Oleh Khaled al-Qershali, penulis dan penerjemah di Gaza
Pertama kali aku bertemu Abdallah al-Khaldi pada tahun 2019. Saat itu aku berusia 16 tahun.
Saat itu pagi di bulan Desember dan aku sedang menuju sekolah di lingkungan al-Nasr di Kota Gaza bersama temanku Muhammad.
Langit mulai turun hujan deras, seolah-olah itu adalah hujan pertama di musim dingin. Jalanan mulai banjir dan perjalanan ke sekolah menjadi berbahaya.
Baca Juga: PBB: Lebih dari 60.000 Anak di Gaza Kekurangan Gizi
“Ayo bolos sekolah,” ajak Muhammad kepadaku. “Datanglah ke rumahku. Aku punya cara untuk menyelinap ke kamarku tanpa sepengetahuan orangtuaku.”
Aku setuju karena rumah Muhammad hanya berjarak dua menit. Aku bisa tinggal di sana sampai bel sekolah berbunyi, lalu pulang.
Aku pun melakukannya. Bolos sekolah dan bermain di rumah Muhammad.
Namun, beberapa menit setelah meninggalkan rumah Muhammad, hujan mulai turun lagi dan aku berteduh di bawah tenda sebuah toko. Aku tidak tahu harus ke mana atau apa yang harus aku lakukan.
Baca Juga: Delegasi Hamas ke Kairo Lanjutkan Pembicaraan Gencatan Senjata
“Masuklah,” kata sebuah suara dari atas. “Aku akan membuka pintu.”
Aku mendongak untuk melihat siapa yang berbicara dan kepada siapa. Aku melihat seorang anak laki-laki yang tidak aku kenal, menunjuk ke arahku.
Ia segera turun dan membuka pintu. Ia meminta aku untuk mengikutinya duduk di rumah keluarganya yang hangat hingga hujan berhenti.
Sebuah undangan
Baca Juga: Militer Israel Perintahkan Evakuasi Baru Gaza Tengah
Aku duduk di kamarnya dan bertanya-tanya di dalam hati, apa yang harus aku katakan. Aku tidak begitu ramah saat itu.
“Terima kasih telah melindungi aku dari hujan.” Aku akhirnya berhasil berkata. “Aku akan pergi begitu hujan berhenti.”
Anak laki-laki itu mengaku bernama Abdallah al-Khaldi. Dia menatapku sambil tersenyum, dan berkata, “Apa yang kamu suka: teh atau kopi?”
Aku hanya ingin pergi dan tidak ingin menjadi beban. Jadi aku mengucapkan terima kasih atas tawarannya dan menjawab, “Tidak usah.”
Baca Juga: Bombardir Gaza 18 Bulan, Militer Israel Hanya Hancurkan 25 Persen Terowongan Hamas
Sambil tertawa, Abdallah berkata, “Tahukah kamu? Aku akan membuatkan dua cangkir Nescafe hangat untuk kita.”
Nescafe adalah minuman favoritku. Namun, aku tetap diam. Ia pergi, sementara aku tetap berada di kamarnya.
Beberapa menit kemudian, Abdallah datang membawa kopi dan duduk di hadapanku. Aku merasa malu karena tidak tahu harus berbuat apa di rumah anak laki-laki yang tidak aku kenal itu. Namun, dia mengatakan bahwa dia dan Muhammad juga berteman.
Kami mengobrol sebentar tentang bagaimana aku mengenal Muhammad. Ketika hujan berhenti, aku bangkit untuk pergi. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan mengatakan kepadanya bahwa kami harus bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Baca Juga: Palang Merah Internasional: Gaza adalah ‘Neraka di Bumi’
“Muhammad akan datang malam ini pukul 6,” kata Abdallah. “Datanglah jika kamu bisa.”
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan berusaha untuk datang.
Aku berjalan pulang. Aku terus berpikir, apakah aku akan memenuhi undangan Abdallah atau tidak. Beberapa menit sebelum pukul 6, akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
Muhammad terkejut dengan kedatanganku.
Baca Juga: Zionis Israel Hukum Imam Masjid Al-Aqsa karena Khutbah soal Genosida Gaza
Sebelumnya Abdallah telah menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Namun, karena tahu bahwa aku tidak ekstrovert, Muhammad tidak mengira aku akan datang berkunjung.
Kami bertiga menghabiskan waktu mengobrol tentang sekolah dan pekerjaan rumah. Kemudian kami memutuskan untuk bermain kartu dan gim komputer. Setelah kami melaksanakan shalat Isya, Abdallah memberi tahu kami bahwa ibunya telah menyiapkan makan malam untuk kami.
Muhammad dan aku merasa malu dan memberi tahu Abdallah bahwa dia tidak perlu membebani dirinya sendiri. Abdallah berkata itu bukan masalah besar dan dia senang mentraktir teman-temannya.
Persahabatan yang saling mendukung
Baca Juga: Ratusan Prajurit Cadangan Israel Dukung Seruan untuk Akhiri Perang Gaza
Persahabatan aku dengan Abdallah berkembang sejak hari itu. Kami biasa berkumpul di rumah Abdallah atau Muhammad untuk bermain dan menikmati waktu bersama.
Abdallah setahun lebih muda dariku. Ketika aku menyelesaikan ujian matrikulasi sekolah menengah tawjihi, dialah orang pertama yang memberi selamat kepadaku.
Aku mengatakan kepadanya bahwa aku ingin mendatangi berbagai universitas di Gaza sebelum memutuskan universitas mana yang akan aku masuki.
Abdallah dengan senang hati menjawab, “Aku bebas besok. Aku ingin ikut denganmu. Telepon aku sebelum kamu pergi.”
Baca Juga: Pasukan Keamanan Yordania Cegah Demo Dukung Palestina di Lembah Yordan
Ketika Abdallah mengikuti ujian tawjihi setahun kemudian, aku memastikan untuk menyemangatinya. Setiap kali aku berkunjung, aku menyuruhnya belajar. Dia memintaku untuk mengajarkan bahasa Inggris, karena aku mengambil jurusan bahasa Inggris dengan spesialisasi sastra. Aku dengan senang hati membantu.
Aku adalah orang pertama yang memberi selamat kepada Abdallah saat ia lulus. Ia mendaftar di Universitas Terbuka Al-Quds untuk mempelajari pemasaran digital, karena bidang itu tidak tersedia di Universitas Islam, tempat aku kuliah.
Abdallah mengambil kursus bahasa Inggris pada semester pertamanya. Aku sibuk dengan studiku, tetapi aku berusaha sebaik mungkin untuk membantunya dalam tata bahasa dan kosa kata. Ia terkadang menawarkan pembayaran untuk lesnya, tetapi aku selalu menolaknya.
Kehilangan kontak
Baca Juga: Delegasi Senior Hamas ke Kairo untuk Perundingan Gencatan Senjata Gaza Baru
Pada 7 Oktober 2023, ketika perlawanan Palestina melancarkan Operasi Banjir Al-Aqsa, aku menghubungi semua teman untuk menanyakan keadaan mereka. Namun, Abdallah adalah salah satu dari sedikit yang tidak menanggapi.
Kurang dari sepekan kemudian, aku dan keluarga terpaksa mengungsi ke Gaza Selatan. Aku menelepon Muhammad dan menyuruhnya untuk bertanya tentang Abdallah di lingkungan tersebut.
Muhammad menjawab bahwa keluarga Abdallah pergi ke daerah yang lebih aman di Kota Gaza, tetapi teman kami itu tidak bersama keluarganya.
Karena mereka bertetangga, Muhammad lebih mengenal Abdallah daripada aku.
Baca Juga: Genosida Israel di Gaza, per 11 April 50.981 Syahid, 115.981 Luka
Karena aku terus bertanya kepadanya tentang teman kami, akhirnya dia memberi tahu kepadaku bahwa Abdallah adalah seorang pejuang perlawanan, yang berarti dia tidak dapat meninggalkan daerah tersebut atau berhubungan dengan siapa pun.
Ketika dia memberi tahu aku hal ini, sekujur tubuhku merinding. Ketika aku bertanya, Muhammad mengatakan bahwa sejauh yang dia tahu, Abdallah masih hidup.
Aku berdoa untuk Abdallah dan meminta Muhammad untuk tetap aman.
Sekitar sebulan kemudian, pada tanggal 24 November, Muhammad meneleponku.
“Khaled, Abdallah adalah seorang syuhada. Semoga Tuhan mengasihaninya,” katanya sambil terisak-isak.
Aku tidak ingin memercayainya, jadi aku menutup telepon. Aku ingin tetap berada dalam kenyataan di mana Abdallah dan beberapa orang yang aku sayangi dan cintai masih hidup.
Beberapa jam kemudian, aku menerima panggilan telepon lagi, kali ini memberi tahuku bahwa seorang teman baik lainnya, Mohammedd Hamo, syahid dalam serangan udara Israel lainnya.
Aku juga menolak untuk mempercayai berita ini.
Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Abdallah dan Mohammed Hamo masih hidup. Namun, ilusi itu akhirnya hancur ketika aku diberi tahu bahwa ayah Abdallah menemukan jasad putranya di kamp pengungsi Beach.
Air mata mulai mengalir saat kenyataan mulai menghantuiku pada salah satu hari terburuk dalam hidupku.
Ketika Muhammad mengatakan kepadaku bahwa Abdallah adalah seorang pejuang, aku merasa bangga bahwa sahabatku berjuang untuk membebaskan tanah kami yang diduduki, meskipun ada risiko besar bagi keselamatannya sendiri. Abdallah memang pemberani.
Aku mungkin tidak seberani Abdallah, yang membawa senjata untuk melawan pendudukan Israel di lapangan.
Namun seperti yang diajarkan Dr. Refaat kepada aku, aku dapat menjadi pejuang kemerdekaan dan membela Palestina dengan menulis dan menceritakan kisah perjuangan kami, tanah kami, para syuhada kami, dan Abdallah. []
Sumber: The Electronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)