Puasa dan Bertutur Kata Menurut Al-Qur’an

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Salah satu yang harus diperhatikan oleh orang yang berpuasa adalah menjaga lisannya agar tidak bicara hal-hal yang bisa merusak puasanya. Sebaliknya, orang yang berpuasa sangat disenangi Allah jika ia memperbanyak membaca al Qur’an, berzikir dan bicara seperlunya tentang hal-hal yang baik.

Saking pentingnya menjaga lisan ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan setiap hamba-Nya bahwa setiap ucapan lisan itu akan dicatat,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qaaf [50] : 18).

Ucapan dalam ayat ini bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak bermanfaat atau sia-sia. (Lihat Tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin pada Surat Qaaf).

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

 وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara.”

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Sebuah pepatah Arab menyatakan:

سَلَامَةُ اْلإِنْسَانِ فِي حِفْظِ اللِّسَانِ

“Keselamatan manusia terletak dalam menjaga lisannnya.”

Dari Sahal bin Sa’ad radliyallahu ‘anh, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنُ لِيْ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنُ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa yang memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) kejahatan lisan yang berada di antara dua tulang rahangnya, dan kejahatan kemaluan yang berada di antara kedua kakinya, niscaya aku akan memberikan jaminan surga kepadanya.” (HR al-Bukhari).

Al Qur’an telah mengajarkan kepada setiap Mukmin panduan dalam bertutur kata yang baik. Setidaknya ada sembilan (9) tutur bahasa yang baik menurut al Qur’an yang, antara lain sebagai berikut.

Pertama, qaulan ma‘rufan (perkataan yang baik). M. Quraish Shihab mengatakan, qaulan ma‘rufan berarti perkataan baik yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, qaulan ma’rufan berarti pula perkataan yang pantas dengan status sosial yang berlainan, tidak menyinggung perasaan, serta pembicaraan yang mendatangkan kemaslahatan.

Kedua, qaulan sadidan (perkataan yang tegas dan benar). Qaulan sadidan adalah perkataan yang benar, tegas, jujur, lurus, to the point, tidak berbelit-belit dan tidak bertele-tele. Yakni suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).

Ketiga, qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut). Qaulan layyinan adalah penyampaian pesan yang lemah lembut dengan suara yang enak didengar, lunak, tidak memvonis, menghakimi, dan memanggilnya dengan panggilan yang disukai, penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud layyina ialah kata-kata sindiran, bukan dengan kata-kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.

Keempat, qaulan maisuran (perkataan yang mudah). Qaulan maisuran berarti berkata dengan mudah atau gampang. Yakni mudah dicerna dan mudah dimengerti oleh orang lain. Perkataan ini juga mengandung empati kepada lawan bicaranya, menyenangkan, memberikan harapan, dan memotivasi orang lain untuk mendapatkan kebaikan.

Kelima, qaulan balighan (perkataan yang membekas pada jiwa). Artinya perkataan yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah, dan tidak berbelit-belit. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar akal seseorang atau khalayak dan menggunakan bahasa yang mengesankan kepada jiwa mereka.

Keenam, qaulan kariman (perkataan yang mulia). Qaulan kariman adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertata krama. Dalam konteks Qs. Al-Isra’: 23, perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orang tua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka. Qaulan kariman harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orang tua atau orang yang harus kita hormati.

Ketujuh, qaulan tsaqilan (perkataan yang penuh makna). Qaulan tsaqilan yakni perkataan yang berbobot dan penuh makna, memiliki nilai yang dalam, memerlukan perenungan untuk memahaminya, dan bertahan lama. Dengan demikian qaulan tsaqilan juga berarti kata-kata yang syarat makna dari seorang ahli hikmah, sufi, ataupun filosof. Qaulan tsaqilan biasanya memuat sebuah konsep pemikiran yang mendalam baik secara intelektual maupun spiritual.

Kedelapan, ahsanu qaulan (perkataan yang terbaik). Ahsanu qaulan adalah menyampaikan perkataan dengan pilihan kata terbaik. Allah berfirman dalam Qs. Fushshilat ayat 33:

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَاۤ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَا لِحًا وَّقَا لَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri)?” (Qs. Fushshilat: 33).

Kesembilan, qaulan ‘adhiman (perkataan yang mengandung dosa besar). Berbeda dengan 8 qaulan sebelumnya, qaulan ‘adhiman ini merupakan ujaran yang mengandung penentangan yang nyata terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Termasuk jenis qaulan ‘adhiman adalah setiap ujaran kebencian yang mengandung permusuhan dan penipuan.

Sudah tentu perkataan model ini harus dihindari oleh orang yang berpuasa. Ujaran-ujaran kebencian ini seringkali dijumpai dalam media sosial. Tak jarang, karena ujaran-ujaran kebencian ini, akhirnya banyak menimbulkan permusuhan, bahkan pembunuhan, wallahua’lam. (A/RS3/RS2)

(dari berbagai sumber)

Mi’raj News Agency (MINA)