Gaza, MINA – Ramadhan tahun 1445 H. / 2024 M. di Jalur Gaza hadir tanpa ada dekorasi, tidak ada lentera, dan tidak ada makanan yang cukup.
Aneka lentera, tali hias yang menyala, dan taplak meja makan bersulam adalah semua hiasan dan barang yang hilang dari pasar Jalur Gaza karena perang yang menghancurkan. kondisi yang tidak sama seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya.
Penduduk Jalur Gaza, seperti halnya masyarakat tetangga Arab lainnya, menjelang bulan Ramadhan biasanya membeli barang-barang tersebut untuk menghiasi rumah mereka sepanjang bulan suci Ramadhan.
Di pasar Jalur Gaza, toko-toko yang khusus menjual barang-barang tersebut telah tutup karena hancur dalam serangan Israel. Ditambah kondisi ekonomi yang memburuk warga. Jangankan untuk membeli dekorasi, untuk sekedar membeli makanan pokok pun sangat kesulitan. Hanya mengandalkan bantuan dari luar Gaza.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Tidak seperti setiap tahun, dekorasi Ramadhan yang biasanya menyemarakkan jalan-jalan di sepanjang Jalur Gaza dari utara ke selatan, sebagai bagian dari inisiatif warga dan otoritas setempat, untuk menyambut bulan tersebut, kini lengang. Tinggal sebagian besar terlkihat puing-puing bangunan yang hancur oleh bombardir pasukan pendudukan Israel.
Hiasan-hiasan lampion dengan berbagai ukuran, tali hias yang menerangi bentuk plastik berbentuk bulan sabit dan bintang, dan lain-lain yang menyala, dengan tampilan yang indah di dalam rumah-rumah, kini benar-benar hilang akibat perang.
Salah satu warganet mengomentari apa yang terjadi dan terjadi saat ini, “Tidak ada lagi tempat di hati untuk bersukacita. Semua orang berduka dan terluka.”
Lanjut warganet yang akrab disapa Abu Al-Raed itu saat berbincang dengan Al-Quds Al-Arabi, Sabtu, 9 Maret 2024, “Bahan makanan pokok pun tidak tersedia menjelang Ramadhan.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Selai, keju, dan gula yang digunakan untuk membuat manisan, serta daging, yang merupakan hidangan penting di meja warga. Kini lenyap tak berbekas. Hanya ada reruntuhan tembok bangunan.
Abu Al-Raed, seorang arsitek, mengemukakan bahwa besarnya tragedi yang dialami warga Gaza telah membuat warga melupakan segala bentuk kegembiraan menyambut Ramadfhan.
Ia mengatakan, mayoritas keluarga berduka karena kehilangan salah satu atau lebih dari keluarga dan kerabat mereka, yang gugur sebagai syuhada.
Ratusan ribu warga pun kehilangan tempat tinggal, atau terpaksa mengungsi dan kehilangan tempat tinggal, dengan lebih dari 360 ribu unit rumah hancur. Ini berdampak pada persiapan warga yang sebelumnya digunakan untuk menyambut bulan Ramadhan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Di Jalur Gaza, jumlah syuhada yang gugur dalam agresi Israel yang telah lebih dari 30.000 warga, sementara jumlah korban melebihi 70.000 orang, membuat suasana duka semakin terasa.
Muhammad Saleh, seorang pemuda yang bekerja di toko penjual dekorasi mengatakan, kondisi perang telah menghalangi perayaan datangnya Ramadhan. Ia menyampaikan, para pedagang sudah terbiasa membeli dan menyimpan barang-barang tersebut kurang lebih dua bulan menjelang bulan Ramadhan, karena didatangkan dari luar negeri. Namun kini tak ada lagi.
“Karena serangan dan blokade Israel, tidak ada yang diimpor, dan keadaan secara umum juga menghalangi siapa pun untuk merayakannya,” lanjutnya.
Dia juga menunjukkan bahwa meskipun dapat membeli “dekorasi Ramadhan,” tapi juga tidak akan ada manfaatnya, karena dekorasi ini bergantung pada listrik, yang telah diputus oleh Israel sejak pekan pertama perang.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Pendudukan Israel memutus aliran listrik ke Jalur Gaza, dan juga mencegah masuknya truk bahan bakar untuk mengoperasikan generator perusahaan listrik.
“Warga sudah tidak berpikir lagi bagaimana mendekorasi rumah dan lingkungan, untuk mencari makanan saja kesultan,” ungkapnya.
Ramadhan di Pengungsian
Ibu Fatima Jaber di usia akhir 50-an, tahun ini terpaksa merayakan Ramadhan di tempat pengungsian.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Pusat pengungsian awalnya adalah di bangunan sekolah, di mana ruang-ruang kelas telah diubah menjadi asrama, dan masing-masing kelasn menampung lebih dari 50 orang.
Ada lebih dari 10.000 pengungsi di dalam satu pusat pengungsian. Padahal sekolah terswebut jika terisi penuh pada waktu normal, tidak akan dapat menampung lebih dari 2.000 siswa.
Pusat-pusat ini, serta tenda-tenda darurat yang dihuni oleh para pengungsi, didirikan di daerah-daerah yang tidak memiliki akses terhadap banyak layanan, terutama air. Mereka para pengungsi terpaksa meninggalkan rumah dan wilayah tempat tinggal mereka dari Kota Gaza dan bagian utara, dan dari sebagian besar wilayah kota Khan Yunis, serta dari wilayah timur Jalur Gaza.
Menurut angka yang diberikan oleh otoritas yang berwenang dan organisasi bantuan internasional, jumlah pengungsi berjumlah lebih dari 1,9 juta, dari total populasi 2,2 juta di Jalur Gaza.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Hal ini menciptakan kondisi kemanusiaan yang sulit bagi keluarga-keluarga pengungsi, di mana keluarga-keluarga ini mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan kehidupan baru. Ini terutama pada saat hujan yang membanjiri tenda mereka dan menularkan penyakit musiman yang menular.
Ibu Fatima Jaber sebenarnya sangat ingin menyediakan makanan. Namun mengingat sangat langkanya barang-barang dan tingginya harga barang-barang yang tersedia, yang melebihi kemampuan keuangan keluarganya, membuatnya tak dapat berbuat banyak.
Usaha anggota keluarganya pun sebagian besar terhenti akibat perang, anak-anaknya sudah tidak bisa lagi bekerja. Yang tersisa hanyalah anak laki-lakinya yang bekerja sebagai buruh, dengan penghasilan rendah. Tetangganya pun demikian, kehilangan sejumlah anggota keluarganya.
“Hari-hari indah telah dirampas oleh perang,” imbuhnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Belum lagi harga-harga yang melambung tinggi. Banyak pengunjung pasar yang ingin membeli kacang kalengan, serta selai dan halva yang terbuat dari wijen, karena mereka sangat bergantung pada kacang-kacangan tersebut untuk sahur. Namun harga bahan makanan ini, melebihi harga aslinya lebih dari lima kali lipat.
Jangan tanya kalau mau beli, yang karena kelangkaannya di pasar, harganya naik sangat tinggi. Harga 1 kilogram gula saat ini dijual dengan harga lebih dari 20 dolar, yang sebelumnya harganya lebih murah dari 1 dolar.
Sementara otoritas pendudukan hanya mengizinkan sejumlah kecil truk yang memuat bantuan untuk masuk setiap hari ke Jalur Gaza, dan jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sebagian besar warga.
Dalam banyak kesempatan, pasukan pendudukan Israel malah menargetkan warga yang menunggu bantuan makanan, yang menyebabkan puluhan korban di antara mereka.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Warga Kelaparan
Skala kelaparan dan kekurangan pangan semakin meningkat setiap harinya. Hal ini dibenarkan oleh Badan Pangan Dunia (FAO) yang menyebutkan bahwa 80% penduduk Gaza tergolong dalam kondisi bencana dan kelaparan.
FAO mengindikasikan bahwa 25 persen penduduk Jalur Gaza di wilayah utara dan tengah berada dalam situasi bencana akibat kekurangan pangan.
Dalam konteks ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa puluhan anak-anak sekarat karena kelaparan di rumah sakit di Jalur Gaza utara, akibat kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Menurut Bank Dunia, , hampir semua penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan ekstrem dan menghadapi kekurangan “ketahanan pangan.”
Sementara Komite Palang Merah Internasional mengatakan bahwa orang-orang di Gaza kelaparan, mengingat bantuan yang diterima mereka jauh lebih sedikit.
Komisaris Jenderal UNRWA juga menegaskan bahwa kelaparan menyebar ke mana-mana.
Kondisi ini seharusnya membuka mata dunia melek, memberikan bantuan kemanusiaan tiada henti, membuka blokade Jalur Gaza segera, menghentikan serangan genosida Israel, dan mewujudkan kemerdekaan Palestina secara keseluruhan. (A/RS2/P2)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sumber : Al-Quds Al-Araby.
Mi’raj News Agency (MINA)