Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Sebagai ungkapan perasaan jiwa dalam bahasa, karya-karya sastra ada yang mengandung penghayatan batin yang mendalam atas kedekatan, kerinduannya, dan kecintaannya dengan Tuhan, atau disebut mengandung unsur religi.
Ini antara lain terasa dari beberapa karya sastra jenis puisi karya sastra Indonesia lama, mulai dari karya sastrawan angkatan Balai Pustaka tahun 1920-an hingga era 1945-an dan fase sastra modern tahun 1990-an hingga kini.
Beberapa di antaranya berkaitan dengan nuansa religi ketuhanan, bahwa betapa sang pujangga penyusun kata-kata puisi pun mengakui keagungan dan kebesaran Tuhan.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Era tahun 1920-an atau disebut dengan angkatan Balai Pusataka, ada gubahan Amir Hamzah dalam puisis berjudul “Padamu Jua”.
Isinya mengisahkan tentang pertemuan sepasang kekasih yang telah lama terpisah. Adapun pertemuan yang di maksud di sini yaitu pertemuan yang abadi, yakni pertemuan “si aku” dengan Tuhannya setelah ia meninggal dunia.
Sedangkan kekasih yang di maksud dalam puisi tersebut adalah Tuhan yang selalu mencintai “aku” walaupun “aku” telah berpaling dari-Nya.
Padamu Jua
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Karya Amir Hamzah
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kendi kemerlap
Pelita jendela dimalam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Amir Hamzah menggunakan kata-kata berkonotasi positif seperti kandil, pelita, setia, dan dara. Selain itu juga di dalam puisi ini banyak mengunakan kata-kata berkonotasi negatif seperti kikis, sunyi, sasar, dan ganas.
Pada era 1945-an ada dikenal puisi “Doa” karya Chairil Anwar, yang mengungkapkan tema religi ketuhanan yang sangat kental.
Puisi ini disajikan sebagai salah satu bentuk puisi religi yang cukup transparan dengan gaya bahasa yang jelas dan mudah untuk dipahami oleh siapapun.
Doa
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Karya Chairil Anwar
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Chairil Anwar menegaskan dalam puisinya bahwa dalam kehidupan ini tidak ada solusi lain, selain mengembalikan segala permasalahan kehidupan kepada Sang Pencipta.
Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ”pengembaraan di negeri asing” yang suatu saat akan kembali juga.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Ada juga penyair saat ini Taufik Ismail, kelahiran Bukit Tinggi tahun 1935, yang dikenal juga dengan puisi “Palestina Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu”.
Ia dikenal juga dengan puisi “Sajadah Panjang”, yang diciptakan tahun 1984 dan ditenarkan dalam lagu Bimbo.
Sajadah Panjang
Karya Taufik Ismail
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Melalui “Sajadah Panjang”, Taufiq Ismail sedang melakukan semacam pengingatan pada para pembaca puisinya tentang Tuhan. Tendensi ini, seperti pengakuan Taufiq Ismail sendiri, yang pernah membuat pengakuan bahwa karya sastra yang ditulisnya adalah “sebuah dzikir”.
Taufiq Ismail juga pernah mengatakan bahwa tujuannya menciptakan puisi adalah untuk beramal saleh. Baginya, hidup ini adalah sebuah sajadah yang terbentang dari kaki buaian sampai tepi lahat. Kegiatan utama dalam sajadah itu adalah shalat.
Yang terasa lebih dekat adalah puisi karya Abdul Hadi WM yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat”.
Sastrawan kelahiran 1946 ini memang dikenal melalui karya-karya sajaknya yang bernafaskan sufistik.
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Karya Abdul Hadi WM
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Bait “Tuhan, Kita Begitu Dekat” dalam puisi tersebut diulang tiga kali, hal ini menunjukkan bahwa antara penyair dan Tuhan telah terjalin komunikasi yang cukup erat. Perasaan kedekatan atau tidaknya dengan Tuhan ukuranya adalah selalu berbuat baik di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa pun, karena merasa dirinya selalu diawasi Tuhan di mana saja ia berpijak.
Terakhir, “Ketika engkau Bersembahyang”, goresan Emha Ainun Najib atau lebih akrab disapa dengan Cak Nun. Sastrawan kelahiran kota santri Jombang tahun 1953 ini dikenal sebagai tokoh intelektual, budayawan sekaligus seniman.
Ketika Engkau Bersembahyang
Karya Emha Ainun Najib
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku’ lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas ‘arasy sembilan puluh sembilan.
Tentu saja ini bukan puisi bernuansa religi terakhir karya sastrawan Indonesia. Masih begitu banyak yang belum tergali di sini. Yang pada intinya sastrawan juga manusia yang memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Bahkan dengan kontemplasi rasa bahasanya yang sastrawi menghujam ke jantung hati. (P4/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)