Hari ini, 23 April, dunia memperingati World Book and Copyright Day, atau lebih dikenal sebagai Hari Buku Sedunia. Namun pertanyaannya, apakah kita benar-benar masih merayakan buku, atau sekadar mengingatnya?
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan tanggal ini sejak 1995, terinspirasi oleh wafatnya dua raksasa sastra dunia, William Shakespeare dan Miguel de Cervantes, pada tanggal yang sama. Momen ini bukan sekadar mengenang para penulis besar, tapi menyerukan aksi global untuk membaca, menulis, menerbitkan, dan menghormati hak cipta.
Sejak itu, UNESCO rutin menetapkan satu kota sebagai World Book Capital, memfasilitasi ratusan program literasi di seluruh dunia.
Namun ironisnya, di era digital saat ini, minat baca justru menurun. Survei dari National Endowment for the Arts (NEA) menunjukkan hanya 48,5% orang dewasa di AS membaca setidaknya satu buku dalam setahun terakhir, angka yang menurun dari 52,7% lima tahun sebelumnya. Di Inggris, hanya 34,6% anak-anak yang mengaku menikmati membaca, angka terendah sejak 2005. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Baca Juga: Menjadi Tamu Allah, Mengenal Rukun dan Syarat Haji Secara Lengkap
Global Literacy Project memperkirakan masih ada sekitar 754 juta orang dewasa yang buta huruf di dunia, sebagian besar adalah perempuan. Sementara itu, UNESCO menyebut bahwa sekitar 250 juta anak usia sekolah tidak memiliki kemampuan membaca dasar. Padahal, literasi adalah fondasi utama pembangunan, baik ekonomi, sosial, hingga demokrasi.
Ironisnya, pertumbuhan industri buku justru mencerminkan potensi besar. Pasar e-book global diprediksi mencapai USD 25,3 miliar pada 2024 dan terus tumbuh. Audiobook bahkan lebih cepat, dengan nilai USD 8,7 miliar dan tingkat pertumbuhan tahunan 26,2%. Konsumsi buku berpindah bentuk, tapi substansinya tetap penting: membaca adalah kunci pengetahuan.
Buku Digital dan Paradoks Zaman Modern
Era digital mempermudah akses, tapi sekaligus menantang konsentrasi. Media sosial, video pendek, dan konten cepat menyita perhatian kita, mengikis budaya membaca mendalam. Di sinilah tantangan terletak, bagaimana menjadikan membaca kembali relevan, bukan sekadar ritual simbolik?
Baca Juga: Pentingnya Kejujuran dalam Perkawinan, Nasihat Islami untuk Suami
Platform seperti Kindle, Audible, hingga pustaka digital nasional menjadi solusi awal. Tapi lebih dari itu, dibutuhkan pendekatan budaya, pendidikan, dan komunitas untuk menumbuhkan kembali kecintaan membaca. Buku bukan sekadar teks; ia adalah pintu menuju pemahaman yang lebih luas tentang dunia.
UNESCO mencatat, 250 juta anak dan remaja global masih buta huruf pada 2023, angka yang setara dengan seluruh penduduk Indonesia. Ironisnya, di saat yang sama, manusia menghasilkan 2,5 triliun byte data setiap hari, cukup untuk mengisi 10 miliar rak buku.
Laporan World Literacy Foundation mengungkap paradoks: akses informasi meledak, tetapi kedalaman pemahaman menyusut. Pembaca rata-rata kini menghabiskan hanya 6,5 detik untuk membaca sebuah konten online sebelum beralih—lebih cepat dari kecepatan kedip mata.
Peradaban yang lalai merawat buku akan kehilangan jiwanya. Hari Buku Sedunia, yang diperingati setiap 23 April, bukan sekadar ritual tahunan. Ini adalah sirene peringatan, di era ketika 58% Gen Z lebih memilih video 30 detik daripada artikel 3 menit, bisakah buku, dalam segala bentuknya, mempertahankan perannya sebagai pilar peradaban?
Baca Juga: Menyebarkan Kebaikan dengan Akhlak, Rahasia Sukses Para Da’i Hebat
Pasar buku digital global melesat 15% pada 2023, didorong oleh audiobook yang kini mendominasi 35% konsumsi buku di AS menurut Statista. Tapi laporan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyodorkan fakta pahit: penjualan buku fisik turun 14,9% sepanjang 2022, sementara 72% penerbit mengaku kesulitan mencetak buku baru karena kenaikan harga kertas hingga 40%.
Di tengah arus deras ini, muncul pertanyaan eksistensial, apakah buku cetak akan bernasib seperti piringan hitam yang dikoleksi, dikultuskan, tapi kehilangan fungsi praktisnya?
Literasi sebagai Kekuatan Sosial
Literasi bukan sekadar bisa membaca. Ini tentang berpikir kritis, memahami konteks, dan mengenali kebenaran di tengah derasnya disinformasi. Dalam konteks ini, literasi berperan menjaga kewarasan publik dan memperkuat ketahanan sosial.
Baca Juga: Checklist Wajib bagi Jamaah Haji, Bekal Fisik dan Spiritual Menuju Tanah Suci
Di Indonesia, negara dengan pengguna media sosial tertinggi ke-4 dunia, hoaks merajalela. Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat 3.500 kasus disinformasi sepanjang 2022, 40% di antaranya terkait isu agama.
Banyak negara mulai mengintegrasikan literasi media dan digital ke dalam kurikulum. Namun, program ini harus berjalan berdampingan dengan peningkatan akses terhadap buku berkualitas, pelatihan guru, dan dukungan komunitas.
Peran Kantor Berita MINA dan MINA Publishing House
Di Indonesia, salah satu inisiatif yang patut dicatat adalah peran Kantor Berita MINA, yang sudah berdiri sejak 2012 lalu dalam meningkatkan literasi umat. Melalui unit usahanya, MINA Publishing House, lembaga ini tidak hanya aktif menerbitkan buku-buku bernilai edukatif dan spiritual, tetapi juga menyelenggarakan program-program literasi yang menjangkau berbagai kalangan.
Baca Juga: Lisan yang Santun, Dakwah yang Menyejukkan, Panduan Adab Seorang Da’i
Sejak diluncurkan pada 2016, MINA Publishing House, di mana buku pertama yang diterbitkan yaitu “Muslim Melayu Penemu Australia,” ini telah menerbitkan puluhan judul, mulai dari laporan jurnalistik, karya tafsir, hingga sastra religius.
Buku-buku tersebut disebarluaskan ke pesantren, sekolah, dan komunitas Muslim, baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam konteks pesantren, Kantor Berita MINA aktif membina budaya literasi melalui pengadaan buku, pelatihan menulis untuk santri, serta lomba karya tulis ilmiah berbasis keislaman. Ini menjadi upaya penting dalam menjadikan pesantren sebagai pusat literasi keagamaan yang produktif.
Selain itu, pelatihan jurnalistik dan literasi yang diselenggarakan Kantor Berita MINA menjadi salah satu wadah penting untuk membina generasi muda yang berpikir kritis dan bertanggung jawab.
Yang lebih relevan dengan konteks global saat ini adalah dukungan MINA Publishing House terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Dengan menerbitkan buku-buku yang mengangkat isu Palestina dari sudut pandang kemanusiaan, sejarah, dan keislaman, MINA berupaya menyuarakan narasi yang adil dan berimbang di tengah dominasi informasi dari media Barat.
Baca Juga: Dari Boikot ke Bangkrut, Runtuhnya Bisnis-Bisnis Afiliasi Zionis
Buku “Hubungan Indonesia dan Palestina” salah satunya, karya Imaam Yakhsallah Mansur dan Ustaz Ali Farkhan Tsani, menghadirkan sejarah panjang solidaritas rakyat Indonesia terhadap Palestina, sekaligus menggugah kesadaran publik akan pentingnya edukasi literasi dalam perjuangan pembebasan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa.
Buku “Hubungan Indonesia dan Palestina” merupakan bagian dari trilogi yang lebih besar, dengan dua buku lainnya berjudul “Masjidil Aqsa Tanggung Jawab Umat Islam” dan “Bumi Palestina Milik Bangsa Palestina”. Buku tersebut juga membahas hubungan erat antara Indonesia dan Palestina, termasuk dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina sejak tahun 1947.
Buku-buku ini menjadi media perlawanan intelektual, membangkitkan kesadaran kolektif umat Islam dan masyarakat dunia akan pentingnya membela hak-hak rakyat Palestina.
Inisiatif seperti ini menunjukkan bahwa literasi bukan tanggung jawab sekolah semata. Media, lembaga dakwah, bahkan kantor berita, dapat dan harus menjadi bagian dari gerakan literasi nasional dan global.
Baca Juga: Refleksi 70 Tahun KAA di Tengah Pelanggaran Gencatan Senjata di Gaza
Inisiatif seperti tersebut menunjukkan bahwa literasi bukan tanggung jawab sekolah semata. Media, lembaga dakwah, bahkan kantor berita, dapat dan harus menjadi bagian dari gerakan literasi nasional.
Menyambut Masa Depan Buku
Hari Buku Sedunia adalah momentum refleksi, bukan hanya soal seberapa banyak kita membaca, tapi apa yang kita lakukan agar orang lain juga bisa membaca. Dunia berubah, format buku berkembang, tapi esensinya tetap, literasi adalah cahaya.
Kita memerlukan kebijakan yang pro-literasi, investasi pada penerbitan lokal, dukungan pada perpustakaan komunitas, dan tentu saja, penguatan peran media seperti Kantor Berita MINA untuk terus menjadi mercusuar pengetahuan.
Baca Juga: Membentuk Generasi Ahlul Qur’an, Tantangan dan Harapan
Hari ini, mari kita baca satu buku. Tapi lebih dari itu, mari kita tanamkan satu komitmen: menciptakan dunia yang lebih tercerahkan lewat literasi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Habis Jahiliyah Terbitlah Nur, Pentingnya Menghapus Kebodohan dalam Cahaya Syariat Islam