Rekonstruksi Infrastruktur Yang Tertunda di Jalur Gaza

Oleh : , Wartawan Mi’raj News Agency (MINA)

Sekitar dua juta warga yang tinggal di Jalur Gaza terus menghadapi pembatasan ketat pendudukan Israel pada masuknya barang-barang ke wilayah kecil itu, menyebabkan resesi ekonomi besar dan membuat rekonstruksi infrastruktur menjadi tertunda.

Upaya terkini mediasi Mesir rupanya belum berhasil membawa situasi di Jalur Gaza kembali ke tingkat sebelum perang Mei 2021. Status quo yang sudah genting dan tegang bagi penduduknya, masih berlangsung selama 14 tahun lebih di bawah blokade Israel.

Para pejabat di Gaza telah memperingatkan bahwa pembatasan ketat Israel akan memiliki efek negatif pada semua aspek kehidupan di wilayah Palestina itu, yang mengarah pada peningkatan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Israel tidak mengizinkan lebih dari 30 persen jumlah barang dan komoditas yang memasuki Gaza sebelum pecahnya perang, yang telah menyebabkan kenaikan harga yang gila-gilaan,” ujar Rami Abu al-Rish, Direktur Jenderal Perdagangan dan Penyeberangan di Kementerian Ekonomi di Gaza, kepada Middle East Eye, Sabtu, 31 Juli 2021.

Israel mencegah impor bahan mentah, bahan bangunan, peralatan listrik, kayu, logam dan plastik ke Gaza. Israel hanya mengizinkan sejumlah kecil produk dan ikan keluar dari Jalur Gaza.

Abu al-Rish menambahkan bahwa pembatasan tersebut telah menyebabkan kelumpuhan di berbagai sektor industri, komersial dan pertanian di Gaza. Itu semua berdampak pada kehidupan populasi yang lebih luas, dengan pengangguran yang terus meningkat hingga mencapai 75 persen.

Menurut Kementerian Perekonomian di Gaza, ribuan pekerja telah kehilangan mata pencaharian dalam beberapa bulan terakhir, baik karena penghancuran fasilitas komersial dan industri atau penghentian produksi karena blokade dan pembatasan.

Pembatasan pada sektor kelautan juga berdampak pada kehidupan ribuan warga yang bergantung pada penangkapan ikan untuk bekerja.

Adel Hussein, direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang energi surya, mengatakan, “Ada pengiriman barang dalam jumlah besar untuk perusahaan kami dan perusahaan lain yang tidak diizinkan masuk. Padahal dalam kondisi seringnya pemadaman listrik oleh pusat yang dikendalikan otoritas Israel, kebutuhan sistem energi surya sangat penting.”

Menurut perkiraan Komite Pemerintah Tinggi untuk , kerugian dan kerusakan akibat perang 11 hari Mei 2021 lalu, berjumlah sekitar $479 juta (sekitar Rp6,9 triliun).

“Kerugian langsung akibat perang telah menjadi jelas, tetapi ada kerugian sebagai akibat dari blokade, dan tidak ada yang berbicara tentang itu, itu tidak pernah dibahas tuntas,” katanya.

“Akibatnya, ada resesi ekonomi besar, kurangnya banyak barang dan lemahnya daya beli warga,” lanjutnya.

Pencegahan Bantuan

Sementara itu, Israel telah mencegah masuknya bantuan Qatar, yang berjumlah sekitar $30 juta (sekitar Rp433 miliar) per bulan sejak Great March of Return 2018.

Otoritas Israel juga melarang Mohammed al-Emadi, seorang pejabat Komite Qatar untuk Rekonstruksi, yang membawa uang itu ke dalam koper, melalui persimpangan Erez.

Israel beralasan bahwa mekanisme bantuan untuk memasuki Gaza perlu diubah untuk memastikan bahwa bantuan itu tidak mencapai gerakan perlawanan Hamas.

Perubahan yang telah ditolak oleh kelompok Hamas, yang telah menjabat sebagai partai penguasa de facto di Jalur Gaza.

Sebagai tanggapan, gerakaan perlawanan Hamas dan faksi sekutunya di Gaza telah berusaha dalam beberapa hari terakhir menekan Israel. Mereka menyebutnya sebagai kegiatan “kebingungan malam”, di sepanjang pagar pemisah antara Gaza dan Israel. Mulai dari membakar ban di malam hari, hingga meluncurkan balon pembakar dan peledak ke tanah Israel di luar Gaza.

Menurut laporan media Israel, pejabat militer dan keamanan mewaspadai konfrontasi baru dengan Hamas jika kebuntuan berlanjut pada masuknya bantuan Qatar ke Gaza dan pembicaraan kesepakatan tahanan.

Juru bicara Hamas Abdul-Latif al-Qanu memperingatkan,  “lebih banyak pembatasan di Gaza hanya akan menghasilkan ledakan menghadapi pendudukan”, menghadapi pemerintahan Naftali Bennett yang rapuh.”

Solusi Mendesak

Menanggapi situasi memprihatinkan di Jalur Gaza, Lynn Hastings, Deputi Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, mendesak adanya upaya rekonstruksi di Gaza yang harus bergerak maju dengan cepat.

Upaya itu merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yaitu menyelesaikan konflik Israel-Palestina, mengakhiri pendudukan dan mewujudkan solusi dua negara berdasarkan resolusi PBB, resolusi internasional, hukum dan perjanjian bilateral”, ujar Hastings, seperti disebutkan pada laman resmi UN News, pada 28 Juli 2021.

Menurutnya, sektor sosial di Gaza kini terpukul keras, melemahkan jaring pengaman bagi penduduk yang paling rentan.

Pemulihan dan rekonstruksi segera dan jangka pendek dapat menelan biaya hingga $ 485 juta (Rp7 triliun lebih), lanjutnya.

“Upaya internasional yang dikoordinasikan oleh PBB untuk melaksanakan respon kemanusiaan dan menstabilkan situasi di Gaza harus berjalan dengan baik”, imbuhnya.

Dia menekankan perlunya kesiapan PBB dan mitra untuk melaksanakan inisiatif pemulihan dan rekonstruksi, berkoordinasi dengan otoritas Israel dan Palestina, Mesir, Qatar dan entitas regional dan internasional lainnya.

“Dalam konteks ini, diperlukan langkah lebih lanjut,” kata pejabat PBB itu.

Dunia internasional memiliki tanggungjawab bersama mengatasi krisis kemanusiaan di penjara terbesar di dunia, Jalur Gaza. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)