Oleh Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency (MINA)
Terapung-apung di samudera luas dan berdesakan dalam kapal-kapal kayu yang tidak layak melaut, paling tidak 850 ribu pengungsi dari negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda perang – diperkirakan mengarungi laut Mediterania guna mencari hidup lebih layak di Eropa – tahun ini dan 2016 mendatang.
Mereka menghadapi cuaca yang kian tak bersahabat menjelang musim dingin sehingga laut semakin berbahaya. Tidak jarang, para pengungsi tak sempat sampai ke tujuan, karena kapal mereka yang kelebihan muatan terbalik dan tenggelam dilanda gelombang ganas atau terdampar entah kemana.
Setidaknya, delapan imigran Timteng termasuk empat anak-anak, tewas tenggelam setelah perahu yang mereka tumpangi tak sengaja ditabrak kapal regu penyelamat Yunani, sementara beberapa lainnya dinyatakan hilang ketika insiden itu terjadi di kepulauan Yunani dekat Lesbos (16/10).
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) meminta seluruh negara mempertimbangkan regulasi pemberian suaka kepada para pengungsi. Menurut UNHCR, gelombang imigran terbaru dari Suriah mulai menimbulkan masalah bagi pengungsi yang sebelumnya sudah berdiam di negara tujuan, karena kurangnya program penanganan.
“Pada 2015, UNHCR mengantisipasi setidaknya 400 ribu kedatangan pengungsi baru yang akan mencari perlindungan internasional di Eropa melalui Mediterania. Tahun 2016, angka ini bisa mencapai 450 ribu atau lebih,” demikian pernyataan UNHCR dalam dokumen penelitian seperti dikutip Reuters.
Juru bicara UNHCR, William Spindler, bahkan memprediksi angka tersebut akan terpenuhi dalam waktu singkat, karena saat ini saja sekira 366 ribu orang sudah dalam perjalanan menuju Eropa. Jerman – penerima pengungsi terbanyak – akhirnya memutuskan melunakkan aturan bagi pengungsi Suriah yang bersusah payah menjelajahi negara lain sebelum sampai ke negeri Panzer.
Kepala UNHCR, Antonio Guterres, lalu menjabarkan beberapa contoh solusi regulasi yang dibutuhkan, seperti penambahan jumlah visa dan cara untuk mempertemukan kembali keluarga yang terpisah. Menanggapi seruan ini, Komisi Eksekutif Uni Eropa akan meluncurkan program untuk meredistribusi 160 ribu pencari suaka yang tiba di Italia, Hongaria, dan Yunani.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Baru-baru ini, pemerintah Jerman memutuskan menggelontorkan anggaran tambahan sebesar 3 miliar euro untuk negara bagian dan kota-kota dalam mengatasi pengungsi. Tak hanya itu, pemerintah juga berencana mengeluarkan tiga miliar euro lagi untuk tunjangan kesejahteraan pengungsi.
Namun demikian, PBB dalam pernyataannya melihat sebagian pengungsi yang saat ini membanjiri Eropa beresiko menghadapi “ketidak-pastian hukum” akibat penerapan kebijakan yang berbeda di antara negara-negara di benua tersebut.
UNHCR memperingatkan bahwa “kombinasi antara kebijakan yang tidak seragam akan menciptakan situasi di mana para pengungsi yang mencari perlindungan di Eropa – sesuai dengan hak mereka dalam hukum internasional – akan menghadapi ketidak-pastian hukum.”
Menurut UNHCR, “kebijakan pengetatan daerah perbatasan yang berbeda-beda dari sejumlah negara Eropa akan berdampak besar bagi pengungsi. Krisis pendatang seharusnya mendorong Eropa untuk membentuk respon yang terpadu yang didasarkan pada pembentukan pusat-pusat penerimaan pengungsi yang efektif, tentu saja dengan dukungan semua pihak yang terkait.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Para pendatang yang membutuhkan perlindungan internasional sesuai dengan hukum internasional seharusnya direlokasi di semua negara Uni Eropa berdasarkan mekanisme distribusi yang adil,” kata UNHCR.
Tawaran Amerika Latin
Terkait dengan terus membanjirnya pengungsi, Sekjen PBB Ban Ki-moon menyeru negara Eropa agar menanggapi secara bertanggung-jawab dan manusiawi pengungsi dan migran yang tiba di Eropa. Seruan ini disampaikan saat dia berbicara dengan PM Inggris David Cameron.
Juru Bicara Sekjen PBB, Farhan Haq menyebutkan, Ban juga telah berbicara dengan kepala negara Austria, Republik Ceko, Jerman, Yunani, Hongaria, Polandia dan Slowakia untuk membahas kedatangan pengungsi dan migran di Eropa.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Sekjen PBB telah meyakinkan para pemimpin Eropa mengenai kesediaan PBB, melalui lembaganya, terutama UNHCR, untuk terus mendukung upaya mereka guna mengembangkan reaksi yang efektif, layak dan sejalan dengan standard kemanusiaan dan hak asasi manusia, termasuk hak untuk meminta suaka, kata Haq.
Sementara itu empat negara di Amerika Latin – Chile, Brazil, Venezuela dan Paraguay – telah menyampaikan kesediaan mereka menerima lagi pengungsi dari Timteng yang menyelamatkan diri dari kerusuhan di dalam negeri mereka. Chile adalah tempat tinggal masyarakat terbanyak Palestina (450 ribu orang) di luar Wilayah Timteng.
Presiden Chile Michelle Bachelet mengatakan, “kami akan berusaha … agar bisa menerima banyak pengungsi, sebab kami memahami bahwa tragedi ini adalah tragedi buat semua manusia.”
Setelah pengumuman oleh wanita presiden itu, Menteri Luar Negeri Chile Heraldo Munoz mengatakan pemerintah akan merancang “rencana yang layak sesegera mungkin bagi pengungsi, tapi untuk melaksanakan semua ini memerlukan waktu”.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Sementara itu Presiden Venezuela Nicolas Maduro telah menawarkan suaka buat 20.000 pengungsi Suriah. Negara Amerika Selatan tersebut memiliki tradisi membantu orang yang terusir. Setelah serbuan Israel ke Jalur Gaza pada 2014, Venezuela menerima banyak anak Palestina yang cedera atau yatim-piatu.
Brazil, yang telah menerima lebih dari 2.000 pengungsi Suriah sejak 2011, menyatakan pintu negeri itu terbuka buat keluarga pengungsi lain. Presiden Brazil Dilma Rousseff mengatakan, “Sekalipun pada masa krisis yang berat, seperti saat ini, kami akan menyambut pengungsi dengan tangan terbuka.”
Paraguay menjadi negara terakhir Amerika Latin yang menawarkan tempat berteduh buat pengungsi. Penjabat Menteri Luar Negeri Oscar Cabello Sarubbi mengatakan pemerintahnya “terbuka untuk menerima pengungsi, tapi dalam jumlah yang masuk akal yang benar-benar bisa diterima oleh negeri ini.”
Lebih Memilih Eropa
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
“Perlakuan orang Eropa dan Amerika terhadap para pengungsi juga lebih baik sehingga mereka lebih memilih untuk pergi ke Eropa daripada Timteng,” kata pengamat Timteng dari The Middle East Insitute, Zuhairi Misrawi sambil menambahkan, Jerman memiliki daya tarik sangat kuat karena tiga pilar penting, yaitu demokrasi kuat, sejarah panjang penerimaan imigran, dan stabilitas ekonomi.
Ketika Eropa mengalami banjir imigran dari Suriah, negara-negara Timteng yang secara geografis dekat dan memiliki perekonomian kuat, justru kering pengungsi. Menurut Zuhairi salah satu alasan utama “kekeringan” ini adalah konflik geopolitik yang terjadi di negara-negara Teluk sejak berabad-abad silam.
“Di Timur Tengah, selalu ada konflik Sunni-Syiah. Ketika datang pengungsi dari Suriah yang mayoritas Syiah, negara-negara Arab, seperti Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, takut ada infiltrasi ideologi yang bergeser dari Syiah,” ujar Zuhairi kepada CNN Indonesia.
Merujuk data PBB, Suriah sendiri dipadati oleh 88 persen kelompok Muslim Sunni. Namun, panggung politik dikuasai oleh kaum Syiah. Saat Arab Spring merebak pada 2011, rakyat Suriah akhirnya bergerak, menggelar aksi-aksi damai untuk menurunkan rezim Presiden Bashar al-Assad dari panggung politik.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Demonstrasi yang awalnya damai mulai digoyang aksi anarkis. Sejak saat itu bermunculan kelompok-kelompok bersenjata di Suriah, termasuk ISIS. Para imigran yang kini bergerak menuju Eropa, sebenarnya hijrah untuk menghindari kekejaman rezim Syiah. Namun menurut Zuhairi, masyarakat negara-negara Arab tetap khawatir adanya penyusupan nilai-nilai Syiah.
Selain konflik geopolitik, menurut Zuhairi, negara-negara Timur Tengah tidak siap membendung gelombang pengungsi. Mengacu pada data UNHCR, sekitar empat juta warga Suriah mengungsi ke lebih dari 100 negara di seluruh penjuru dunia. “Jumlah penduduk negara-negara Arab itu hanya sedikit. Mereka tidak siap menampung jumlah pengungsi hingga jutaan.”
Di tengah krisis pengungsi yang saat ini melanda Eropa, negara-negara Teluk berada di bawah kritik karena dianggap tidak banyak membantu para imigran – yang kebanyakan berasal dari Suriah dan Irak yang rela menempuh perjalanan panjang serta berbahaya melalui Laut Mediterania untuk menjejak Eropa, dibanding melarikan diri ke ke negara di kawasan Teluk.
“Negara-negara lain harus melakukan lebih banyak (bagi pengungsi –red),” kata Nadim Houry, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
CNN menyebutkan, para pejabat di Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman dan Uni Emirat Arab membela diri dengan mengatakan bahwa negara mereka memberikan jutaan dolar lewat PBB untuk membantu para pengungsi. Uni Emirat Arab sendiri mengaku telah menyumbang US$530 juta dalam bentuk bantuan kemanusiaan.
Data Badan Kemanusiaan PBB, UNOCHA, menujukkan dari total donasi untuk krisis Suriah sejak 2012 hingga 2015, Kuwait menempati urutan ke-5 penyumbang terbesar dengan jumlah US$940 juta. Arab Saudi di urutan ke-7 dengan US$586 juta, Uni Emirat Arab di urutan ke-10 dengan jumlah US$405 juta, Qatar di urutan ke-12 dengan US$235 juta, Oman di urutan ke-29 sejumlah US$23 juta dan Bahrain, di urutan ke-41 dengan sumbangan US$3,5 juta.
Michael Stephens dari Research Fellow for Middle East Studies and Head of Rusi Qatar menulis di BBC, perlu diingat bahwa negara-negara Teluk bukannya tak melakukan apa-apa. Arab Saudi mengaku telah mengijinkan 500 ribu warga Suriah memasuki negara itu sejak konflik meletus pada 2011, sebagian besar sebagai pekerja migran. Juga aliran dana organisasi maupun sumbangan individu bagi krisis Suriah, bahkan mencapai sekitar US$900 juta.
Namun demikian, tak ada kebijakan eksplisit negara Arab yang membolehkan warga Suriah masuk tanpa sponsor ataupun surat izin kerja. Tak ada juga pernyataan secara benderang dari pemimpin negara-negara makmur di Timur Tengah bahwa mereka mau menerima imigran. (R01/R02)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)