Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Refleksi Hardiknas dan Penguatan Kembali Ekosistem Pendidikan Kita

Rana Setiawan - Jumat, 3 Mei 2024 - 02:45 WIB

Jumat, 3 Mei 2024 - 02:45 WIB

26 Views

Oleh Jimmy Julian, Direktur Pendidikan dan Kebudayaan Pengurus Pusat Perhimpunan Remaja Masjid Dewan Masjid Indonesia (PP PRIMA DMI)

2 Mei 2024 diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), artinya ini merupakan perayaan yang ke-64 tahun sejak pertama kali diperingati pada 1960 lalu. Seperti biasa, setiap tahun Hardiknas memiliki tema tersendiri, tema pada tahun ini adalah “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. Sejak dari 2021 kata Merdeka Belajar selalu melekat dalam tema perayaan Hardiknas.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Merdeka Belajar merupakan jargon pendidikan di era Menteri Nadiem Makariem. Merdeka Belajar sering diintepretasikan sebagai gagasan Nadiem yang ingin keluar ‘pakem lawas’ pendidikan yang selama ini berlaku.

Banyak program-program prioritas pendidikan yang merupakan turunan dari Merdeka Belajar hingga kini mencapai 26 episode. Wujud Merdeka Belajar yang paling dikenali oleh Masyarakat luas adalah dihapuskannya Ujian Nasional (UN) dan diterapkannya Asesmen Nasional (AN).

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Kebijakan AN sendiri oleh Kemdikbud dianggap lebih holistik dan menyeluruh dengan melingkupi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, Suvei Lingkungan Belajar, dan berbagai penilaian lain yang menjadi gambaran mutu pendidikan di
sekolah. Namun demikian pada kenyataannya apakah kebijakan-kebijakan ini dapat menjawab problem pendidikan yang telah terjadi selama ini?

Permasalahan pendidikan merupakan problematika yan telah terjadi sejak Bangsa ini pertama kali Merdeka, dan terus berkembang berdasarkan dengan tantangan zamannya. Maksudnya adalah sejak pertama kali Indonesia Merdeka dan sepakat terhadap konstitusi UUD 1945 yang pada pembukaan di Alinea keempat termaktub “mencerdaskan kehidupan bangsa”, maka sudah sepatutnya pada setiap zaman bangsa ini menjadikan pendidikan sebagai salah satu perhatian utama.

Presiden RI pertama Ir. Soekarno tahun 1948 memimpin gerakan nasional Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Gerakan ini merupakan upaya serius untuk mengatasi 61 juta penduduk yang terdiri dari 90 persen buta huruf dan menyisakan sekitar 10 persen masyarakat yang mampu membaca.

Hampir 75 tahun berlalu, pada tahun 2022 Kemdikbud merilis data bahwa angka buta huruf dan aksara hanya sekitar 1,7 persen dari sekitar populasi 270 juta penduduk.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan merupakan tantangan yang paling mendasar. Di mana kebutaan aksara dan huruf artinya seseorang tidak memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan. Sedangkan tantangan hari ini bukan lagi tentang akses terhadap pengetahuan, namun terkait akses terhadap layanan pendidikan.

Pada 2021, Kemdikbud merilis data angka putus sekolah sebesar 75.303 dan lebih dari 50 persen diantaranya terjadi di jenjang SD. Belum lagi jika diurai berdasarkan data tersebut, berapa komposisi yang bersumber dari masyarakat terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Artinya dari lanskap penyelenggaraan pendidikan yang ada sangat mungkin menyimpan jurang disparitas yang dalam dan seperti menyimpan api dalam sekam.

Selain akses terhadap layanan pendidikan, hal lain yang menjadi permasalahan utama saat ini adalah rumitnya pelaksanaan Pendidikan Karakter di dunia pendidikan.

Di tengah tantangan pengaruh gadget, budaya pop (pop culture) dan hedonisme. Nyala api pendidikan karakter semakin kecil dan redup. Peserta didik kehilangan role model dalam memahami dan mengekspresikan prilaku diri yang tepat dan sejalan
dengan moral dan etika.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Guru sebagai teladan karakter di tengah lingkungan sekolah kini justru kondisinya sangat memperihatinkan. Berdasarkan data yang dikeluarkan OJK, 42 persen guru terjerat pinjaman online dan merupakan latar belakang profesi terbesar. Artinya di tengah persimpangan arah pembangunan karakter generasi masa depan, kini upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dan budi pekerti seperti jauh panggang dari api.

Reposisi Masa Depan Pendidikan Persoalan pendidikan sejatinya hanya bekutat pada itu-itu saja, dan lebih membutuhkan jalan keluar yang konkret dan substansial.

Kebijakan yang disusun oleh pemimpin selanjutnya harus berfokus pada hal-hal mendasar seperti pemerataan akses layanan pendidikan, penguatan kompetensi guru, hingga penanaman nilai-nilai karakter yang bersumber dari falsafah Indonesia.

Dalam artikel ini, penulis setidaknya mencatat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama sebagai salah satu upaya memperbaiki pendidikan di Indonesia.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Pertama, perlu adanya restrukturisasi penggunaan anggaran pendidikan. Sejak 2009 atau sekitar satu setengah dekade untuk pertama kalinya anggaran pendidikan 20 persen APBN sebagai mandatory spend, namun justru belum memberikan outcome yang seimbang.

Pada 2023 anggaran pendidikan sebesar 612,2T namun di sisi yang lain capaian skor Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 turun dari tahun 2018 dan bahkan turun lebih jauh dari skor tahun 2015.

Dengan hasil tersebut justru menjadi pertanyaan atau bahkan lebih jauh menjadi dasar evaluasi untuk mengetahui pada komposisi mana anggaran pendidikan menjadi ‘tidak berdampak’?

Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana postur pengelolaan anggaran pendidikan kita dan sejauh mana dampaknya terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Kedua, penguatan peran masyarakat dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat dan budaya, hingga pemuda untuk mendukung ekosistem pendidikan yang lebih baik. Ki Hajar Dewantara memperkenalkan Trisentra Pendidikan yang terdiri dari alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan. UU Sisdiknas mengartikan Trisentra ini sebagai peran keluarga, sekolah dan masyarakat.

Sebagai salah satu contoh, masjid merupakan salah satu potensi yang perlu dimanfaatkan dalam memperkuat ekosistem pendidikan. Jika digabungkan, ada sekitar 800 ribu masjid, artinya masjid merupakan satu-satunya ruang publik yang secara jumlah hampir dua kali lipat dari sekolah.

Dengan adanya kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat, bukan tidak mungkin masjid menjadi elan vital baru dalam memperkuat ekosistem pendidikan di Indonesia.

 

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Indonesia
Internasional
Dunia Islam