Refleksi Hubungan Polisi – Masyarakat dari Kasus Ledakan Bom Panci

Oleh: Nunki Suwardi; Konsultan Psikologi, Pendiri Akademi Psikologi Bawah Sadar

“Waktu kedengaran suara ledakan pertama anak saya ikut lari ke sumber ledakan. Dipikirnya suara letusan ban busway atau truk. Belum ngeh itu ledakan bom. Dia langsung nolongin yang luka-luka. Sempat gotong mindahin satu polisi. Tapi waktu gotong polisi yang kedua dia nggak kuat karena badan yang digotong berat, dia teriak minta tolong tapi nggak ada yang mau bantuin. Cuma dia sendiri saja yang nolongin korban. Terus ada ledakan lagi. Dia lari, eh malah kena,” tutur ibu salah seorang korban sipil bom panci.

“ Memang nggak ada orang di situ, bu ?” tanya saya. “Banyak. Tapi nggak ada satu pun yang mau nolong.” “Tidak ada seorang pun yang menolong?” tanya saya heran.

“Iya bu, gak ada orang yang mau nolongin sama sekali. Semua hanya ngerubungin, nonton. Polisi-polisi yang luka ngerang kesakitan dilihatin aja. Jangankan nolong, polisi yang kesakitan nanya mana rumah sakit terdekat saja nggak ada yang mau jawab atau nunjukin. Jadi polisi-polisi yang luka itu dibawa sesama polisi ke rumah sakit atau nyari rumah sakit usaha sendiri sampai ada yang nyasar ke puskesmas dan klinik. Waktu kita semua korban luka dipertemukan, kita saling tukar cerita, memang benar bu, nggak ada sama sekali yang mau nolongin,” si ibu menerangkan.

“Kok anak ibu bisa sampai RS kalau nggak ada yang mau nolongin?” tanya saya bingung.

“Ada polisi yang bantuin nyetopin angkot, Bu. Anak saya dimasukkin ke angkot. Dipesan suruh ngantar ke RS. P. Tapi di tengah jalan, anak saya disuruh turun sama supir angkotnya. Lagi penuh darah begitu. Jadi anak saya turun, ngegeletak gitu saja di tengah jalan, cuma ditontonin orang.

Nggak tahu berapa lama begitu. Dia sudah sadar nggak sadar. Tiba-tiba ada temannya penjual koran ngenalin, langsung teriak kasih tahu teman-temannya yang lain. Dicariin motor, dinaikkan dibawa ke RS.P. Sampai di pintu masuk RS anak saya langsung nggak sadar. Nah, trus anak koran itu telepon saya supaya cepat ke RS.P. Waktu saya sampai di RS, muka anak saya sampai nggak kelihatan, badannya hitam campur darah. Saya diminta RS.P bayar uang jaminan 15-25 juta kalau mau dirawat di situ. Saya bilang nggak sanggup. Trus, saya disuruh pindah cari RS lain. Saya tanya bisa mindahin pakai ambulan nggak?

Katanya ambulan lagi nggak ada. Saya disuruh cari saja taksi. Lagi nungguin taksi, kan jalanan macet tuh, bu, ada orang dari Depsos datang. Katanya seluruh biaya ditanggung pemerintah. Petugas RS yang tadi nyuruh saya pindah datang manggil saya. Saya disuruh tanda tangan berkas dan tunggu dokter bedah karena sudah terlanjur pulang. Jam setengah dua malam baru anak saya dioperasi karena rumah dokternya jauh di pondok indah. Syukurlah bu, kalau nggak pusing saya di mana cari biayanya. Besok siangnya anak saya dan korban lainnya dipindah ke RS Polri dengan beberapa ambulan pakai sirene,” si ibu menghela napas lega.

Sahabat, kita kerap mendengar korban-korban yang terluka seperti korban tabrak lari terlantar tanpa mendapat pertolongan segera sehingga kehabisan darah.

Mengapa? Karena ribetnya berurusan dengan RS yang akan meminta jaminan uang perawatan tidak sedikit bagi penolong yang membawa korban dan menghadapi polisi yang akan menginterogerasi dan menjadikan penolong sebagai saksi mata. Belum lagi kemungkinan panggilan ulang untuk BAP, rekonstruksi kejadian, panggilan pengadilan untuk bersaksi, dan lain-lain tetek bengek.

Melihat ribetnya konsekuensi menjadi seorang penolong, masyarakat lebih memilih menjadi penonton atau pura-pura tidak melihat daripada menolong. Sungguh miris peristiwa ini terjadi di negeri yang ramah dan penolong… Indonesia.

Nampaknya kita perlu memikirkan suatu sistim yang memudahkan agar orang-orang tak takut menolong orang lain dan menjadi dipersulit karenanya.

Namun peristiwa di mana polisi sedang menjalankan tugasnya menjadi korbannya tersebut di atas menghenyakkan saya. Mengapa masyarakat kita memilih menonton daripada menolong? Apa yang terjadi di antara polisi dan masyarakat kita? Mengapa nurani mereka tak terketuk di kala para aparat ini merintih meminta tolong dan memilih bersikap apatis? Jika masyarakat benar-benar merasakan kehadiran Polisi sebagai mitra Pelindungi, Pengayom, dan Pelayan mereka, maka masyarakat seharusnya tak segan memberi memberi bantuan balik kepada sang pelindung dan pengayomnya.

Ini juga salah satu ciri masyarakat Indonesia yang gemar tolong menolong dan bergotong royong? Sayangnya sketsa tersebut tidak saya lihat.

Adakah yang salah dan perlu diperbaiki? Ketika polisi yang sedang bertugas mengalami luka kritis membutuhkan bantuan saja masyarakat enggan terlibat, bagaimana kita bisa mewujudkan kemitraan Masyarakat – Polisi untuk menjaga ketertiban, memberikan rasa aman serta menghadirkan keadilan di negeri ini? Rasanya begitu jauh panggang dari api.

Harapan saya terasa kian jauh. Semenjak kasus kriminalisasi ulama, penganiayaan Novel Baswedan yang hingga kini tak terungkap pelakunya hingga membuat masyarakat berpikir polisi saja tak bisa melindungi anak buanya sendiri hiks…. Hingga berita terakhir pembacokan Hermansyah di mana cara polisi memberlakukan tersangkanya begitu istimewa dengan borgol longgar pada kedua tangan pelakunya membuatnya menjadi meme candaan, membuat saya merasa Polisi harus berjuang keras memperbaiki citranya agar masyarakat respek dan tak apatis kembali.

Semoga hubungan ini bisa segera diperbaiki dan masyarakat benar-benar merasakan kehadiran Polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan bagi masyarakat. Semoga pula sketsa sama tak terulang lagi di meja praktik saya. Kita doakan bersama. (R01/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.