Oleh: Sajadi, Wartawan MINA
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Menurut ayat ini, salah satu tujuan utama dari syariat puasa di bulan suci Ramadhan adalah dapat menjadikan para pelakunya bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Salah satu definisi takwa itu sendiri adalah kesediaan untuk taat dan tunduk pada segala perintah serta larangan Allah Subhanahu Wata’ala.
Pada saat melaksanakan puasa Ramadhan, seseorang diwajibkan untuk mentaati segala aturan dengan menahan diri dari yang membatalkan seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri, meskipun hal tersebut halal dilakukan di waktu-waktu lain.
Tidak boleh ada makanan masuk sedikitpun ke dalam tenggorokannya sebelum waktunya berbuka, meskipun ada makanan yang halal dan jelas itu miliknya. Begitu juga meskipun istri atau suami yang sudah dinikahi itu halal, Ia tidak boleh digauli saat sedang ibadah puasa.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Lebih dari itu, ibadah puasa akan menjadi pendorong kuat untuk ketaatan yang lebih sempurna.
Menurut Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafaatih al-Ghayb, bahwa keinginan terhadap makanan dan istri itu jauh lebih besar dibandingkan keinginan terhadap segala sesuatu yang lain.
Ketika telah mudah atas orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah dalam meninggalkan makanan dan istri, maka bertakwa kepada Allah dalam meninggalkan segala sesuatu yang lain akan jauh lebih mudah dan ringan.
Selain itu, ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala haruslah mencakup seluruh aspek kehidupan. Sebab, Islam adalah agama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam yang mengatur hubungan antara manusia dengan Pencipta-nya dan hubungan antara sesama manusia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Hubungan manusia dengan Pencipta-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah sedangkan hubungan manusia dengan manusia lainnya tercakup dalam perkara akhlak serta muamalah.
Secara pribadi ada beberapa kiat yang juga dapat dilakukan untuk memperkuat ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala
Kiat pertama adalah mempererat keimanan. Iman kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala harus kuat sesuai dengan apa yang diinginkan Allah agar hidup kita dalam ketaatan kita harus mempererat dan memperkuat keimanan kita dengan memperbaiki kualitas ibadah.
Kedua adalah menyerahkan hidup untuk Allah Subhanahu Wata’ala. Semua aktivitas yang kita lakukan, semua kegiatan yang baik kita persembahkan untuk Allah Subhanahu Wata’ala semata.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-A’nam 162)
Untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala semua aktivitas kegiatan yang baik, persembahan hanya untuk Allah. kita beraktivitas itu muaranya adalah jalan menuju kematian itu harus kita persiapkan. Begitu juga dalam aktivitas duniawi, kita harus selalu merasa diawasi oleh Allah.
Ketiga adalah mendisiplinkan diri, baik yang berkaitan dengan hak untuk Allah Subhanahu Wata’ala dan juga hak sesama makhluk Allah. Hidup ini penuh kedisiplinan, baik dalam hal waktu, pekerjaan, dan yang terpenting adalah disiplin untuk menjauhi amal yang dilarang. Sehingga dengan demikian kita akan selalu dibimbing oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam segala urusan.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Terakhir adalah arus selalu merasa kurang ilmu dan amal, terus belajar. Sehingga dengan hal itu, kita tidak menjadi sombong dan angkuh. Perlu diketahui kita terlahir dalam keadaan lemah, sehingga kita tidak boleh sombong dengan kondisi tersebut. Seharusnya, kita tidak boleh merasa cukup menjadi baik, tetapi menjadi muslih dengan terus memperbaiki diri dan keluarga. (A/RE1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah