YAMAN-300x169.jpg" alt="Warga Yaman antri mengisi wadah dengan air untuk dibawa pulang. (Foto: Hadeel Al-Jawzi/Al Jazeera)" width="300" height="169" /> Warga Yaman antri mengisi wadah dengan air untuk dibawa pulang. (Foto: Hadeel Al-Jawzi/Al Jazeera)
Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Abdullah Al-Osaimi resah dan kebingungan setiap hari, bagaimana caranya agar ada makanan tersaji di atas meja untuk isteri dan empat anaknya.
Dia sekeluarga melarikan diri beberapa bulan yang lalu dari rumahnya di kawasan Noqm, Yaman, timur ibukota Sanaa, di tengah berlangsungnya serangan udara koalisi pimpinan Arab Saudi yang memerangi pemberontak Houthi. Mereka akhirnya dimukimkan di perumahan sekolah sebagai pengungsi internal di jantung kota Sanaa.
“Masalah menjadi tunawisma telah dipecahkan, tetapi kami tidak dapat menemukan solusi untuk masalah yang paling penting, yaitu akses kepada makanan dan air bersih,” kata Osaimi, seorang pedagang 45 tahun yang kini menganggur.
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Ketika ia dan keluarganya menyelamatkan diri dari Noqm, rumah, toko kecil, dan segalanya harus ditinggalkannya.
“Saya menjadi tidak mampu menyediakan makanan untuk keluarga saya, bahkan kebutuhan dasar, seperti roti tawar dan air,” kata Osaimi.
Om Hussein (55) yang tinggal di distrik Shumaila di ibukota, muncul dengan tubuh lelah sambil membawa wadah plastik besar berisi air menuju rumahnya. Karena tidak ada minyak untuk pompa air listriknya, dia harus pergi mencari air bersih dan dibawanya pulang.
“Setiap hari, saya bangun menuju sumur yang terletak hampir lima kilometer dari rumah saya untuk minum dan memasak,” kata Om Hussein. “Kami tidak lagi bisa mengingat kapan air keluar dari kran di rumah saya.”
Baca Juga: Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia dari Jantung Teluk Persia
Di selatan Sanaa, di provinsi Taiz yang dilanda konflik, Yasin Yahia (25) mengatakan, keluarganya kini makan hanya satu kali sehari.
“Sebagian besar keluarga di Taiz, karena pengepungan oleh Houthi dan perang, menghadapi nasib yang sama,” kata Yahia. “Bagaimana kita bisa mendapatkan akses ke makanan dan air bersih? Dalam situasi seperti itu, kami berharap hanya untuk bisa bertahan hidup, daripada mencari sepotong roti.”
Adapun air, Yasin mengatakan, secara berkala dikirimkan dari provinsi lain.
Yahia mengatakan, ketika truk pembawa air datang di pos pemeriksaan yang didirikan Houthi, gelombang orang dari segala usia dan jenis kelamin berduyun-duyun menuju truk membawa wadah air dengan berbagai ukuran dan bentuk.
Baca Juga: [POPULER MINA] Perang Iran-Israel Memanas dan Masjid Al-Aqsa di Tutup
“Ini adalah momen yang tak terlupakan,” katanya.
Rawan pangan dan malnutrisi
Sejak Maret, koalisi Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan serangan udara di Yaman dalam upaya mengekang ekspansi pemberontak Houthi yang melawan pasukan pemerintah untuk menguasai negara.
Baca Juga: Semarak Bazar Tabligh Akbar: Ragam Stand, Ragam Keberkahan
Ribuan orang telah tewas dalam konflik, memicu krisis kemanusiaan besar-besaran. Lebih 1,5 juta orang telah mengungsi dan banyak lagi yang harus berjuang demi mendapatkan kebutuhan dasar, termasuk makanan, air dan bahan bakar.
YAMAN-300x169.jpg" alt="Peta krisis pangan di Yaman per Oktober 2015. (Gambar: FEWS NET)" width="300" height="169" /> Peta krisis pangan di Yaman per Oktober 2015. (Gambar: FEWS NET)
Menurut Program Pangan Dunia (WFP), sekitar 14 juta orang di Yaman – lebih dari setengah penduduk negara itu – kondisi makananannya tidak aman, dan sekitar tujuh juta orang diklasifikasikan sangat rawan pangan.
“Ini situasi yang sangat serius. Kami akan melakukan yang terbaik sehingga kita tidak melihat memburuknya situasi yang sudah sangat terganggu,” kata Abeer Etefa, Juru Bicara WFP kawasan Timur Tengah.
Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan (FEWS NET) merilis laporan yang menyebutkan, pertempuran yang sedang berlangsung membuat badan-badan bantuan mengalami kesulitan untuk mencapai daerah yang paling membutuhkan, sementara beberapa fasilitas utama perbatasan darat telah ditutup , sedangkan pemberontak Houthi telah mengepung kota barat daya, Taiz.
Baca Juga: Dari Pusdai untuk Al-Aqsa: Seruan Ukhuwah Umat Islam Menggema di Jawa Barat
Rute akses di seluruh negeri, termasuk banyak jembatan yang rusak atau hancur, memperburuk kekurangan pangan.
Laporan ini mengungkapkan, masalah kerawanan pangan di Yaman, sebuah negara yang telah lama berjuang dalam kekurangan gizi dan kemiskinan, telah memburuk secara substansial sejak tahun lalu, dan penurunan akan terus berlanjut.
Pada pertengahan Oktober, harga tepung terigu rata-rata 47 persen lebih tinggi dari rata-rata bulan Februari. Sementara harga solar pada Oktober 270 persen lebih tinggi dari pada Februari. Pada saat yang sama, pendapatan rumah tangga telah jatuh di saat warga bekerja keras untuk mencari nafkah.
Tren berkurangnya pendapatan rumah tangga dan melambungnya harga pangan bisa memperburuk ketahanan pangan dalam beberapa bulan mendatang.
Baca Juga: Menyatukan Umat, Membebaskan Al-Aqsa: Peran Besar AWG di Balik Tabligh Akbar Pusdai
Banyak warga di selatan dan barat Yaman sedang menghadapi “darurat” nasional, terburuk kedua kategori “kerawanan pangan” setelah “bencana/kelaparan”. Situasi ini sangat berat bagi orang-orang terlantar dan orang-orang yang terperangkap di zona konflik aktif.
“Risiko malnutrisi akut juga tetap tinggi karena beban penyakit yang tinggi dan kurangnya akses ke pelayanan kesehatan,” kata laporan FEWS NET itu.
Seorang wartawan dan pengamat lembaga cendekiawan Chatham House, Peter Salisbury mengatakan, situasi telah menjadi mengerikan bagi banyak rakyat Yaman.
“Sebuah potongan besar dari populasi sekarang di ambang kelaparan,” kata Salisbury. “Masyarakat internasional telah berusaha untuk membawa bantuan, makanan dan bahan bakar ke dalam negeri, tetapi masalah besar lebih mendapat tempat.”
Baca Juga: Kata Situs Formula E tentang Jakarta
Salisbury yang mengkhususkan diri mengamati konflik di Yaman mengatakan, di tengah embargo senjata, beberapa kapal komersial besar telah diblokir memasuki Yaman, bahkan PBB dan lembaga bantuan lain telah berusaha untuk mempercepat proses pemeriksaan.
“Jika perang terus berlanjut dan aliran ke dalam perdagangan tidak membaik, hanya bisa mendapatkan yang buruk,” katanya. “Kita berbicara tentang kelaparan di antara orang-orang paling miskin di negeri ini, dan sejumlah besar pengungsi. Itu berarti konsekuensi jangka panjang yang sangat besar akan mengganggu prospek kesehatan dan ekonomi Yaman. Malnutrisi melambatkan perkembangan mental dan fisik anak-anak.”
Menurut FEWS NET, Yaman telah menyaksikan tingkat penderita sakit kalangan anak-anak yang sangat tinggi, seiring peningkatan kasus anak kekurangan gizi.
Data dari provinsi Abyan mengungkapkan, terjadi peningkatan empat kali lipat jumlah anak kurang gizi tahun ini, dari 136 anak pada 2014 menjadi 557 pada 2015. Kecenderungan serupa terlihat di rumah sakit Yaman lainnya.
Baca Juga: Pusdai Jabar: Oase Ukhuwah di Tengah Kota, Mercusuar Pembebasan Al-Aqsha
Juru Bicara Etefa mengatakan, WFP telah bekerja sama dengan koalisi Arab dan mitra lainnya di lapangan untuk memastikan distribusi pengiriman makanan di seluruh negeri, tetapi pendanaan dan akses tetap menjadi masalah utama.
“Situasi berubah setiap hari,” katanya. “Beberapa hari kami memiliki akses yang lebih baik daripada yang lain, dan ketika kesempatan terbuka, kami berpacu dengan waktu untuk menyampaikan makanan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan. Kami takut, jika kita tidak bisa terus mengatasi kebutuhan ini dengan segera, kita pasti akan melihat peningkatan kelaparan dan kerawanan pangan di Yaman.” (T/P001/R07)
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Museum Al-Qur’an Al-Akbar Palembang: Wisata Religi Ikonik di Sumatera Selatan