Washington, MINA – Pada tanggal 8 September, ratusan karyawan Google dan Amazon akan melakukan protes di luar markas kedua perusahaan, menyerukan pembatalan Project Nimbus, kesepakatan $ 1,2 miliar dengan Israel yang akan menyediakan layanan penyimpanan cloud dan kecerdasan buatan (AI).
Gerakan #NoTechForApartheid rencananya juga akan diadakan di kota-kota San Francisco, New York dan Seattle dalam upaya untuk mencegah Israel menggunakan teknologi dalam kejahatannya terhadap rakyat Palestina, Kantor Berita Wafa melaporkan.
Gerakan yang didirikan tahun lalu itu juga telah memulai kampanye untuk menandatangani petisi, yang meminta manajemen kedua perusahaan membatalkan kesepakatan.
Petisi yang sejauh ini telah ditandatangani oleh hampir 40.000 warga Amerika menyerukan kedua raksasa teknologi untuk “berhenti berurusan dengan rezim apartheid Israel dan menarik diri dari proyek Nimbus.”
Baca Juga: Trump Disebut Menentang Rencana Israel Aneksasi Tepi Barat
Petisi tersebut menegaskan solidaritas dengan ratusan karyawan Amazon dan Google, yang dengan berani menyerukan penarikan dari kontrak Nimbus.
”Saat militer Israel mengebom rumah, klinik, dan sekolah di Gaza dan mengancam akan mengusir keluarga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem Mei 2021, Amazon Web Services dan eksekutif Google Cloud menandatangani kontrak senilai $1,22 miliar untuk menyediakan teknologi cloud kepada pemerintah dan militer Israel. Dengan melakukan bisnis dengan apartheid Israel, Amazon dan Google akan memudahkan pemerintah Israel untuk mengawasi warga Palestina dan memaksa mereka keluar dari tanah mereka,’’ bunyi petisi tersebut.
”Kami mengindahkan seruan dari lebih dari 1000 pekerja Google dan Amazon untuk menentang kontrak, yang dikenal sebagai Project Nimbus. Teknologi harus digunakan untuk menyatukan orang, bukan memungkinkan apartheid, pembersihan etnis, dan kolonialisme pemukim,” tambahnya.
Gerakan tersebut juga mengatakan dalam petisinya, ”Kolaborasi Amazon, Google dengan apartheid Israel adalah bagian dari pola Big Tech yang lebih besar yang memicu kekerasan negara di seluruh dunia. Perusahaan teknologi seperti Amazon dan Google adalah pencatut perang baru dan memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk. Amazon membantu memberi daya pada mesin deportasi-penahanan ICE, dan bermitra dengan lebih dari 2.000 departemen kepolisian AS untuk mengawasi dan mengkriminalisasi komunitas kulit hitam dan cokelat melalui cincin kamera bel pintunya.’’
Baca Juga: Syamsuri Firdaus Juara 1 MTQ Internasional di Kuwait
”Teknologi dapat menyatukan orang, tetapi ketika alat ini digunakan untuk merugikan komunitas, mereka membuat dunia menjadi kurang aman bagi kita semua. Itu sebabnya pekerja di Google dan Amazon mendesak atasan mereka untuk menjalankan pembicaraan tentang hak asasi manusia,” ujar mereka. (T/R7/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: AS Jatuhkan Sanksi Enam Pejabat Senior Hamas