Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Peta "Israel Raya". (Gambar: The Muslim Times)

GAGASAN tentang Greater Israel (Eretz Yisrael HaShlema) atau Israel Raya bukan sekadar mitos politik, melainkan visi ideologis yang telah lama hidup dalam sebagian elite politik dan keagamaan Israel. Gagasan ini berpijak pada klaim keyakinan historis dan religius bahwa tanah Israel membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Eufrat di Irak, meliputi wilayah Mesir bagian utara, Yordania, Suriah, Lebanon, dan sebagian besar Palestina.

Dalam praktik geopolitik modern, cita-cita tersebut diterjemahkan menjadi upaya penguasaan kawasan, baik secara langsung melalui pendudukan militer, maupun secara tidak langsung melalui strategi diplomasi dan normalisasi, tekanan ekonomi, dan jaringan aliansi politik.

Pendudukan sebagai Langkah Utama

Sejak berdirinya pada 1948, Israel terus memperluas wilayahnya di luar batas yang ditetapkan oleh Resolusi PBB.

Baca Juga: Aneksasi Upaya Menghapus Masa Depan Palestina

Perang 1967 menjadi tonggak ketika pendudukan Israel menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, Dataran Golan, dan Semenanjung Sinai.

Meski kemudian sebagian wilayah dikembalikan, proyek kolonisasi Tepi Barat dan Yerusalem Timur terus berlangsung, dengan melanggar hukum internasional dan menyingkirkan rakyat Palestina dari tanahnya sendiri.

Aneksasi de facto melalui pemukiman ilegal dan kebijakan apartheid menjadikan wilayah Palestina terfragmentasi dan tidak berdaulat. Pendudukan ini bukan sekadar pertahanan keamanan, melainkan bagian dari rencana jangka panjang untuk memastikan dominasi Israel di jantung Timur Tengah.

Kini akan dilegalkan melalui Rancangan Undang-Undang yang melegalkan aneksasi di Tepi Barat, yang sangat ditentang Negara-negara Arab dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Baca Juga: Olimpiade dan Penjajahan: Polemik IOC–Indonesia

Jalur Lunak Normalisasi

Selain dengan kekuatan militer, Israel menggunakan jalur normalisasi diplomatik sebagai instrumen pengaruh. Melalui Perjanjian Abraham (Abraham Accord, 2022) dan kesepakatan bilateral lainnya, sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan membuka hubungan resmi dengan Israel.

Normalisasi ini dikemas dengan narasi “perdamaian dan kerjasama ekonomi”. Namun sejatinya menguntungkan Israel secara strategis, menjauhkan isu Palestina dari prioritas dunia Arab, memecah solidaritas regional, dan mengukuhkan posisi Israel sebagai mitra utama Barat di kawasan Timur Tengah.

Di balik semua itu, Amerika Serikat berperan sebagai arsitek utama, menekan dan membujuk negara-negara Arab untuk bergabung dalam orbit normalisasi dengan imbalan bantuan ekonomi atau jaminan keamanan.

Baca Juga: Tatanan Baru Palestina dan Ujian Bagi Solidaritas Dunia Islam

Destabilisasi Kawasan

Israel juga secara rutin melancarkan serangan militer terhadap negara-negara tetangganya dengan dalih keamanan nasional. Serangan udara ke Suriah, Lebanon, bahkan Iran, menjadi rutinitas geopolitik.

Melalui operasi militer, sabotase, dan dukungan terhadap kelompok tertentu, Israel berupaya melemahkan kekuatan negara-negara di sekitarnya agar tidak mampu menantang hegemoninya. Negara yang kuat dan stabil di sekitar Israel dianggap ancaman. Karena itu, konflik internal di Suriah, Irak, atau Lebanon secara tidak langsung menguntungkan posisi strategis Israel.

Semua itu, tak bisa dipungkiri, tidak mungkin terjadi tanpa dukungan penuh Amerika Serikat dan sekutunya di Barat. AS memberi perlindungan diplomatik di forum internasional terutama melalui hak vetonya di PBB,  bantuan militer miliaran dolar per tahun, serta perlindungan hukum dan politik dari sanksi global.

Baca Juga: Dari Viral ke Vital, Menata Ekonomi Kreatif dan Gig Economy 2025

Bagi Washington, Israel bukan sekadar sekutu, tetapi pion strategis untuk menjaga kepentingan Barat di Timur Tengah, untuk terus dapat mengontrol sumber energi, menahan pengaruh Iran, dan membatasi kebangkitan dunia Islam yang bersatu.

Tujuan jangka panjang dari strategi ini adalah mengendalikan dinamika politik dan ideologis dunia Islam. Israel dan Barat berupaya memecah dunia Muslim ke dalam blok-blok lemah yang saling curiga, mengalihkan perhatian dari isu Palestina, dan menormalisasi hubungan dengan penjajah.

Dengan menguasai Timur Tengah, Israel dan sekutunya secara tidak langsung mengendalikan urat nadi dunia Islam, baik secara spiritual, karena keberadaan Masjidil Aqsa di dalamnya, maupun secara strategis, karena kawasan ini menjadi titik pertemuan tiga benua, Asia, Afrika, dan Eropa.

Jadi, proyek Israel Raya bukan sekadar mimpi ideologis, tetapi strategi geopolitik yang dijalankan bertahap: pendudukan, normalisasi, serangan, dan hegemoni. Selama Amerika Serikat dan sekutunya terus memberi dukungan tanpa batas, upaya penguasaan kawasan akan terus berlangsung.

Baca Juga: Menuju Indonesia Terang 2030: Listrik untuk Semua, Energi untuk Kedaulatan

Namun, sejarah membuktikan bahwa dominasi yang dibangun di atas penjajahan dan ketidakadilan tidak akan abadi.

Perlawanan rakyat Palestina dan kesadaran dunia Islam, serta masyarakat global, yang terus tumbuh menjadi penanda bahwa proyek hegemoni pendudukan tidak akan berjalan tanpa perlawanan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Semangat Santri: Dari Pesantren Nusantara Menuju Pembebasan Al-Aqsa dan Palestina

Rekomendasi untuk Anda