DUNIA menyaksikan langkah diplomatik yang tidak biasa, ketika delapan negara: Yordania, Uni Emirat Arab, Indonesia, Pakistan, Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Mesir menyatakan dukungan terhadap kepemimpinan Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump dalam upayanya “mengakhiri perang di Gaza.”
Pernyataan bersama para menteri luar negeri itu bukan sekadar sebuah sikap simbolik, melainkan sinyal bahwa dunia Islam kini mencari tumpuan baru dalam diplomasi mengakhiri krisis Palestina-Israel. Bagaimanapun, realitas di lapangan jauh lebih rumit daripada kata-kata diplomatik.
Proposal Trump, sebagaimana tercantum dalam pernyataan gabungan, mencakup sejumlah poin krusial: penghentian perang, rekonstruksi Gaza, larangan pengusiran penduduk Palestina, pembebasan sandera, penarikan pasukan Israel, mekanisme keamanan bagi semua pihak, dan integrasi Gaza dengan Tepi Barat sebagai bagian dari negara Palestina berdasarkan solusi dua negara.
Dukungan dari delapan negara Muslim ini menguatkan legitimasi diplomatik bagi rencana tersebut, sekaligus menambah tekanan internasional agar proposal itu dijalankan secara sungguh-sungguh.
Baca Juga: Kita Lemah Sahabat: Untuk Apa Kita Bangga?
Di satu sisi, dukungan ini bisa membuka ruang optimisme. Seandainya proposal ini berhasil ditambatkan dalam kesepakatan yang kredibel, bisa menjadi fondasi perdamaian baru di Timur Tengah.
Pernyataan tersebut juga menegaskan bahwa dunia Islam tidak lagi pasif; negara-negara Arab dan Muslim besar ingin terlibat aktif dalam penyelesaian konflik, bukan hanya sebagai penonton.
Tidak kalah pentingnya, tekanan kolektif ke AS dan Israel melalui diplomasi regional menjadi alat strategis untuk menjaga agar kesepakatan kelak tidak menyimpang dari kepentingan rakyat Palestina.
Namun di balik optimismenya terdapat sejumlah tantangan kritis yang tak bisa diabaikan, antara lain sebagai berikut.
Baca Juga: Bagaimana Hamas Putuskan Posisinya terhadap Rencana Trump?
Pertama, reputasi Amerika Serikat sebagai mediator dalam krisis Palestina-Israel selalu berpihak kepada Israel. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa perjanjian yang dijembatani AS seringkali diabaikan ketika kepentingan politik domestik AS berubah. Akankah Trump kali ini berbeda? Ataukan sama seperti yang sebelumnya?
Kedua, meskipun proposal menyebut “larangan pengusiran rakyat Palestina” dan “penarikan pasukan”, rincian implementasinya masih kabur. Apakah penarikan itu bersifat total atau bertahap? Bagaimana mekanisme keamanan diatur? Siapa yang akan menegakkan? Tanpa kejelasan tersebut, proposal bisa menjadi kertas kosong yang tinggal wacana.
Pakar hubungan internasional David Makovsky mengingatkan bahwa rencana Trump tersebut belum diuji pada kenyataan politik lokal di Gaza dan Tepi Barat. Ia menyebut bahwa setiap perjanjian mesti mendapatkan legitimasi dari internal Palestina. Nyatanya, rencana itu dibuat tanpa partisipasi Hamas dan faksi lainnya di Palestina. Jika kelompok yang jadi aktor utama konflik merasa diabaikan, peluang kegagalan sangat besar.
Beberapa pengamat Timur Tengah menggarisbawahi bahwa jabatan Tony Blair sebagai bagian dari “board of peace” sangat problematik. Blair dikenal punya rekam jejak kontroversial di Timur Tengah dan dituduh sebagai pendukung kebijakan yang cenderung memihak Israel.
Baca Juga: Relevansi Surat Al-Ahzab 35 di Akhir Zaman
Reaksi terhadap proposal ini pun beragam di dunia internasional. Uni Eropa menyebut bahwa ini “peluang nyata” untuk menghentikan perang dan siap membantu implementasi. Namun beberapa negara Arab dan pihak Palestina menyuarakan hati-hati.
Qatar menekankan pentingnya negosiasi lebih lanjut karena rancangan akhir belum cocok dengan tujuan perjuangan Palestina. Bahkan Israel, meskipun menyatakan dukungannya di bawah tekanan internasional, menetapkan syarat-syarat ketat, termasuk keberadaan militer terbatas di Gaza dan desentralisasi kekuasaan yang tetap dikontrol Israel.
Analisis kritis juga harus melihat latar struktural: konflik Palestina-Israel telah berjalan puluhan tahun, dengan pencaplokan tanah, okupasi militer, pemukiman ilegal, blokade Gaza, dan pemutusan layanan dasar sebagai alat penekanan.
Proposal damai yang tidak menyentuh akar struktural ini, terutama isu hak kembali (right of return), kontrol atas sumber daya, dan kesetaraan politik — riskan dianggap “damai versi top-down” yang menguntungkan negara yang berkuasa saja.
Baca Juga: Zionis Israel, Wajah Busuk Peradaban Modern
Lebih jauh lagi, beberapa pakar menilai bahwa proses perdamaian yang terlalu dipandu oleh negara adikuasa (seperti AS) cenderung mendiskreditkan suara lokal. Kritik teori perdamaian modern menunjukkan bahwa keberhasilan jangka panjang hanya muncul dari kesepakatan yang inklusif, melibatkan semua pihak (termasuk kelompok lokal, civil society, warga sipil) sehingga ownership terhadap perdamaian benar-benar di tangan rakyat Palestina.
Dalam konteks umat Islam dan dunia Muslim, sebagian tokoh menyarankan agar dukungan terhadap proposal Trump tidak terbatas dalam kerangka diplomasi pemerintah, tetapi harus dibarengi dengan tekanan moral dan diplomasi publik.
Umat Islam di berbagai negara dapat menggalang aksi damai, advokasi di parlemen masing-masing negara, dan penyebaran narasi yang menuntut keadilan dan perlindungan terhadap rakyat Palestina, bukan narasi dominasi geopolitik.
Secara konkret, umat Islam bisa memperkuat jaringan media alternatif yang menyuarakan suara Palestina, mendukung organisasi kemanusiaan independen di Gaza yang bersih dan transparan, serta memastikan bahwa bantuan kemanusiaan tidak disandera oleh kepentingan politik.
Baca Juga: Peringatan Rasulullah tentang Fitnah Akhir Zaman
Kampanye internasional, seperti boikot produk yang mendukung mekanisme militer atau kolonisasi, juga bisa menjadi alat tekanan nonmiliter yang efektif.
Tak kalah penting, umat Islam harus menjaga agar dukungan tidak mengandung hasrat sektarian atau hegemonik dari negara kuat terhadap negara lemah. Solidaritas harus berakar pada prinsip keadilan universal, bukan ambisi kekuasaan.
Jika proposal ini akhirnya disepakati dan diterapkan dengan baik, dampaknya bisa monumental: penghentian perang, rekonstruksi Gaza, pemulihan kehidupan warga Palestina, dan stabilitas regional yang selama ini sekian lama diupayakan.
Tapi jika gagal, konsekuensinya bisa fatal: legitimasi dunia Islam mungkin diragukan, rakyat Palestina semakin kehilangan harapan, dan perang bisa kembali meletus lebih besar lagi. []
Baca Juga: Mengapa AS dan Israel Wajib Kuasai TikTok?
Mi’raj News Agency (MINA)