Peristiwa bom bunuh diri di Jakarta beberapa waktu lalu menyadarkan berbagai kalangan bahwa pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, masih menjadi tugas besar yang harus segera diselesaikan.
“Selama ini masyarakat selalu beranggapan bahwa setiap orang yang radikal sudah barang tentu seorang teroris, atau dengan kata lain menyamakan pengertian mengenai radikalisme dengan terorisme itu sendiri.” Demikian Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, mengatakan saat menjadi pembicara dalam acara dialog interaktif Psikolog dan Media yang bertajuk, “Apakah Radikalisme = Terorisme?” yang diadakan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Demikian keterangan dari Universitas Indonesia, Selasa 2/2.
Guru Besar Fakultas Psikologi UI ini meluruskan, bahwa tidak setiap orang yang memiliki paham radikal merupakan teroris, namun teroris sudah pasti memiliki paham radikal.
Terorisme merupakan fenomena yang dikaji dengan berbagai disiplin ilmu, baik dilihat dari perspektif politik, sosiologi, komunikasi, hukum dan psikologi.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan yang diperhitungkan atau ancaman kekerasan untuk menghasilkan kekuatan.
Menurut Prof. Hamdi Muluk, terorisme dimaksudkan untuk memaksa atau melakukan intimidasi pada pemerintah atau masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan yang umumnya merupakan tujuan politik, agama, maupun ideologi.
Terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi mulai dari level individu hingga kelompok, katanya.
Orang-orang yang terlibat sebagai pelaku terorisme umumnya merupakan orang-orang yang merasa terancam dan depresif.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Individu yang terlibat dalam proses terorisme itu mengalami suatu proses yang dinamakan pra-radikalisasi.
Dalam proses ini individu tersebut mengalami internalisasi nilai-nilai keagamaan yang bersifat ekslusif, moral, perjuangan dan kehormatan.
Dalam proses ini pula individu yang bersangkutan mengalami proses “religious seeking” yang akan mendorong lahirnya konflik dalam diri, seperti timbulnya rasa berdosa, kemudian perasaan tersebut mendorongnya untuk memperbaiki diri dengan mengambil referensi yang baru untuk standar prilaku manusia.
Contohnya tatkala individu tersebut mengambil referensi untuk jihad, dalam hal ini jihad yang ada di dalam pikirannya wajib dan tidak mungkin untuk tidak menggunakan kekeraan, di sinilah pemahaman yang salah yang terbentuk dalam proses berpikir para pelaku teroris.
Setelah melakukan aksi terornya, kata Prof. Hamdi, teroris akan merasa senang jika media secara gencar mempublikasikan identitas mereka, bagi teroris mengklaim suatu aksi terror bukanlah suatu hal yang berat, namun justru menguntungkan, karena bagi mereka hal tersebut menunjukan eksistensi mereka.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Tentang: Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si. adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang memiliki minat tinggi pada bidang Psikologi Politik. Beliau banyak menulis artikel dan melakukan penelitian tentang topik ini. (T/P006/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin