Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ramadhan dan Rindu: Sebuah Perjalanan yang Menyayat Hati

Redaksi Editor : Arif R - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

16 Views

Persiapan mudik ke kampung halaman

RAMADHAN selalu datang dan pergi, tetapi ia tak pernah kehilangan maknanya. Sejak menginjak bangku Madrasah Tsanawiyah, aku telah terbiasa jauh dari orang tua. Masa-masa sekolah di pondok pesantren, kuliah di Jogja, bekerja di Jakarta, hingga akhirnya berumah tangga di pulau seberang, membuat Ramadhan menjadi waktu yang paling kutunggu. Ramadhan adalah selalu menjadi momen istimewa untuk kembali, berkumpul, dan bersimpuh di hadapan orang tua serta keluarga tercinta.

Namun, perjalanan mudik tak pernah mudah. Berdesakan dalam keramaian, menghadapi kemacetan, dan menahan kebosanan selalu menjadi tantangan tersendiri. Beberapa kali aku hampir tertinggal di kapal feri, kondektur dan beberapa penumpang yang satu bus denganku mencari-cari keberadaanku yang saat itu aku tertidur sendirian di mushola kapal.

Seringkali hobi mengkhayalku muncul, andai pintu ajaib itu sungguh ada. Aku bukan pecinta travelling, bagiku, perjalanan mudik bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi ada hal yang jauh lebih berat dari sekadar lelahnya perjalanan: kenangan yang menyayat hati menyeruak di sepanjang jalan lintas Sumatera, dari Ogan Ilir hingga perbatasan Lampung.

Di sana, setiap jengkal aspal dan tanah mengingatkanku pada sosok yang telah mengajarkanku arti perjuangan. Abi, dengan sepedanya yang renta, pernah melintasi jalan ini demi menafkahi keluarga. Saat itu aku masih kanak-kanak, Abi bekerja sebagai penjual kayu balok. Kadang kayu itu dipesan, tetapi sering pula Abu harus menjajakan sendiri menggunakan sepedanya yang usang.

Baca Juga: Tarawih Kilat di Ibu Kota Serambi Mekkah

Bayangkan, seorang pria paruh baya menuntun sepeda penuh muatan kayu, melewati jalan yang rusak dan licin saat hujan. Bukan sekali dua kali ia tergelincir, tetapi ia tetap melangkah, tetap berjuang. Berjalan kaki tidak membawa apapun sudah berat, Abi berjalan kaki puluhan kilometer menuntun sepeda yang berisi muatan kayu balok panjang nan berat.

Biasanya, Abi pulang saat siang jika dagangannya laku di desa sebelah. Kadang sore, kadang malam. Kami, anak-anaknya, selalu menanti kepulangannya dengan penuh harap. Saat sore tiba, kami terbiasa menunggu di halaman rumah untuk menyambut Abi. Namun, sore itu berbeda, Abi tak juga muncul. Hingga malam dan kami tertidur, Abi tak kunjung pulang. Waktu itu, kami belum punya gadget untuk bertanya kabar. Hari-hari terasa seperti kejutan yang mendebarkan. Satu hari berlalu, lalu dua hari, dan Abi belum juga pulang. Sedangkan di rumah, beras dan bahan makanan telah habis. Rasa lapar bukan lagi sekadar perasaan, melainkan kenyataan yang menghimpit. Hingga akhirnya, tetangga yang melihat keadaan kami tersentuh dan datang membawa beras dan bahan makanan.

Hari ketiga, Abi pulang. Wajahnya kuyu, tubuhnya terlihat begitu lelah. Kami begitu bahagia menyambut kedatangan Abi. Dulu, kami terbiasa berkumpul di malam hari dan bercerita dengan keluarga. Abi  menceritakan perjalanannya selama tiga hari yang hingga saat ini aku tak sanggup membayangkan perjuangannya. Ternyata, saat itu kayu yang Abi bawa tak kunjung laku, membuatnya harus terus berjalan, menuntun sepeda tuanya sampai ke perbatasan Lampung. Jarak puluhan kilometer dari desa Kota Mulya ke Lampung. Namun, ia bertahan, ia berjuang, demi kami yang menunggu di rumah. Betapa besar pengorbanannya.

Sejak saat itu, melewati jalan ini selalu menjadi beban tersendiri bagiku. Setiap sudutnya seakan memutar kembali kisah Abi, menorehkan luka yang belum sembuh sepenuhnya. Bahkan saat ini, ketika menulis kisah ini pun membuat air mataku terus mengalir bercucuran. Hati ini sakit membayangkan apa yang telah ia lalui. Hingga saat ini, aku belum bisa membayar lelahnya dengan apapun. Bahkan hingga usianya yang kini semakin menua dan renta, ia masih terus berjuang untuk keluarga.

Baca Juga: Ramadhan Di Desaku, Inspiratif dan Penuh Makna

“Ya Allah, aku bersaksi bahwa Abi adalah seorang ayah dan suami yang shalih dan penuh tanggung jawab. Haramkan api neraka menyentuhnya, dan tempatkanlah ia di surga-Mu yang terbaik.”

Kisah ini kutulis dalam perjalanan mudik, Kamis, 27 Ramadhan 1446 H. Sebuah perjalanan untuk kembali menemui Abi dan Ummi, dua sosok luar biasa yang akan selalu kukenang dan kucintai hingga akhir hayat. [Farah Salsabila]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Ramadhan Tanpa Abi dan Ummi

Rekomendasi untuk Anda