DI TENGAH gejolak revolusi kemerdekaan, nama Raden Ipik Gandamanah tercatat sebagai salah satu putra bangsa yang mengabdikan hidupnya untuk negara. Sosoknya tidak hanya dikenal sebagai pejabat pemerintahan, tetapi juga ulama, pejuang, dan seorang patriot yang setia pada cita-cita kemerdekaan. Dari desa kecil hingga gelanggang nasional, perjalanan hidupnya adalah kisah tentang keteguhan iman, keberanian, dan kesetiaan terhadap rakyat.
Raden Ipik Gandamanah lahir pada 30 November 1906 di Purwakarta. Meski demikian, masa kecil dan remajanya lebih banyak dihabiskan di tanah Banten. Daerah ini membentuk karakter religius dan jiwa sosialnya yang kelak menjadi bekal dalam perjuangan panjang. Sejak dini, ia dikenal dekat dengan lingkungan pesantren, meskipun kemudian menempuh jalur pendidikan modern.
Pendidikan formal yang ditempuhnya terbilang istimewa pada masanya. Ia menamatkan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan akhirnya masuk ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) A dan B. OSVIA merupakan sekolah khusus yang menyiapkan kader pribumi menjadi pejabat pemerintahan. Bekal ilmu ini mengantarkannya meniti karier di dunia kepamongprajaan.
Jejak kariernya bermula ketika ia diangkat sebagai Candidat Ambtenar (CA) pada masa pendudukan Jepang. Selama kurang lebih dua tahun, ia bertugas di Bogor. Pada 1931, ia dipercaya menjadi Mantri Polisi di Cikijing, lalu pindah ke Jakarta sebagai Mantri Kabupaten. Kariernya menanjak dengan jabatan Sekretaris II Kabupaten Ciamis, kemudian Camat Cibeureum Tasikmalaya pada 1942. Dua tahun kemudian ia ditugaskan sebagai Wedana Ujungberung, Bandung, dan akhirnya menjadi Patih Bogor pada 1946.
Baca Juga: Abu Paya Pasi; Ulama Kharismatik Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Aceh
Karier kepamongprajaan itu tidak membuatnya lupa akan panggilan perjuangan. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Belanda berusaha kembali menancapkan kekuasaan melalui agresi militer dan pemerintahan bayangan. Ipik Gandamanah termasuk pejabat yang menolak bekerja sama dengan Belanda. Karena sikapnya itu, ia ditangkap dan diasingkan oleh pemerintahan kolonial pada 14 Agustus 1947 ke wilayah Jasinga, Bogor Barat.
Di tempat pengasingan itulah lahir babak baru perjuangannya. Dengan mandat dari Presiden Soekarno, pada 19 Juni 1948 Ipik Gandamanah dilantik sebagai Bupati Bogor pertama. Pemerintahan Kabupaten Bogor Darurat berpusat di Jasinga, kemudian berpindah ke Malasari, Nanggung, karena serangan beruntun Belanda. Bersama rakyat, ia tetap mempertahankan eksistensi republik meski dalam kondisi serba sulit.
Sebagai pemimpin daerah sekaligus pejuang, Ipik Gandamanah senantiasa didampingi oleh Batalyon 0 Tirtayasa Siliwangi di bawah komando Kapten Sholeh Iskandar. Ia bahkan turun langsung memimpin perlawanan. Di kalangan masyarakat, sosoknya tidak hanya dikenal sebagai pejabat pemerintahan, tetapi juga ulama yang memberi semangat jihad melawan penjajah. Ia sering menyampaikan tausiyah dan doa bersama sebelum rakyat turun ke medan perang.
Kedekatan Ipik dengan Islam tampak jelas dalam keseharian. Ia dikenal sebagai sosok sederhana yang dekat dengan masyarakat kecil. Di masa pengasingan, ia tetap melaksanakan ibadah dengan taat, berpuasa, dan memberi teladan kesederhanaan. Hidangan kesukaannya pun bukan makanan mewah, melainkan tutut atau keong sawah, yang ia sebut “daging pangenyot.” Hal ini menggambarkan betapa ia tetap hidup bersahaja meskipun menduduki jabatan penting.
Baca Juga: KH Hasyim Asy’ari: Ulama, Guru Bangsa dan Penyeru Jihad Melawan Penjajahan
Pasca pengakuan kedaulatan, perjalanan kariernya semakin menanjak. Ia pernah menjabat Residen Bogor dan Residen Priangan, lalu pada 1956 diangkat sebagai Gubernur Jawa Barat. Di masa kepemimpinannya, ia dikenal visioner. Salah satu warisan terbesarnya adalah pendirian Universitas Padjadjaran pada 1957, sebuah perguruan tinggi negeri yang kini menjadi salah satu yang terkemuka di Indonesia. Hal ini menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan sebagai fondasi kemajuan bangsa.
Tak lama berselang, Presiden Soekarno kembali mempercayainya dengan jabatan lebih tinggi. Pada 10 Juli 1959, ia diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Dalam jabatan itu, ia memegang peran penting pada masa demokrasi terpimpin, di mana hubungan pusat dan daerah membutuhkan keseimbangan.
Pada 1964, ia diminta mengemban tugas baru sebagai Menteri Pembangunan Desa. Dari sinilah terlihat perhatiannya terhadap rakyat kecil, khususnya kaum tani dan pedesaan.
Namun perjalanan politiknya tidak selalu mulus. Setelah peristiwa G30S 1965, ia dicopot dari jabatan menteri pada 21 Februari 1966. Meski begitu, pengabdiannya kepada negara tidak berhenti. Pada 1968, ia masuk ke dalam Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di era Orde Baru hingga 1973. Di sana, ia tetap memberikan sumbangsih pemikiran bagi jalannya pemerintahan.
Baca Juga: Syekh Muhammad Amin al-Husaini: Mufti Palestina dalam Jejak Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Raden Ipik Gandamanah wafat pada 6 September 1979 di Bandung. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Kepergiannya meninggalkan jejak panjang perjuangan seorang pamong praja, ulama, dan pejuang yang mengabdikan hidupnya untuk bangsa dan agama.
Namanya kini diabadikan menjadi nama jalan utama di Bogor dan kawasan Stadion Pakansari, sebagai bentuk penghormatan generasi setelahnya.
Kisah hidup Ipik Gandamanah tidak hanya bercerita tentang jabatan-jabatan yang pernah ia emban. Lebih dari itu, ia menunjukkan bagaimana seorang muslim taat bisa menjadi pemimpin yang tegas, sederhana, dan dekat dengan rakyat. Perpaduan antara ilmu, iman, dan keberanian membuatnya dikenang sebagai teladan pemimpin bangsa.
Ia adalah sosok yang tidak pernah meninggalkan rakyat meski dalam keadaan terjepit. Ketika penjajah datang menekan, ia tetap teguh. Ketika diberi kesempatan berkuasa, ia tidak tergoda untuk hidup mewah. Ketika diberi amanah besar di pemerintahan, ia tetap mengingat bahwa kekuasaan adalah sarana untuk mengabdi, bukan untuk memperkaya diri.
Baca Juga: Kontribusi dan Pemikiran Soekarno untuk Palestina
Hingga kini, warisan perjuangan Raden Ipik Gandamanah masih terasa. Dari semangat mempertahankan republik di masa darurat, gagasan pendirian universitas, hingga dedikasi membangun desa, semuanya mengajarkan bahwa pengabdian sejati lahir dari hati yang ikhlas.
Ia bukan hanya bagian dari sejarah Bogor atau Jawa Barat, tetapi bagian dari sejarah panjang Indonesia yang menegaskan bahwa iman dan perjuangan adalah dua hal yang tak terpisahkan. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Laksamana Malahayati Lulusan Akademi Baitul Maqdis Aceh