Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Gerakan perlawanan rakyat Palestina tahun 1987 dikenal dengan nama Intifadah Palestina Pertama atau Intifadah Batu (al-intifadhah al-hajarah). Disebut dengan Intifadah Batu karena batu adalah alat utama di dalamnya, dan para pelempar batu muda dikenal sebagai anak-anak batu (athfal al-hajarah).
Intifadah adalah bentuk perlawanan massal rakyat Palestina spontan terhadap situasi umum yang menyedihkan di kemah-kemah pengungsi, penghinaan terhadap sentimen nasional, dan penindasan harian yang dilakukan oleh otoritas pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Intifadah secara bahasa bermakna bergerak, bergolak, bergoncang, bangkit. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan revolusi rakyat Palestina dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Gerakan Perlawanan Islam Hamas, yang diumumkan pertama kali di Gaza pada 11 Desember 1987.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Mengutip media Marefa, pernyataan yang disebut intifadah merujuk pada demonstrasi besar-besaran yang meletus saat itu. Pernyataan Hamas waktu itu mengatakan, “Pemberontakan rakyat kami di tanah yang diduduki, datang sebagai penolakan terhadap semua pendudukan dan tekanannya, dan untuk membangunkan hati nurani mereka yang menginginkan perdamaian, di balik konferensi internasional yang kosong”.
Pers Arab pun memopulerkannya dengan al-intifadhah al-hajarah (Intifadah Batu).
Sebagian pengamat menyebutnya juga dengan al-Intifadah al-Masjid, karena semua konsolidasi perlawanan mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak, termasuk kaum ibu dan pemudi, warga kota hingga pedalaman, pejabat dan rakyat, memulainya dari masjid-masjid di masing-masing wilayah perlawanan.
Pemicu Intifadah Pertama
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Intifadah Batu dipicu oleh kejadian pada 8 Desember 1987, ketika bus yang membawa puluhan pekerja Palestina dari tempat kerja mereka di wilayah pendudukan Israel kembali pada malam hari menuju kemah pengungsian Jabaliya di Jalur Gaza yang diduduki saat itu.
Ketika bus melewati depan pos pemeriksaan Israel untuk diperiksa, sebuah truk militer Israel menghantam bus tersebut, yang menyebabkan empat pekerja meninggal dan tujuh lainnya luka-luka.
Pengemudi truk militer Israel dibiarkan melarikan diri di depan tentara pos pemeriksaan.
Informasi kejadian itu dengan cepat menyebar ke seluruh Palestina dan menimbulkan kemarahan rakyat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Keesokan harinya, pada tanggal 9 Desember 1987, ketika prosesi pemakaman empat syuhada, helikopter pasukan pendudukan Israel melemparkan gas air mata dan bom asap untuk membubarkan kerumunan massa. Beberapa warga tewas dan terluka pada hari itu. Aksi itu semakin memicu tingkat kemarahan warga Palestina di berbagai tempat.
Tidak dapat dibendung lagi puluhan ribu rakyat Palestina marah dan secara massal turun ke jalan-jalan melakukan aksi protes dengan batu-batu di tangan dan ketapel batu. Pergolakan meluas di seluruh Jalur Gaza dan berbagai tempat di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Otoritas pendudukan segera memberlakukan jam malam di beberapa kota dan di beberapa lingkungan di Jalur Gaza. Namun itu tidak membuat aksi perlawanan yang kemudian disebut dengan Intifadah Batu justru makin meluas.
Aksi-aksi Intifadah Batu berlangsung marathon sejak 9 Desember 1987, dan mulai mereda pada tahun 1991. Hingga akhirnya berhenti dengan penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1993.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Diperkirakan 1.300 warga Palestina gugur sebagai syuhada dalam peristiwa Intifada Pertama sejak 1987-1993, oleh pasukan pendudukan Israel, dan 160 warga Israel terbunuh.
Intifadah Kedua
Akhir dari intifada Pertama terjadi pada tahun 1993 ketika Kesepakatan Oslo ditandatangani di Gedung Putih antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan pemerintah Israel. Perjanjian Oslo ditandatangani di Washington, AS, pada 13 September 1993, menghasilkan pembentukan pemerintahan otonom bagi orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Perjanjian Oslo dikenal secara resmi sebagai “Deklarasi Prinsip-Prinsip tentang Pengaturan Pemerintahan Sendiri Transisi”. Nama Oslo mengacu pada kota Oslo di Norwegia tempat pembicaraan rahasia sebelumnya yang menghasilkan kesepakatan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Perjanjian tersebut ditandatangani atas nama Palestina oleh Mahmoud Abbas, Kepala Departemen Urusan Nasional dan Internasional PLO, dengan partisipasi mendiang Ketua PLO Yasser Arafat, serta Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres, dengan partisipasi saat itu Perdana Menteri Yitzhak Rabin.
Kesepakatan tersebut merupakan kesepahaman yang terjadi setelah 14 putaran negosiasi bilateral rahasia antara kedua pihak di Norwegia, yang merupakan perubahan mendasar dalam jalur politik perjuangan Palestina.
Disepakati bahwa perjanjian itu akan mulai berlaku satu bulan setelah penandatanganannya. Sementara semua protokol yang dilampirkan akan dianggap sebagai “bagian tak terpisahkan darinya.”
Perjanjian tersebut menentukan awal periode penarikan Israel dari wilayah Gaza dan Yerikho, dan menetapkan dimulainya negosiasi status masa transisi antara pemerintah Israel dan perwakilan Palestina, sesegera mungkin tidak melebihi awal tahun ketiga.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Dengan berlakunya Perjanjian Oslo, seperti disebutkan Anadolu Agency, kedua belah pihak menyetujui dimulainya pemindahan otoritas dari pemerintah militer Israel dan administrasi sipilnya, ke pihak Palestina. Termasuk di bidang : pendidikan, budaya, kesehatan, sosial, pajak langsung dan pariwisata, serta pembentukan kepolisian.
Perjanjian juga menetapkan pembentukan Dewan Legislatif Kepolisian Palestina untuk memastikan ketertiban umum dan keamanan internal di Tepi Barat dan Gaza. Sementara Israel memikul tanggung jawab atas keamanan dan pertahanan Israel.
Tetapi pihak Israel mengingkari isi perjanjian itu, dan perjanjian tinggallah perjanjian, yang ternyata hanya bermaksud untuk meredam Intifadah Batu yang sudah mulai membuat pendudukan kewalahan menghadapinya. Kegagalan untuk mencapai kenyataan di lapangan sampai tahun 2000, tujuh tahun setelah negosiasi di bawah naungan Amerika Serikat, yang seharusnya berakhir tiga tahun setelah dimulainya, membuat orang-orang Palestina bangkit kembali menyulut kembali perlawanan Intifadah.
Intifadah Kedua semakin bergolak serentak meletus pada 28 September 2000 setelah penyerbuan Ariel Sharon, pemimpin partai Likud Israel saat itu, ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Ariel Sharon menyerbu Masjid Al-Aqsa dengan pengawalan sekitar 2.000 tentara dan pasukan khusus, dan dengan persetujuan Perdana Menteri Ehud Barak.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Intifadah Kedua yang dikenal juga dengan Intifadah Al-Aqsa, mengacu pada penyerbuan Al-Aqsa, semakin meluas setelah seorang wartawan mendokumentasikan penembakan oleh tentara pendudukan terhadap anak Palestina berusia 11 tahun, Muhammad Al-Durra, di Jalan Salahuddin di Gaza. Al-Durra saat itu sedang berlindung di balik ayahnya saat terjadi serangan brutal pasukan pendudukan. Al-Durra pun mati syahid dalam pelukan ayahnya. Fotonya menjadi sangat terkenal sebagai simbol perjuangan Intifadah Kedua.
Simbol Intifadah Kedua lainnya yang berhasil dijepret wartawan adalah Fares Odeh. Odeh, bocah Palestina yang berdiri menantang di depan tank Israel yang maju ke arahnya sebelum menembaknya beberapa meter jauhnya. Meskipun anak itu tidak bersenjata dan tidak menimbulkan bahaya bagi tentara pendudukan.
Intifada Kedua terus berkobar hingga 8 Februari 2005, setelah perjanjian gencatan senjata ditandatangani di Sharm el-Sheikh. Intifadah Al-Aqsa menyebabkan 4.412 syahid dan 48.322 terluka dari pihak Palestina. Sementara di pihak pendudukan Israel menyebabkan 334 tentara Israel dan 735 pemukim tewas, dan lebih dari 4.500 warga terluka, di samping kerusakan material yang signifikan di berbagai sasaran.
Perjanjian Sharm El-Sheikh
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Perjanjian Sharm El Sheikh Summit sesuai namanya, berlangsung di Sharm El Sheikh, Semenanjung Sinai, Mesir, pada 8 Februari 2005, dalam upaya mengakhiri Intifada Kedua yang dimulai pada September 2000.
Keempat pemimpin bertemu, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Mesir Hosni Mubarak, dan Raja Abdullah II dari Yordania.
Sharon dan Abbas sepakat menghentikan semua kekerasan terhadap masyarakat satu sama lain, menandai berakhirnya Intifada Kedua secara resmi, dan menegaskan kembali komitmen mereka terhadap Peta Jalan untuk proses perdamaian. Sharon juga setuju untuk membebaskan 900 dari 7.500 tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel pada saat itu, dan mundur dari kota-kota Tepi Barat.
Namun pada praktiknya, alih-alih meredam Intifadah Kedua atau Intifadah Al-Aqsa, begitu perlawanan dihentikan, pelanggaran demi pelanggaran tetap saja dilakukan pasukan pendudukan.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Intifadah Terus Berlangsung
Pada peringatan 34 tahun Intifada Batu tahun 2021, Gerakalan Perlawanan Islam Hamas di Jalur Gaza menegaskan bahwa “kota Yerusalem yang diduduki dan Masjid Al-Aqsa yang diberkati adalah jantung dari konflik dengan musuh Zionis, dan titik fokus dari hubungan rakyat Palestina dan Islam.”
Hamas mengatakan pada Rabu (8/12/2021), seperti disebutkan media setempat al-Mayadeen, bahwa “alasan untuk intifadah kemarin ada pada hari ini, dan bahkan akan meningkat mengingat berlanjutnya blockade dan eskalasi agresi terhadap rakyat kami, tanah kami dan kami tempat-tempat suci.”
Gerakan itu menekankan, perlawanan komprehensif, terutama perlawanan bersenjata, dan persatuan rakyat Palestina di balik program perjuangan terpadu dan strategi konfrontasi dengan musuh, adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan hak-hak dan kemerdekaan Palestina.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Dia menambahkan, kemenangan pertempuran terkini Saif al-Quds mewakili tonggak sejarah perjuangan dan persatuan rakyat Palestina. mereka juga menolak terhadap semua skema negosiasi yang tidak masuk akal dengan musuh, serta semua perjanjian normalisasi, mengingat itu hanyalah tikaman di hati rakyat Palestina.
Intifadah melawan kezaliman, pendudukan dan penjajahan akan terus berlangsung. Terlebih kini sokongan para aktivis non-Muslim sekalipun atas nama kemanusiaan, dating dari berbagai penjuru dunia. Dukungan dari dunia Muslim juga tidak surut di luar negara-negara yang telah menjalin normalisasi. Termasuk rakyat di negara-negara yang terikat Perjanjian Abraham, selalu mensupport perjuangan rakyat dan bangsa Palestina.
Itu semua menandakan perjuangan rakyat dan bangsa Palestina untuk meraih kemerdekaannya tidak akan pernah berhenti oleh sebab apapun dan penghalang siapapun dan dari manapun. Tinggal keteguhan rekonsiliasi, persatuan dan kesatuan antarfaksi dan para pejuang di Palestina yang semoga semakin menyatu dan mengkristal. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)