Jakarta, 10 Rabi’ul Awal 1437/21 Desember 2015 (MINA) – Hendak ke mana FCTC? Pertanyaan yang menjadi pokok bahasan dalam forum diskusi Kaleidoskop Pengendalian Konsumsi Rokok 2015 diselenggarakan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEBUI) di Cikini, Jakarta (21/12).
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan sebuah perjanjian atau konvensi mengenai pengendalian tembakau berupa instrumen hukum internasional. FCTC tersebut bersifat mengikat setiap negara yang meratifikasinya.
FCTC sudah lama digaungkan secara internasional melalui pertemuan World Health Assembly ke-56 pada 21 Mei 2003 yang diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO). Anggota WHO yang berjumlah 192 negara secara aklamasi telah mengadopsi instrumen tersebut dan diberlakukan secara resmi pada 27 Februari 2005.
Menurut Dina Kania selaku National Proffesional Officer for Tobacco Free Initiative, WHO Indonesia, FCTC bertujuan untuk melindungi generasi saat ini dan yang akan datang dari ancaman dampak konsumsi rokok. Hal ini harus ditetapkan karena begitu lemahnya regulasi pemerintah sehingga anak-anak Indonesia menjadi sasaran kaum kapitalis dalam dan luar negeri.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dengan penduduk produktif terbanyak, belum meratifikasi dan menandatangani perjanjian FCTC. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum mengadopsi instrumen tersebut dengan dalih mempertahankan pemasukkan dari cukai.
“Pemerintah dianggap keliru jika menggunakan cukai sebagai instrumen pendapatan negara. Tujuan dari cukai tersebut seharusnya mengendalikan konsumsi, distribusi, dan promosi rokok,” ungkap anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency.
Pengingkatan cukai rokok menjadi instrumen paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Hal ini disebabkan peningkatan cukai otomatis akan meningkatkan harga jual rokok yang berdampak terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah.
Berdasarkan observasi lapangan, perokok aktif justru hadir dari kalangan masyarakat ekonomi menengah dan bawah. Dalam hal ini, industri rokok dapat dikatakan seperti mengeksploitasi masyarakat untuk belanja dan konsumsi rokok.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Hampir setiap tahun pemerintah meningkatkan biaya cukai rokok. Saat ini harga rokok termurah sesuai aturan di Kementerian Keuangan RI hanya RP250 perbatang, lebih murah dari pada harga sebuah permen.
Rumitnya meluruskan dan menegakkan UU Pertembakauan seperti benang kusut yang sulit diusut. Hal ini semakin menyebabkan harga rokok termurah dan termahal menjadi jauh selisihnya.
Pada akhirnya, masyarakat kelas menengah dan bawah yang teradiksi rokok menjadi korban kekeliruan tersebut. Perokok dengan ekonomi “pas-pasan” dapat beralih dari harga yang mahal ke harga yang lebih murah.
Indonesia sepatutnya belajar dari negara-negara seperti Thailand, Turki, dan Australia. Kajian LD FEBUI dan WHO menunjukkan negara dengan sistim cukai yang sederhana dan biaya cukai yang seragam mampu menurunkan konsumsi rokok warga negaranya.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? (L/M01/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)