trump-300x200.jpg" alt="" width="300" height="200" />California, 15 Rabiul Awwal 1438/ 15 Desember 2016 (MINA) – Ratusan programmer diantaranya, insinyur perangkat lunak, desainer, eksekutif bisnis dan personil pengolahan data dari perusahaan-perusahaan AS seperti Google, Twiter, Microsoft, Mozilla dan Palantir Teknologi tidak bersedia membuat database tentang muslim yang didasarkan pada etnis dan agama.
Ketika ditanya tahun lalu pada kampanye apakah Donald Trump berpikir Amerika Serikat harus membuat database Muslim di negara itu, dia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan NBC News: “Oh, saya pasti akan benar-benar menerapkannya.”
Hari Selasa (12/12) lalu, ratusan anggota industri teknologi (IT) diberi pertanyaan di atas apakah mereka akan membantu membangun basis data tersebut. Jawabannya adalah tidak.
ke-590 programer itu, katanya, telah menandatangani perjanjian memilih membangun solidaritas dengan Muslim Amerika, imigran, dan semua orang yang kehidupan dan mata pencahariannya terancam oleh kebijakan pengumpulan data yang diusulkan pemerintahan tersebut.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut antara lain: Menolak untuk berpartisipasi dalam pembentukan database yang memungkinkan pemerintah menyasar individu berdasar ras, agama dan negara asal, mengadvokasi organisasi mereka untuk meminimalisir koleksi data yang dapat memfasilitasi penargetan etnis dan agama, bertanggung jawab dalam menghancurkan data beresiko tinggi serta back upnya, berhenti dari organisasi yang memerintahkan mereka untuk membuat bank seperti tersebut di atas.
Dengan penandatangan janji tersebut, menurut Kresta Daly dari organisasi hak sipil dan pengacara yang berbasis di Sacramento, industri teknologi melancarkan perlawanan.
“Jika pengusaha melihat bahwa karyawan mereka secara terbuka enggan untuk bekerja sama dalam database itu, hal ini menyulitkan proses bergerak maju,” ujar Kresta Daly.
Tidak jelas apakah pemerintah akan bersandar pada sektor teknologi untuk membangun database tersebut, atau bahkan akan memenuhi janjinya – melarang Muslim memasuki negara itu.
Baca Juga: DK PBB Berikan Suara untuk Rancangan Resolusi Gencatan Genjata Gaza
Pada minggu-minggu setelah kemenangan Trump, tim presiden terpilih mundur dan mengatakan mereka tidak pernah menganjurkan membuat “daftar atau sistem yang melacak individu berdasarkan agama mereka.” Namun, situs Trump masih menyerukan “larang Muslim memasuki Amerika Serikat” – proposal ini jika diterapkan, akan bergantung pada database tersebut.
Daly percaya, membangun database tersebut akan membutuhkan bantuan jaringan media sosial untuk mengumpulkan data pengguna. Mereka yang menandatangani kekompakan itu berharap untuk melindungi nilai-nilai terhadap kebijakan tersebut.
Apakah janji tersebut akan memiliki dampak material terhadap penciptaan database Muslim, hal ini masih belum diketahui, meskipun para penandatangan hanya mewakili sebagian kecil dari jumlah orang yang bekerja untuk perusahaan teknologi besar (Google sendiri memiliki hampir 60.000 karyawan), dan sebagian besar eksekutif teknologi sudah lanjut usia. (T/P007/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan