Puasa Ramadhan, Menahan Diri Dari Permusuhan

Oleh : Ustadz * 

Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan oleh Allah usia, untuk dapat berjumpa dan menjalani hari-hari bulan suci Ramadhan nan mulia.

Kita pun diberi kesempatan kesehatan, sehingga dapat menjalankan ibadah , penuh dengan pengharapan, akan ridha dari Allah, Sang Maha Rahman.

Sementara, ada di antara saudara atau rekan kita yang ingin sekali berpuasa Ramadhan. Namun terkendala kondisi kesehatan. Bahkan ada di antaranya yang terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan.

Berpuasa pada bulan Ramadhan, merupakan kewajiban kita semua orang-orang yang beriman. Sebagaimana ayat yang biasa disampaikan oleh para penceramah pada bulan Ramadhan, yaitu :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (QS Al-Baqarah [2] : 183).

Ulama fiqih mendefinisikan puasa berarti menahan diri dari makan dan minum, dan dari segala hal yang membatalkannya, sejak fajar hingga terbenamnya matahari dengan memenuhi segala syarat-syaratnya.

Adapun secara hakiki, puasa itu bukan sekedar menahan diri dari makan dan minum dan dari hal-hal yang membatalkannya. Namun lebih dari itu, puasa adalah tahapan untuk meraih ketakwaan melalui berbagai bentuk pelaksanaan perintah Allah dan berbagai bentuk menjauhi larangan-Nya, dengan kesucian jiwa dan senantiasa merasa dalam pengawasan Allah.

Inilah puasa yang dapat menghasilkan takwa. Puasa yang dapat menjadi perisai dari segala bentuk perbuatan dosa, kemaksiatan dan kemungkaran.

Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits :

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ  وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

Artinya : “Puasa adalah perisai. Maka janganlah berbuat kotor dan jangan pula ribut-ribut. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya, maka katakanlah aku sedang berpuasa (ia mengulang ucapannya dua kali).” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa dituntut untuk menjaga kesempurnaan puasanya dengan menjauhi perbuatan-perbuatan tercela. Di antaranya adalah menjaga lisan kita dari berkata-kata, dan tulisan kita di sosmed, dari hal-hal yang mengandung dosa, kemaksiatan, kemungkaran, pertikaian dan antarsesama.

Senada dengan hadits tersebut, disebutkan juga :

الصِّيَامُ جُنَّةٌ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ

Artinya : “Puasa adalah perisai ,seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Berkenaan dengan hadits tersebut, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa jika seseorang yang berpuasa telah menahan dirinya dari mengikuti hawa nafsunya, maka hal itu akan menjadi pelindung atau perisai baginya dari siksaan neraka di akhirat nanti.

Sebaliknya, jika dengan berpuasa kita, tapi masih tetap melakukan dosa dan kemaksiatan, maka puasanya itu sudah tidak berfungsi lagi sebagai perisai.

Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita dalam sabdanya :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Artinya : “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan malah melaksanakannya, atau bertindak bodoh, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga (puasanya).” (HR Bukhari).

Pada hadits lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menekankan :

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الظَّمَأُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

Artinya :”Betapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah memperoleh  apa-apa baginya dari puasanya selain lapar, dan betapa banyak orang yang mendirikan shalat, tidaklah memperoleh apa-apa baginya dari shalatnya kecuali lelah”. (HR Ad-Darimi).

Demikianlah, di tengah perbedaan pandangan dan pendapat dalam berbagai hal, soal kebangsaan, kehidupan, hingga soal sepakbola yang ramai diperbincangkan. Marilah kita tetap menjaga dan memperhatikan eksistensi dari ibadah puasa Ramadhan, yakni menahan diri. Terutama menahan diri dari hal-hal yang dapat mengarah pada permusuhan dan perpecahan di antara anak bangsa, dan di antara umat Islam.

Semoga Allah selalu membimbing kita untuk dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sebagai perisai keimanan kita. Aamiin. (A/RS2/RS3)

*Penulis, Ustadz Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I., Wartawan & Redaktur Senior MINA,  Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor, Penulis Buku Keislaman. Dapat dihubungi melalui Nomor WA : 0858-1712-3848, atau email [email protected]

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.