Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI)
Setelah kita menempuh puasa selama sebulan penuh dalam bulan Ramadhan, pada hari raya Idul Fitri manusia diharapkan kembali pada sifat-sifat aslinya ketika ia diciptakan pertama kali. Suatu sifat yang diharapkan membawa keberkahan dan perbaikan bagi individu. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita juga sebagai umat dan bangsa, setelah Ramadhan, sudah terlihat perbaikan dengan meningkatnya “kesalehan sosial” dan bahkan “kesalehan alam” kita.
Kesalehan individu kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dan sebagainya. Disebut kesalehan individu karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas dan hablum minal ‘alam.
Sedangkan “Kesalehan Sosial dan alam” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial dan peduli lingkungan. Bersikap santun pada orang lain, sangat perhatian terhadap pemecahan masalah-masalah umat manusia dan alamnya, memperhatikan dan menghargai hak sesama makhluk hidup sebagai ciptaan Allah, dan seterusnya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Kesalehan sosial dan alam dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk seluruh makhluk hidup di bumi.
Kesalehan sosial dan alam menjadi sangat penting karena di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Sesungguhnya kerusakan yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Esensi puasa, secara fiqh, adalah menahan diri dari hawa nafsu. Akibat perilaku manusia yang eksploitatif terhadap bumi beserta dengan pembuangan limbah yang mencemari lingkungan. Perilaku ini telah mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem bumi yang berimbas pada manusia itu sendiri dengan meningkatnya gagal panen dan ketahanan pangan serta kerentanan ketersediaan air.
Dengan Idul Fitri, manusia diharapkan mampu memahami dan menghayati jatidirinya sebagai manusia, mampu mengembangkan dan menjaga sifat-sifat kemanusiaan secara terus menerus. Sehingga, lebih jauh ia mampu mereformasi dirinya kembali agar tetap menjadi manusia yang benar-benar manusia secara terus menerus. Bukan sesaat menjadi manusia kemudian kembali menjadi binatang buas yang melampiaskan segala nafsunya tanpa kendali.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Imam Ghazâlî dalam kitab Ihyâ’ Ulûm al-Dîn menyatakan bahwa sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan dari situlah timbul syahwat faraj. Karena banyak kejadian yang telah diceritakan dalam Al-qur’an terkait dengan kesalahan manusia akibat mengikuti syahwat perutnya.
Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan seseorang mencari dunia dengan rakusnya dan menyukainya secara berlebih, yang dampak lebih jauhnya juga akan menyebabkan rusaknya lingkungan. Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur’an Surat Al-Furqon (QS 25:43): “Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?”.
MUI telah menetapkan Fatwa No. 47/2014 Tentang Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan, dimana salah satu ketentuan hukumnya adalah setiap muslim wajib menjaga kebersihan lingkungan, memanfaatkan barang-barang gunaan untuk kemaslahatan serta menghindarkan diri dari berbagai penyakit serta perbuatan tabdzir dan israf.
- Tabdzir adalah menyia-nyiakan barang/harta yang masih bisa dimanfaatkan menurut ketentuan syar’i ataupun kebiasan umum di masyarakat.
- Israf adalah tindakan yang berlebih-lebihan, yaitu penggunaan barang/harta melebihi kebutuhannya.
“Orang Mukmin itu bagaikan lebah, jika ia makan sesuatu ia makan yang baik, jika ia mengeluarkan sesuatu ia keluarkan yang baik. Dan jika ia hinggap di ranting yang sudah lapukpun, ranting itu tidak dirusaknya.” (HR. Tirmizi)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusian adalah sebuah serial panjang sepanjang umur manusia dan eksistensi agama. Hal itu sangat ditekankan di dalam Al-Quran, karena misi Islam untuk rahmat seluruh alam. (AK/R1/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat