Lamongan, MINA – Sebanyak 500 ulama Nahdlatul Ulama (NU) se-Indonesia akan berkumpul di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur untuk membicarakan problem kebangsaan dan keumatan.
Acara diinisiasi oleh Persatuan Pondok Pesantren Indonesia (Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah) PBNU ini dikemas dalam Halaqah Ulama Nasional yang digelar selama tiga hari, Selasa-Kamis (11-13/7).
Halaqah ulama ini mengambil tema “Menyambut Peradaban Baru, Menguatkan Pesantren dan Revitalisasi Kitab Kuning”.
Ketua RMI PBNU, KH. Hodri Arif mengatakan, saat ini Indonesia tengah menghadapi tiga tantangan serius dalam kaitannya dengan kebangsaan dan keumatan. Ketiga tantangan tersebut adalah kelangkaan ulama, modernitas, dan masalah kebangsaan.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Sabtu Ini, Sebagian Hujan Ringan
“Untuk itu para ulama bertemu untuk menghasilkan resolusi yang tepat agar persoalan tersebut dapat ditangani. Para ulama tidak hanya mengerti tentang mengaji dan mengasuh pesantren, akan tetapi juga peka dengan problem nasional kekinian,” kata Kiai Hodri dalam keterangan tertulis, Senin (10/7).
“Halaqah ini adalah forum ulama-ulama mendiskusikan tantangan peradaban baru dan menghasilkan solusi melalui metode dan tradisi keislaman Indonesia yang inklusif,” katanya.
Kiai Hodri juga menambahkan, dinamika Islam di Indonesia sering dikooptasi oleh kepentingan pragmatis menggunakan sentimen identitas.
Hal itu dapat berimplikasi memecah belah umat yang dapat berpengaruh pada nasionalisme. Maka halaqah ulama ini mendesain peta jalan tatanan peradaban baru yang adil, harmonis, dan menjunjung tinggi kesetaraan dan martabat umat manusia.
Baca Juga: Jelang Libur Nataru, Terminal Bekasi Berlakukan Ram Check Bus
Dalam pertemuan ini akan muncul banyak isu strategis yang dibahas. Pengurus PBNU KH. Ulil Abshar Abdalla menyoroti pentingnya konstektualisasi kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik agar tetap relevan pada masa kini.
“Dalam kitab-kitab klasik, kita mengenal istilah kafir dzimmi, saat ini kita perlu bertanya pakah kategori seperti ini masih bisa kita pakai, atau kita pahami ulang secara lebih kontekstual. Pertanyaan lain yang harus dipikirkan ulang adalah: bagaimana kedudukan minoritas (terutama minoritas agama) dalam negara bangsa ditinjau dari sudut fikih siyasah kita?” ujar Kiai Ulil.
Sudah sepantasnya Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia memiliki identitas kuat yang memiliki ciri khas. Tidak bisa dimungkiri, muslim Asia Tenggara di percaturan global sering dianggap muslim kelas dua karena mereka bukan native speaker bahasa Arab. Bahkan kajian Islam di Barat pun didominasi oleh Islam yang berkembang di kawasan Timur Tengah.
“Jarang sekali ditemui pusat kajian Islam kawasan Melayu di sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah, bahkan di Al-Azhar pun belum ada,” katanya. (T/R4/RI-1)
Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan
Mi’raj News Agency (MINA)