Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization – UNESCO) beberapa waktu lalu memutuskan melakukan voting menentukan ada tidaknya hubungan Yahudi dan Masjid Al-Aqsha, termasuk Tembok Ratapan.
Hal itu terjadi usai pemerintah Palestina menyerahkan draft resolusi pada Rabu (12/10) lalu mencakup kecaman terhadap aktivitas Israel di Al-Quds, khususnya terhadap Masjid Al-Aqsha yang merupakan hak sah bagi kaum Muslimin.
srael berusaha semaksimal mungkin agar draft itu ditolak. Harian Israel Haaretz mengungkapkan bahwa sepertinya Israel telah berhasil meyakinkan sejumlah negara untuk tidak melakukan voting demi kepentingannya, sampai-sampai Meksiko yang awalnya mendukung penuh keputusan ini meminta untuk melakukan voting ulang.
Baca Juga: Zionis Israel Serang Pelabuhan Al-Bayda dan Latakia, Suriah
Meski demikian, Pusat Info Palestina mengklaim bahwa mayoritas negara yang berjumlah 85 negara tetap menyetujui draft yang diajukan oleh pemerintah Palestina yang juga mendapat dukungan dari negara-negara Arab lainnya.
Reaksi Tokoh Palestina
Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri menegaskan bahwa keputusan UNESCO terkait dengan Al-Aqsha sebagai warisan murni umat Islam merupakan kemenangan bagi Palestina. Menurut dia, keputusan UNESCO tersebut sebagai penggagalan terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh Israel. Mereka berusaha menekan lembaga tersebut untuk meralat keputusan keputusan sebelumnya.
Pun demikian dengan pernyataan Anggota Hamas lainnya, Izzat Rasyq. Dalam beberapa kesempatan, Rasyq menganggap bahwa keputusan final UNESCO tersebut pantas mendapatkan apresiasi dan sambutan baik dari rakyat Palestina dan umat Islam serta pejuang kebebasan di dunia lainnya. Ia menganggap keputusan tersebut sebagai kemenangan Palestina dan penolakan terhadap klaim Israel terkait Masjid Al-Aqsha dan juga kemenangan dalam menghadapi tekanan Israel untuk mengubah keputusan UNESCO.
Baca Juga: Majelis Umum PBB akan Beri Suara untuk Gencatan Senjata ‘Tanpa Syarat’ di Gaza
Jamal Amer, pakar masalah permukiman di Al-Quds turut bersuara. Ia mengajak negara-negara Arab mendukung keputusan UNESCO terkait Al-Aqsha dan mengembangkannya menjadi sebuah resolusi PBB terhadap hak-hak bangsa Palestina di Tepi Barat.
Ia menyatakan, “Negara-negara Arab harus mendukung keputusan berani yang diambil oleh UNESCO.”
Dalam pernyataanya, Amer bahkan berani secara terbuka mendesak negara-negara Arab dan Islam untuk meminta Amerika Serikat (AS) untuk menyerahkan file sejarah yang asli dan menyebarkanya di semua file dan dokumen diplomatik.
Klaim Bodoh Israel
Baca Juga: Sudah 66 Hari Israel Blokir Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Utara
Bisa jadi resolusi UNESCO yang mengklaim bahwa tak ada kaitan dan hubungan antara Yahudi dengan Masjid Al-Aqsha dan Tembok Ratapan merupakan pengakuan internasional atas klaim bodoh Yahudi. Ini menjadi sumber kekhawatiran besar bagi Israel yang memang membangun negaranya di atas pondasi-pondasi agama dan sejarah.
Namun sejauh ini, penulis belum melihat resolusi UNESCO menjadi sebuah tekanan yang nyata terhadap Israel untuk menggoyang sikap-sikap politik mereka. Justru yang ada adalah aksi boikot Israel terhadap UNESCO, mencerminkan ketamakan mereka yang tidak bisa dihentikan oleh resolusi apapun.
Pakar Sejarah Timur-Tengah, Dr Fayez Shamalah mengungkapkan bahwa sebelum resolusi UNESCO ini muncul, jauh-jauh hari saat Inggris masih menjajah Palestina tahun 1929 pernah menerbitkan buku putih yang menyatakan bahwa Tembok Ratapan di kota Al-Quds dan wilayah yang bersebelahan adalah milik umat Islam. Saat itu Yahudi karena minoritas dan lemah, mereka terkalahkan.
Namun lambat laun, Yahudi mulai meyakini bahwa mereka akan memiliki tempat tersebut dengan kekuatan ideologi dan senjata serta memiliki keputusan politik dari negara-negara Eropa.
Baca Juga: Smotrich: Israel Tolak Normalisasi dengan Saudi jika Harus Ada Negara Palestina
Konflik atas kepemilikan tempat suci mulai memanas ketika Yahudi menklaim Tembok Ratapan sebagai bagian dari ritual agamanya. Bangsa Palestina segera menggelar revolusi di penjuru wilayah sebagai respon penolakan klaim Israel tersebut, sampai PBB membentuk tim pencari fakta internasional tahun 1930 untuk menentukan hak-hak umat Islam dan Yahudi di Tembok Ratapan.
Lagi-lagi tim pencari fakta PBB yang diketuai oleh Swedia menegaskan bahwa Tembok Ratapan adalah milik umat Islam. Lantas apa hasilnya? Dan sejauh mana keputusan-keputusan internasional bisa memaksa Yahudi melupakan klaim mereka?
Yahudi terus melanjutkan serangannya atas nama agama dan sejarah untuk menguasai tempat-tempat suci di Al-Quds. Bahkan sampai melakukan penjadwalan waktu di sana tanpa ada reaksi berarti dari masyarakat internasional.
Dengan tidak adanya reaksi masyarakat internasional inilah kemudian Israel berani secara terbuka merebut kepemilikan Masjid Al-Aqsha dari umat Islam dengan paksa. Secara membabi buta, mereka mengklaim bahwa umat Islam telah membangun masjid mereka di atas Kuil Solomon mitos mereka.
Baca Juga: Hamas Kutuk Agresi Penjajah Israel terhadap Suriah
Berpegang pada klaim agama dan sejarah, Israel ingin menunjukkan kepada dunia bahwa konflik atas tanah Palestina adalah konflik keyakinan dan agama dan bukan konflik politik.
Dalam pernyataannya Shamalah juga menegaskan bahwa resolusi UNESCO yang diterbitkan belum lama ini sangatlah penting, namun Palestina dan masyarakat internasional telah mengabaikan beberapa hal berikut:
Pertama, persoalan Palestina tidak pernah kekurangan dengan resolusi-resolusi internasional. Namun yang kurang adalah tindakan nyata yang mampu memaksakan status quo baru di lapangan sesuai dengan resolusi tersebut untuk melawan tindakan nyata Israel yang melangkahi dan menginjak-injak keputusan-keputusan internasional.
Kedua, resolusi UNESCO merupakan kemunduran dukungan internasional terhadap Palestina. Ini terlihat dari 26 negara yang menolak (abstain) bersuara dalam voting resolusi di UNESCO dan sejumlah negara Eropa yang menolak mendukung draft resolusi padahal di tahun 1930 mereka mendukung.
Baca Juga: Pemukim Yahudi Ekstremis Rebut Rumah Warga Yerusalem di Silwan
Lantas apa manfaat kunjungan-kunjungan intens Presiden Abbas dan timnya ke Eropa dan peran kedutaan besar Palestina di sana yang tidak berdaya membela hak Palestina di depan kebohongan-kebohongan yang dijual oleh Kedutaan Besar Israel di Eropa?
Ketiga, duta besar-duta besar Israel di beberapa negara di dunia berhasil mempengaruhi sikap-sikap banyak negara seperti Swedia, Slovedia, India, Argentina, Togo. Negara-negara ini beralih dari mendukung Palestina menjadi menolak bersuara. Ini merupakan kemunduran bagi diplomasi Palestina dimana hanya ada 24 negara saja yang sebagian besarnya adalah negara Islam dan Arab serta negara Afrika disamping Rusia, Meksiko dan Nikaragua.
Keempat, negara-negara yang menentang dan menolak resolusi adalah negara yang memiliki hubungan ekonomi dan perdagangan serta politik dengan negara Arab dan Islam. Sebagiannya negara besar seperti Amerika, Inggris, Jerman, maupun negara kecil seperti Belanda, Latvia dan Estonia.
Pada saat Palestina senang dan Israel marah, maka di masa mendatang akan ada upaya intens Israel mempengaruhi 26 negara yang masih bersikap netral dan belum bersuara (abstain). negara-negara ini menjadi target diplomasi Israel.
Baca Juga: Media Ibrani: Netanyahu Hadir di Pengadilan Atas Tuduhan Korupsi
Sudah seyogyanya, resolusi UNESCO ini bisa berdampak besar bagi Israel untuk menarik pasukannya dari wilayah-wilayah Palestina. (P011/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Hamas Sayangkan Terbunuhnya Pejuang Perlawanan di Tepi Barat, Serukan Faksi Palestina Bersatu