Oleh: Shobariyah Jamilah, Wartawati Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Usia muda dan sudah berkeluarga tak menghalanginya menjadi seorang peneliti dan menghasilkan pemanfaatan biota laut untuk industri kesehatan dan kecantikan. Prestasinya dinilai luar biasa.
Demikian capaian Ratih Pangestu, peneliti muda berusia 31 tahun, wanita muslimah, ibu muda.Penelitiannya tentang kuda laut membawanya pada penemuan senyawa aktif yang berpotensi menangkal Alzheimer (merupakan sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil).
Kontribusinya terhadap penelitian dan pemanfaatan biota laut untuk industri kesehatan dan kecantikan dinilai luar biasa. Antara lain berhasil mengekstrak kuda laut untuk mencegah kematian sel akibat penyakit alzheimer.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Inilah yang mengantar Ratih Pangestuti meraih LIPI Young Scientist Award (LYSA) 2015 yang pertama kali diadakan. Demikian keterangan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Ratih adalah Doktor bioteknologi maritim alumni Pukyong National University, Korea Selatan. Sebelumnya ia mendapt gelar master bioteknologi dari Glasgow University, Scotlandia. Ia memilih Iptek kemaritiman sebagai bidang kepakarannya.
Pakar berjilbab ini awalnya tidak menyangka hasil penelitiannya tentang biota laut meraih LPYSA 2015. Terlebih jika melihat fakta LYSA diikuti banyak peneliti muda dari berbagai instansi, lembaga, dan kementerian pemerintah.
Karena itu, Ratih hanya bisa bersyukur menjadi pertama peraih LYSA mengingat tahun 2015 merupakan tahun awal penghargaan diselenggarakan.
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
LYSA adalah penghargaan bagi ilmuwan muda Indonesia berusia di bawah 35 tahun dengan prestasi, konsistensi, dan track record seorang peneliti selama lima tahun terakhir. Parameternya adalah seberapa besar kontribusi hasil riset itu bermanfaat bagi masyarakat luas dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Penghargaan ini diberikan bertepatan dengan Konferensi Ilmu Pe-ngetahuan Nasional (KIPNAS) IX dan Indonesia Science Expo (ISE) 2015 silam.
Berbagai apresiasi dan pujian pun mengalir kepada Ratih. Salah satunya dari Menteri Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Puan Maharani. Puan juga merasa bangga ada perempuan anak bangsa berusia muda telah mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude dari perguruan tinggi ternama luar negeri.
Meskipun banjir pujian, Ratih Panestuti tetap rendah hati dan bersahaja menyikapi berbagai penghargaan dan apresiasi yang disematkan kepadanya. Kepada Majalah Sains Indonesia, ia mengungkapkan, hanya berharap bisa meningkatkan diri menjadi peneliti lebih baik dan terus berkontribusi dalam bidang Iptek Kemaritiman Indonesia.
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
“Sejak 2,5 tahun lalu saya sudah menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun, karier penelitian sudah saya mulai sejak 2006. Waktu itu saya jadi mahasiswa pascasarjana di Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Di sana saya di-treat untuk bisa mandiri, mendesain riset sendiri dan melakukan publikasi,” katanya.
Ia juga telah dua kali menempuh pendidikan S2, keduanya hasil beasiswa. Setelah di UKSW itu, Ia juga mendapat beasiswa S2 di University of Glasgow, Skotlandia, mengambil jurusan yang mirip, yaitu Biomedical and Life Sciences. Kemudian ia mendapatkan beasiswa S3 di Pukyong National University di Busan, Korea Selatan dengan jurusan Marine Biochemistry (Biokimia Kelautan).
“Di sana, kita lebih banyak melakukan eksplorasi dan identifikasi senyawa aktif dari biota laut, dan meneliti kegunaannya bagi kehidupan manusia. Nah, ketika sekolah doktoral di Korea itulah, saya pernah meneliti senyawa aktif dan manfaat rumput laut, teripang, alga, dan lainnya,” paparnya.
Awal penelitian Kuda Laut Sebagai Obat penangkal Al Zheimer
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
“ Saya menelitinya pada 2012 bersama tiga orang dari Korea, termasuk profesor pembimbing dan senior saya. Namun penelitiannya belum selesai karena masih ada beberapa tahap lagi yang belum dilakukan, jadi masih terlalu dini untuk bisa dikatakan sebagai obat penangkal alzheimer. Untuk bisa disebut obat, senyawa aktif harus memiliki beberapa tahap penelitian yang cukup mendalam,”jelasnya.
“ Kemudian penelitian saya baru pada tahap dasarnya saja. Tahap pengujian in vivonya bagus, lalu preclinical test. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu senyawa yang berpotensi menangkal penyakit alzheimer. Meski demikian, kami sudah mendapatkan hak patennya dari Amerika tahun 2015 dan mendapatkan hak paten Korea tahun 2014,” tambahnya.
Awal penelitiannya adalah pada tahun 2010, Isolasi peptidanya memakan waktu satu tahun lamanya sampai tingkat keberhasilannya hingga mencapai 90 persen, jika dilihat dari tingkat in vitro dan in vivo namun tidak sampai di situ Ia juga harus mengujinya lebih lanjut.
“Kadang muncul rasa jenuh. Beruntung, support keluarga luar biasa. Kalau tidak didukung suami, mungkin enggak kelar, walaupun sebetulnya saya senang bekerja di dalam laboratorium. Waktu sekolah di Inggris, meski akhir pekan dilarang masuk laboratorium, saya ngotot minta izin, karena toh di sana teman saya dari Indonesia tidak banyak. Akhirnya diperbolehkan dan saya bisa melakukan beragam eksperimen,” kenangnya.
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Waktu itu ia dapat membaca sebuah jurnal yang mengatakan bahwa kuda laut telah lama digunakan sebagai obat tradisional Cina, digunakan untuk menguatkan ginjal dan jantung, serta bermanfaat untuk otak.
Hasilnya, ia menemukan bahwa peptida kuda laut ternyata sangat bagus. Peptida yaitu rangkaian protein yang jumlahnya 8-20 asam amino. Asam amino pendek ini juga memiliki rangkaian yang random dengan kriteria sendiri-sendiri. Nah, rangkaian yang ada pada kuda laut ini ternyata sangat bagus manfaatnya untuk tubuh dan otak kita, antara lain untuk mencegah alzheimer.
Sejak kecil tertarik jadi peneliti
Sejak kecil, Ratih memang sudah tertarik pada dunia penelitian dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. “Waktu main bola bekel misalnya, saya selalu ingin tahu mengapa bolanya bisa naik turun. Mulailah saya mengulik-ulik lebih dalam,”kenangnya mengingat masa kecilnya.
Baca Juga: Penting untuk Muslimah, Hindari Tasyabbuh
“Saya ingin jadi peneliti dan memberikan manfaat lebih untuk masyarakat Indonesia tentang organisme laut, ke depannya. Bagaimana bisa masyarakat yang tinggal di daerah pesisir tidak tahu apa itu rumput laut dan manfaatnya. Padahal, mereka bisa meningkatkan taraf ekonominya dengan mengolahnya lebih lanjut,” harapnya.
Tidak terlalu sulit menjadi peneliti
Menurutnya, menjadi seorang peneliti bukanlah suatu hal yang mudah dan tidak juga terlalu sulit jika dapat mengatur waktu sebaik-baiknya seperti yang dialaminya.
“Yang pertama, jelas dana. Kedua, sebagai peneliti sekaligus ibu rumahtangga, istri dan perempuan, saya harus bijak membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Sebab, melakukan penelitian sangat menyita waktu. Misalnya, saya harus menunggui sel. Itu bisa memakan waktu sangat panjang, terkadang menunggu sampai malam. Saya juga harus terbiasa mendapat tugas mendadak. Pernah, begitu tiba di kantor, di meja saya sudah ada tiket pesawat untuk ke luar kota keesokan paginya”, kata ibu dari dua orang anak ini.
Baca Juga: Peran Muslimat dalam Menjaga Kesatuan Umat
Untuk menyiasati waktu, melakukan tugas lapangan ke laut tertentu di daerah, tidak pernah ia lakukan lebih dari seminggu, karena harus meninggalkan suami, Puji Rohmadi, dan dua anaknya, Shaka Rasendria Rohmadi, yang baru berusia 1,5 tahun.
“ Alhamdulillah suami sangat mendukung dan tak pernah melarang saya bertugas ke luar kota. Tanpa dukungan suami dan orangtua saya yang ikut menjaga anak kami, saya bukan apa-apa. Beruntung, dalam setahun paling hanya 3-4 kali saya melakukannya,” ucapnya dengan penuh syukur.
Ia melakukan penelitian berbagai tempat di daerah di Indoensia seperti ke Makassar, Mataram, Lampung, dan lainnya. “Kami naik kapal sopek untuk mencari tripang, rumput laut, dan lainnya di laut. Yang paling sering saya teliti adalah rumput laut, baik dari jenis alga merah, cokelat, maupun hijau. Saya juga pernah meneliti mikroalga,” ceritanya.
“Pernah meneliti bulu babi tapi tidak mendalam, karena fokusnya terpecah oleh penelitian kuda laut. Waktu di Korea saya juga pernah melakukan penelitian tentang tripang. Bedanya, tripang Korea aktivitas antikankernya sangat tinggi, sedangkan tripang Indonesia aktivitas antioksidannya yang kuat,”tambahnya.
Baca Juga: Derita Ibu Hamil di Gaza Utara
“Sebenernya Indonesia adalah negara yang sangat kaya sebanyak 5,62 persen spesies rumput laut dunia ada di Indonesia atau sekitar 800 spesies. Dari jumlah itu, yang dimanfaatkan masyarakat Indonesia tidak lebih dari 10 spesies. Begitu pula dengan tripang. Indonesia merupakan pedagang tripang terkuat di dunia, tapi kebanyakan diekspor ke berbagai negara termasuk China untuk digunakan sebagai obat dan lainnya,”ungkapnya.
Ironisnya, katanya, produk obat berbahan baku tripang yang terkenal justru dibuat negara tetangga, bukan Indonesia. Masyarakat Indonesia baru mengolahnya sebatas menjadi keripik, padahal kalau diolah lagi akan memiliki nilai tambah yang lebih besar.
Rencananya ke depan mengembangkan tripang dan alga laut Indonesia untuk menjadi produk pangan fungsional dan nutraceutical, yaitu suatu produk yang berupa suplemen atau produk lain yang diklaim bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya, minuman suplemen yang diklaim bisa menurunkan kadar kolesterol.
“Dalam jangka panjang, kami juga ingin mengembangkan penelitian cosmeceutical, yaitu gabungan kosmetik dan pharmaceutical, misalnya sebagai lotion yang bisa berfungsi sebagai antioksidan atau antikerut,” tambanya. (T/P005/Rana/P2)
Baca Juga: Kiat Menjadi Muslimah Penuh Percaya Diri
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Fitnah Medsos yang Perlu Diwaspadai Muslimah