Resolusi Jihad Bukan Semata Soal Agama, Tapi Cinta Tanah Air

Lukman menjadi salah satu narasumber pada Seminar Nasional Pemikiran Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di gedung MPR. (Foto: Sugito/Kemenag)

Jakarta, 10 Sya’ban 1430/7 Mei 2017 (MINA) – Menteri Agama (Menag) Saifuddin mengatakan, yang dikeluarkan Hadratusyaikh KH Hasyim Asyari tidak semata didasari persoalan agama, tetapi juga kecintaan terhadap Tanah Air.

Hal ini disampaikan oleh Menag saat menjadi salah satu narasumber pada Seminar Nasional Pemikiran Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asyari yang diinisiasi oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asyari Tebuireng bertajuk “Keislaman dan Keindonesiaan Aktualisasi Pemikiran dan Kejuangan Hadratusyaikh KH.M.Hasyim Asyari” di gedung Nusantara V komplek DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Sabtu (6/5).

Menurut Menag, dalam laman Kemenag yang dikutip MINA, ada dua hal yang mendasari dikeluarkannya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Pertama, Hadratusyaikh memandang kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan. Pandangan ini terkait kenyataan dan kesadaran bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang mendasar dalam pengamalan nilai keagamaan. “Orang harus merdeka dan kemerdekaan yang sudah diraih harus dipertahankan,” ujarnya.

Kedua, Hadratusyaikh memahami Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah pemerintahan yang sah karenanya harus dijaga. “Lagi-lagi pemahamannya tidak hanya terkait agama, tapi juga pemerintahan. Beliau mengkaitkan bahwa nilai keagamaan hanya bisa diamalkan dengan baik pada wilayah yang damai dan didalamnya ada pemerintah yang sah,” terangnya.

Akan hal ini, Menag menilai, KH Hasyim Asyari sebagai sosok yang memiliki wawasan yang sangat luas, tidak hanya terkait dengan wawasan keislaman tapi juga wawasan keindonesiaan. Hal itu, menurutnya tidak terlepas dari perjalanan intelektualnya di beberapa pesantren di Indonesia hingga berguru dengan para ulama Indonesia dan Timur Tengah di Makkah Al Mukarramah.

Menurut Menag, KH Hasyim Asyari belajar banyak disiplin ilmu, mulai dari Fiqih, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir-Ilmu Tafsir dan lainnya yang memperkaya khazanah dan keragaman pandangan. “Jadi, wawasan keislaman Hadratusyaikh sangat kaya dan itulah yang berpengaruh ketika beliau pulang lalu memahami realitas Indonesia yang sangat beragam,” jelasnya.

Pandangan KH Hasyim Asyari ini tercermin dalam nilai aswaja Nahdlatul Ulama (NU) yang moderat. Teologinya merujuk pada Asyariyah-Maturidiyah yang pahamnya moderat. Fiqihnya salah satu dari empat madzhab yang memuat keragaman dan kekayaan pandangan dalam menghukumi berbagai soal kemasyarakatan.

“Tasawufnya, selain Imam Junaid al-Baghdadi juga Imam Al Ghazali yang kalau kita dalami adalah representasi dari moderasi,” ujarnya.

Menag juga menilai KH Hasyim Asyari sebagai sosok yang memiliki cara pandang untuk menjadikan budaya tidak hanya sebagai wadah tapi juga infrastruktur tempat nilai Islam bisa diterapkan. Untuk itu, budaya tidak sekedar dijaga, tapi juga diisi dengan nilai-nilai Islam.

“Budaya kita yang sangat beragam ini harus dimaknai sebagai kekayaan dan pada budaya itulah nilai Islam bisa dihadirkan,” tuturnya.

Selain Menag, tampil sebagai narasumber Mustasyar PBNU KH. Tolhah Hasan, mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah KH Din Syamsudin, Menkopolhukkam Wiranto, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, dan Pengasuh Pesantren Tebuireng KH. Solahudin Wahid.

Seminar diikuti alumni Pesantren Tebuireng yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Jabodetabek dan perwakilan utusan IKAPETE dari propinsi se-Indonesia. (T/R09/RS3)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.