Puasa Ramadhan itu Mengenalkan Batas-Batas Hidup (Oleh: Shamsi Ali, New York)

Oleh: / Presiden Nusantara Foundation

“Maka barang siapa yang takut kepada Tuhannya dan menahan nafsu, maka sungguh syurgalah tempat kembalinya.” (An-Naazi’aat)

Segala sesuatu dalam hidup ini punya batas. Bahkan hidup itu sendiri ada batasnya. “Semua yang ada di atas bumi itu berakhir.” (Al-Quran). Demikian penegasan Al-Quran.

Bahwa semua yang namanya makhluk itu pasti berakhir. Dan itulah batas hidup manusia juga.

Batas-batas yang ada dalam hidup manusia itulah yang akan menjadi acuan-acuan tentang apa, bagaimana, kapan dan dimana manusia berbuat. Batas-batas itu pula yang akan menentukan seseorang dalam mengambil tanggung jawab hidupnya.

Manusia akan terikat sekaligus terukur akan siapa dirinya dengan batas-batas ini. Menjaga batas-batas itu adalah bentuk tanggung jawab dan keadilan. Melampaui batas-batas itu adalah bentuk tidak tanggung jawab dan kezhaliman.

Melampaui batas-batas itulah yang dikenal dalam bahasa Al-Quran dengan “thogut” (transgresi).

Prilaku thoghut atau melampaui batas-batas (huduud) itulah yang menjadi penyebab segala “kerusakan” (fasad) dalam hidup.

Ambillah makan sebagai salah satu contoh. Makan yang berlebihan akan menimbulkan banyak masalah kesehatan. Makan berlebihan bisa menimbulkan kolesterol, darah tinggi, hingga kepada ebisitas (kegemukan).

“Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan-tangan manusia.”

Tangan yang dimaksud di ayat tersebut adalah “kemampuan” manusia. Dapat juga diartikan sebagai “otoritas”.

Manusia akan kehilangan kontrol terhadap kekuatan dan otoritasnya di saat hawa nafsunya yang menjadi komando hidupnya. Akibatnya “batas-batas hidup” tidak lagi menjadi pertimbangan.

Di sinilah esensi puasa sesungguhnya. Bahwa dengan puasa manusia melatih diri dalam mengontrol kecenderungan hawa nafsu.

Hawa nafsu yang terkontrol dalam pembangunan dunia itulah yang akan tetap terjaga dalam batas- batas kehidupan.

Tapi untuk memungkinkan manusia menahan hawa nafsu itu, diperlukan kesabaran bahkan rasa takut kepada Tuhan alam semesta.

Sebaliknya kegagalan manusia dalam mengontrol hawa nafsunya, sehingga keluar dari batas-batas kehidupan banyak disebabkan oleh hilangnya kebesaran Allah dalam jiwa.

Allah menggambarkan itu di Surah Annaziat: “Dan barangsiapa toghaat (melampuai batas) dan mencintai dunia secara berlebihan….”

Akibatnya: “maka sungguh neraka jahannam menjadi tempat kembalinya”.

Hawa nafsu yang tidak terkontrol melahirkan prilaku melampaui batas (i’tidaa). I’tidaa demi i’tidaa itulah yang mengakibatkan ragam “jahannam” (penderitaan) hidup.

Dalam dunia modern saat ini ada dua bentuk neraka yang paling umum menimpa manusia. Keduanya adalah “al-khauf” (rasa takut) dan “al-Hassan” (rasa sedih).

Manusia kerap takut kekurangan. Dan jika kekurangan menimpanya mereka bersedih. Padahal jika saja beriman, keduanya juga masuk dalam kategori karunia Tuhan.

Puasa yang paling esensinya “menahan” dengan mendekatkan dan menghadirkan kebesaran Allah dalam hidup menjadi kunci “jannah” (ketenangan/kebahagiaan) dalam hidupnya.

Itulah yang digambarkan oleh Al-Quran sepert saya kutip di awal tadi. “Dan barangsiapa yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari penghambaan hawa nafsu maka syurgalah menjadi tempat kembalinya.”

Kesimpulannya surga dan neraka (kebahagiaan dan penderitaan) hidup ditentukan oleh bagaimana manusia menjaga batas-batas hidupnya.

Dan puasa memiliki peranan signifikan dalam menumbuhkan kesadaran manusia tentang itu. Semoga!

New York City, 19 Mei 2019

(AK/R07RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.