Oleh: K.H. Yakhsyallah Mansur,MA, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Pembina Utama Pondok Pesantren Al-Fatah Indonesia
Muqaddimah
ٱلَّذِينَ يَأۡڪُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُ ۥ مَوۡعِظَةٌ۬ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُ ۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُ ۥۤ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيہَا خَـٰلِدُونَ (٢٧٥)
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275).
Pada ayat ini Allah menginformasikan pribadi orang yang hidup dari riba. Dia hidup seperti orang yang dirasuki setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ayat ini disesuaikan dengan keyakinan bangsa Arab Jahiliyyah bahwa setan atau jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan membuatnya mejadi gila.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Orang yang hidup dari riba diumpamakan orang gila disebabkan dia dimabukkan oleh kecintaan kepada harta dan setelah harta mampu memperbudak pikirannya, jiwanya menjadi ganas, ingin menguasai orang lain dan perilakunya tidak lagi mengindahkan nilai kemanusiaan.
Sebagai gambaran kecil, Ahmad Musthafa al-Maraghi mencontohkan aktivitas orang yang sedang bertransaksi di pasar bursa. Gerakan dan sikapnya lincah dan serius. Dari celah aktivitas dan sikap mereka yang lincah dapat kita saksikan gerakan yang tidak teratur. Orang Arab mengistilahkan orang yang suka berbuat tidak teratur (ngawur) itu sebagai gila.
Para ulama menyatakan bahwa orang yang hidup dari riba, akan dibangunkan di hari kiamat dalam keadaan gila. Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam hadits marfu’ dari Auf bin Malik, sebagai berikut:
إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِى لاَ تُغْفَرُ اَلْغُلُولُ – اَلْخِيَانَةُ فِى مَغْنَمٍ وَغَيْرِهِ – فَمَنْ غَلَّ شَيْأً أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ.
Artinya: “Hati-hatilah kamu terhadap dosa-dosa yang tidak tidak bisa diampuni: khianat terhadap bagian orang lain, barangsiapa yang berkhianat mengambil sesuatu, maka kelak di hari kiamat akan didatangkan; dan riba, barangsiapa yang memakan riba, esok hari kiamat ia akan dibangunkan dalam keadaan gila, membabi buta.”
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Riba atau bunga menurut bahasa adalah penambahan. Sedang menurut syari’ah adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
Ayat di atas adalah salah satu ayat yang menunjukkan haramnya riba. Sebagian orang beranggapan bahwa riba itu dibolehkan dengan syarat penambahannya (bunganya) tidak berlipat ganda dan memberatkan. Anggapan ini berasal dari pemahaman yang keliru atas firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 130).
Sepintas ayat ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi apabila kita memahaminya secara lebih komprehensif dan mendalam, akan sampai kepada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuknya mutlak diharamkan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Kriteria berlipat ganda pada ayat bukanlah syarat, tetapi hal ( حال) atau sifat umum dari praktek pembungaan uang. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan makan riba, jika tidak berlipatganda maka tidak riba.
Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Druz, dalam Konferensi Fiqh Islam di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik kata ضعف (kelipatan). Sesuatu berlipat minimal dua kali lebih besar dari semula, sedangkan kata أضعاف adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian, أضعاف berarti 3 x 2 = 6 kali. Adapun kata مضاعفة adalah ta’kid untuk menguatkan. Menurutnya kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara nalar dan operasional, angka itu mustahil dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
Dampak Negatif Riba dalam Kehidupan Masyarakat
Riba adalah masalah sosial yang paling besar yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Orang Yahudi mempraktekkan riba degnan orang non Yahudi. Orang Nasrani mempraktekkan riba dengan antar mereka sendiri dan selain mereka.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Dalam hal ini, umat Islam berhasil membersihkan diri dari praktek riba ini sejak masyarakat Islam berkembang di Madinah sampai runtuhnya Daulah Turki Utsmani. Setelah runtuhnya Daulah Turki Utsmani, hampir seluruh sendi-sendi masyarakat Islam mengikuti pola Barat termasuk di bidang ekonomi. Karena perekonomian Barat mempraktekkan ekonomi yang berbasis riba maka di abad modern ini riba telah menyebar di seluruh wilayah Islam. Hal ini disebabkan para penguasa negeri-negeri muslim memaksa rakyatnya untuk melakukan kontak dengan urusan riba sehingga riba dianggap sebagai hal yang biasa bahkan sesuatu kelaziman dalam praktek perekonomian mereka.
Islam mengharamkan riba karena sangat membahayakan kehidupan masyarakat, diantaranya:
- Menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat
Al-Maududi mengatakan bahwa riba merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Riba akan menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap karakter manusia. Diantaranya, riba menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan Allah. Riba menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan sempit, serta berhati batu.
- Menjadikan nilai uang masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa depan. Manusia dianggap akan mengedepankan kepuasan untuk masa sekarang. Kalangan inilah yang menjelaskan fenomena riba dengan rumusan yang dikenal dengan menurunnya nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini. Singkatnya mereka menganggap riba sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh dari barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu yang akan datang.
- Menghambat profesionalisme kerja yang sebenarnya.
Riba bisa menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sebenarnya, maksudnya, orang yang mempunyai uang dan bisa mengembangkan kekayaannya dengan jalan riba maka orang tersebut akan meremehkan kerja. Sebab penghasilan dapat mereka tempuh melalui riba. Akhirnya ia terbiasa dengan kemalasan, dan membenci pekerjaan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
- Melahirkan permusuhan, saling membenci dan pertengkaran.
Riba dapat melahirkan permusuhan, saling membenci, dan pertengkaran. Sebab riba mencabut perasaan belas kasihan dari hati dan mencemarkan harga diri. Lantaran riba, perasaan saling menolong akhirnya menjadi lenyap dan sebagai gantinya muncul rasa kejam dan sadis yang tidak berperikemanusiaan. Sehingga apabila terdapat orang yang kelaparan, tidak ada seorangpun yang mau menolongnya. Inilah yang mengakibatkan munculnya gap yang makin lebar antara Negara maju dan Negara terbelakang yang sampai saat ini.
- Menghilangkan keberkahan harta.
Berkah dalam harta adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan yang ditimbulkan oleh harta, sedangkan riba akan menghilangkan berkah tersebut. Orang yang mendapatkan harta melalui riba maka hartanya akan membuat hidupnya semakin sengsara. Fenomena inilah yang kita lihat di dunia modern ini. Dimana banyak orang yang menderita bahkan bunuh diri di tengah-tengah tumpukan harta yang mereka miliki. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar-Ruum [30]: 39).
Bahaya yang ditimbulkan oleh riba itulah yang menyebabkan krisis perekonomian yang berkepanjangan di abad ke-20 ini. Kehancuran sektor swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga atau riba. Struktur bunga tetap untuk jangka waktu panjang pun dapat menghancurkan perusahaan yang tengah berkembang bila keuntungan yang diperolehnya tidak cukup untuk menutupi beban bunga tersebut.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Krisis ekonomi yang saat ini menimpa Amerika Serikat yang kemudian merambah ke sejumlah negara termasuk Indonesia, saat ini juga membuktikan betapa rapuhnya sistem perekonomian yang berbasis riba tersebut.
Menurut Imam Sugema, ekonom IPB, ada tiga kiamat yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis financial yang bermula dari Amerika Serikat, yang boleh jadi menjadi penyebab turning point atau titik balik perekonomian nasional pada 2009.
Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di Amerika Serikat.
Kiamat kedua adalah financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30 persen, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Kiamat ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9 persen dan 15 persen.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusaha an di sektor riil pun terganggu.
Hal tersebut ditandai dengan semakin melemahnya permintaan di sejumlah pasar tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Memang jika dianalisis, kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan Amerika Serikat tidak terlalu memengaruhi kinerja ekspor nasional. Ini karena total ekspor kita ke Amerika Serikat hanya 9-10 persen dalam dua tahun terakhir, di mana angka ini kurang dari tiga persen PDB kita.
Namun, melemahnya perekonomian Amerika Serikat membawa efek berantai pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Dengan lemahnya permintaan di negara-negara tersebut, tidaklah mengherankan jika persentase tren ekspor Indonesia turun, bahkan drop 11,6 persen per Oktober 2008.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat.
Kembali Kepada Sistem Ekonomi Islam
Islam hadir dengan berbagai perlengkapan ajaran yang bersifat multidimensional karena akan menjadi tempat berpijak bagi peradaban manusia. Tantangan bagi kemanusiaan pada hakikatnya hampir tidak berbeda dari masa ke masa, hanya kemasan dan coraknya saja yang berbeda. Begitu pula dalam bidang ekonomi, Islam menantang system-sistem yang berlaku di dunia khususnya pada saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus.
Di dalam Islam, sebagaimana semua jenis kerja rekayasa, aktivitas ekonomi adalah bentuk ibadah manusia untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak melalui proses-proses keduniawian yang sangat komplek. Allah menegaskan kepada manusia untuk mencari kebahagiaan akhirat dari apasaja kekayaan yang diberikan kepada mereka di dunia:
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 77).
Dalam perspektif Islam, aktivitas ekonomi bersifat universal, artinya tidak hanya untuk menyejahterakan kaum muslimin belaka tetapi untuk seluruh umat manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertransaksi ekonomi dengan siapapun termasuk orang Yahudi bahkan sampai ke persoalan hutang. Utsman bin Affan berdagang lintas negara dengan membawa komoditi perdagangan dalam jumlah yang sangat besar. Surat al-Quraisy (1 – 4) mencerminkan pola perdagangan internasional di kalangan bangsa Arab pada umumnya pada musim dingin maupun musim panas. Pola perdagangan ini tidak berubah pada zaman Islam.
Islam menggariskan dalam berinteraksi dengan segala jenis manusia di muka bumi ini. Pilar pertamanya ibadah, dan pilar keduanya adalah keadilan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam senantiasa memperhatikan tingkah laku orang yang bekerja di bidang perekonomian dengan menekankan perlunya dibangun sikap keadilan ini. Beliau sering mengancam orang-orang yang berbuat korupsi, menimbun, spekulasi, dan lain-lainnya dengan ancaman yang pedih di akhirat nanti.
Dalam bidang perekonomian, Islam telah memberikan beberapa prinsip dasar, di antaranya:
- Kepemilikan hanyalah ada di tangan Allah. Oleh karenanya, manusia boleh mengolah alam semesta ini dengan keadilan bagi seluruh manusia dan tidak boleh ada penguasaan mutlak atas harta benda yang mereka miliki. Konsekuensi dari hal ini tercermin dalam konsep zakat, pengelolaan tanah, penguasaan barang-barang strategis, dan lain-lain.
- Modal menurut Islam, hendaknya dapat bergerak dan berputar diantara manusia melalui mekanisme yang tersedia, misalnya pewarisan, perdagangan, hadiah, dan lain-lain, sehingga jurang perbedaan antara kaya dan miskin tidak terlalu dalam. Meskipun tidak berpretensi untuk ditiadakan sama sekali.
- Transaksi ekonomi diantara manusia tidak boleh bersifat merugikan satu sama lain, dan oleh karenanya, Islam mengutuk penipuan dalam perdagangan, monopoli, perdagangan fiktif, dan lain-lain.
- Institusi riba sangat ditolak dengan keras, juga hal-hal lainnya yang berbau riba dalam system perekonomian manusia, karena riba ini telah menjadi alat pemerasan sepanjang sejarah kemanusiaan.
- Kerjasama-kerjasama ekonomi dibolehkan dalam berbagai bentuknya (mudharabah, murabahah, musyarakah, dll.) di atas prinsip taawun (saling menolong) dan takaful (saling menanggung).
- Campur-tangan ‘ulil amri terhadap pasar adalah campur tangan regulative yang bersifat moral. Diantaranya dalah system dan mekanisme pengawasan yang diterapkan kepada tingkah laku para pelaku pasar, sehingga pasar dapat berlangsung dengan sehat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menolak untuk ikut campur dalam penentuan harga pasar, dan Umar bin Khaththab pernah memeriksa pedagang-pedagang di pasar dan mengusir mereka yang tidak memahami prinsip-prinsip Islam dalam aktivitas perekonomian.
Menurut Ibn Khaldun, aktivitas perekonomian akan terjadi kesenjangan apabila para pejabat pemerintah ikut terjun langsung dalam dunia perdagangan dan permainan pasar. Ibn Khaldun menganalisa beberapa bahaya dari fenomena ini, yaitu:
- Rakyat pedagang akan mendapat kesulitan untuk memeroleh barang dagangan, karena kalah bersaing dengan para pejabat yang berdagang dengan modal besar serta fasilitas dan kekuasaan yang dimiliki.
- Pejabat dan penguasa dapat memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada petani atau pedagang dalam memenuhi keuntungan perdagangannya sendiri sehingga mengacaukan harga pasar.
- Modal dan harta para pedagang, dan petani akan terus menerus tersedot pada kerugian-kerugian akibat perdaganan yang tidak sehat itu sampai akhirnya habis sama sekali dan menjadi orang miskin.
- Pada akhirnya timbul frustasi yang tinggi dari kalangan petani dan pedagang dan mereka tidak mau terlibat lagi dalam dunia itu yang berarti menambah masalah baru karena bertambahnya jumlah pengangguran atau kemiskinan.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam telah terbukti dapat mewujudkan kemakmuran masyarakat. Hal ini terbukti pada masa Umar bin Abdul Aziz, salah seorang raja dari Dinasti Bani Umayyah. Pada saat itu, kemakmuran dan keadilan dapat terwujud di seluruh wilayah negeri-negeri Islam. Indikator kemakmuran yang ada saat itu antara lain tampak ketika para amil zakat berkeliling di perkampungan-perkampungan Afrika (benua termiskin saat ini), mereka tidak menemukan seorangpun yang mau menerima zakat. Negeri Islam saat itu benar-benar mengalami surplus bahkan sampai ke tingkat dimana utang-utang pribadi dan biaya pernikahanpun ditanggung oleh Baitul Maal. Wallahu a’lam bishawab. (R02/P4)
Maraji’
- Al-Qur’anul Karim.
- Tafsir al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi.
- Fath al-Baari, Ibn Hajar al-Asqalani.
- Bank Syariah, Muhammad Syafi’i Antonio.
- Pro-Ekonomi Syari’ah, Pro-Rakyat, Irfan Syauki Beik.
- Suara Hidayatullah 10/XVI/Februari 2002.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)