Puasa Mencegah Hoax

(Foto: )

Oleh: Insan Khoirul Qolby, JFU pada Setditjen Bimas Islam

Dalam waktu belakangan ini banyak bersebaran di dunia maya berita atau berita bohong yang berujung pada fitnah dan bernada kebencian. Mirisnya hal itu dilakukan oleh banyak pihak dengan tujuan-tujuan tertentu, bukan sekedar iseng, termasuk dilakukan oleh umat Islam dan media Islam. sebagai ibadah khusus dalam Islam yang disyariatkan sebagai pengendali hawa nafsu diharapkan mampu mengendalikan diri para shoimin untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji tersebut.

Dalam amatan saya, munculnya berita-berita hoax dan fitnah baik di jagat dunia maya maupun dunia nyata sudah lama terlihat dan biasanya selalu terjadi pada momen-momen politik dan peristiwa tertentu yang terkait dengan tidak terpenuhinya rasa keadilan yang dialami oleh sekelompok orang. Penyebaran berita fitnah dan bohong semakin massif terlihat pada saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dan tahun 2017 yang menyesakkan dada. Yang paling miris adalah ketika suasana Pilpres tahun 2014 di mana pada saat bulan Ramadan pun banyak kita lihat bersebaran berita hoax dan hujatan.

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh hikmah. Hampir semua aspek kehidupan dapat mengambil hikmah dari bulan Ramadan. Salah satu hikmah yang mungkin sudah sering kita dengar dari para Da’i adalah puasa sebagai pengendalian diri. Tidak hanya menahan lapar dan haus saat puasa tapi juga mampu menahan hati dan seluruh anggota badan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah Subhanahu Wa Ta’ala, termasuk diantaranya menyebarkan berita hoax.

Menyebarkan berita hoax, saat ini bisa dikatakan sebagai perbuatan yang paling berbahaya. Betapa tidak, berita hoax yang dibagikan melalui media sosial seperti What’sapp, Facebook, Twitter, dan Instagram bisa memprovokasi orang lain yang menelan mentah-mentah kabar tersebut untuk berbuat sesuatu yang buruk, melakukan sweeping kepada warga tertentu misalnya. Padahal berita tersebut jelas-jelas adalah palsu.

Di sinilah pentingnya upaya pengendalian diri untuk tidak mudah memposting berita hoax dalam bentuk apapun, baik itu status, komentar, maupun meme-meme. Mengendalikan diri tentu tidak semudah yang diucapkan. Tidak semua orang yang berpuasa kemudian mampu mengendalikan dirinya.

Untuk bisa mengendalikan diri maka puasa yang dilakukan harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh keimanan dan kepasrahan kepada Allah, seperti titah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dalam sebuah hadist: “Maa shoma romadhona imaanan wah tisaaban ghufiro lahu ma taqoddama minjambih.” (Barang siapa yang menunaikan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan penuh harap kepada Allah maka akan diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat).

Melaksanakan puasa dengan imanan wahtisaban tidak hanya mampu mengendalikan diri kita tetapi balasan yang sangat kita dambakan pun akan kita peroleh, yaitu diampunkannya segala dosa baik yang telah lewat maupun dosa-dosa yang akan datang. Penekanan bahwa ibadah puasa itu harus dilandasi dengan keimanan dan kepasrahan kepada Allah amatlah penting jika memang menginginkan dosa-dosa kita diampuni, agar kita kembali kepada posisi semula, yaitu putih bersih tanpa cela dan noda layaknya seorang bayi yang baru lahir sebagaimana sabda nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam: Kullu mauludin yuuladu alal fithrah. Semua manusia yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci.

Dengan puasa dengan penuh keimanan dan kepasrahan itu juga mampu menjaga diri kita dari melakukan hal-hal yang mudah tetapi dapat menumpuk dosa-dosa kita seperti halnya dosa digital yang begitu mudahnya kita membagikan berita hoax, berita fitnah dan berita yang bernada kebencian tanpa melakukan tabayyun digital atau disiplin verifikasi.

Lalu bagaimana mengidentifikasi berita tersebut adalah hoax? Saya ingin meminjam istilah ushul fiqh: Al-Aslul as-ya’a al-ibahah, hatta yadullu ala tahrimiha (segala sesuatu itu asal hukumnya boleh sehingga datang dalil yang mengharamkannya) untuk diubah menjadi al-aslul as-ya’a hoax, hatta yadullu ala al-ibahah, yang artinya segala berita yang beredar di media sosial kita anggap terlebih dahulu sebagai hoax, sehingga berita tersebut sudah diverifikasi atau telah dilakukan tabayyun digital.

Lantas kemudian bagaimana menerapkan puasa dengan penuh keimanan tersebut agar kemudian mampu mengendalikan diri kita untuk sekedar membagikan berita bohong dan fitnah, tentu ada latihannya. Salah satu caranya dengan menghayati pembagian puasa menurut ulama akbar, Imam Al-Ghazali, dimana Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin membagi tiga kategori orang yang berpuasa, yaitu puasanya orang awam, khawasy dan khawasyul khawasy.

Puasa awam adalah puasa yang dipraktekkan oleh orang kebanyakan, yakni yang hanya memaknai puasa dengan tidak makan minum minum dan berhubungan seks di siang hari. Sementara prilaku negatif lain masih dilaksanakan. Secara fiqh, puasa tersebut dianggap sah karena memang sesuai dengan defenisi puasa dan mayoritas umat Islam melakoni puasa ini sepanjang bulan dari tahun ke tahun. Padahal kelompok yang seperti ini sudah disindir oleh baginda nabi: Kammin shoimin laisa lahu illal ju’i wal atsyi. Berapa banyak orang yang berpuasa tapi yang mereka dapatkan tidak lain hanya lapar dan dahaga. Artinya, puasa tersebut tidak memiliki makna apa-apa.

Lalu kategori laku puasa yang kedua adalah kelompok khawasy. Kelompok ini lebih baik dari tingkatan pertama. Yang dimaksud dengan kelompok khawasy ini adalah kelompok orang yang melaksanakan puasa selain menahan diri untuk tidak makan dan minum serta tidak berhubungan seks di siang hari, tapi juga mempuasakan seluruh anggota tubuhnya, baik tangan, kaki, mata, hidung dan telinga. Tangannya tidak ia gunakan untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama.

Demikian juga kakinya, hidungnya, matanya dan telinganya. Malah sebaliknya, seluruh anggota tubuhnya itu ia gunakan dengan perbuatan yang mendekatkan diri kepada sang Khalik. Misalnya, mata ia gunakan untuk membaca Al-Qur’an, telinga digunakan dengan mendengar ceramah-ceramah agama, kaki ia langkahkan ke tempat yang mulia di sisi Allah dan demikian tangan dan seterusnya.

Meski sudah baik, namun tingkatan kedua ini masih dinilai kurang untuk memenuhi target untuk mendapatkan pengampunan Allah tersebut, maka perlu tingkatan yang ketiga yaitu puasa khawasyul khawasy, yaitu puasa yang paripurna yang tidak hanya menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seks di siang hari serta tidak juga hanya mempuasakan seluruh anggota tubuh manusia, tetapi juga mempuasakan hatinya.

Ia selalu menjaga hatinya dari hal-hal yang maksiat dan dibenci Allah. Dia tidak membiarkan hatinya berprasangka buruk kepada orang lain, tidak membiarkan hatinya untuk marah, sombong, iri, dengki dan penyakit hati lainnya. Jika dikaitkan dengan era sosial media seperti sekarang ini, hati orang yang puasa khawasyul khawasy juga akan senantiasa mencegah jarinya untuk membuat status provokatif, bernada kebencian dan sharing postingan yang berisi hoax.

Maka puasa orang yang seperti inilah yang dapat disebut sebagai orang yang berpuasa dengan “imanan wahtisaban” yang insya Allah akan mendapatkan ampunan terhadap dosa-dosa yang telah diperbuat.

Last but not least, tentu selanjutnya terserah kita, mau memilih puasa yang seperti apa. Apakah hanya sekedar ingin melewati Ramadan dengan proses yang karitatif atau memang berkeinginan untuk mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala dosa yang telah kita lakukan di masa lampau?

Insya Allah dengan melakukan puasa sesuai syariat sebenarnya, kita tidak hanya sekedar mampu menahan diri darisharing postingan hoax, ghibah dan merendahkan orang lain, tapi juga mampu mengawal hati kita untuk selalu lurus dan berlaku adil. Selamat memasuki , semoga puasanya sukses!

 

(R01/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Artikel ini diambil dari laman resmi Ditjen Bimas Islam Kemenag RI

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.