sebagai imbalannya Amerika Serikat akan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat dan mengakui kedudukan yang sama dengan negara lainnya menjadi anggota PBB, karena hambatan Palestina menjadi anggota PBB selama ini adalah karena Amerika Serikat punya hak veto untuk menolak.
Meski dibiarkan Palestina menjadi negara berdaulat, akan tetapi Amerika Serikat mensyaratkan supaya Palestina dilarang membangun basis militer, tidak lain adalah untuk menjaga keselamatan Israel.
Lantas, apa artinya Palestina menjadi negara “berdaulat” tetapi tidak berdaulat secara militer dan kemanan sedangkan negara di sebelahnya adalah negara yang tidak berhenti memproduksi persenjataan dan nuklir?
Baca Juga: Paus Fransiskus Terima Kunjungan Presiden Palestina di Vatikan
Semoga Allah senantiasa menjaga Palestina dan Masjid Al-Aqsa, dan melenyapkan segala daya upaya untuk menghancurkan keduanya.(A/RA-1/P1)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Israel Serang Kamp Nuseirat, 33 Warga Gaza Syahid