ISRAEL, negara yang selama ini dikenal dengan kekuatan militer dan politiknya yang solid, kini menghadapi badai besar dari dalam. Bukan dari musuh eksternal, tetapi dari konflik internal yang semakin meruncing. Para pengamat politik menyebutnya sebagai “keretakan yang tidak bisa lagi disembunyikan.”
Perselisihan mendalam terjadi antara kelompok sayap kanan ultra-nasionalis dengan kelompok liberal dan sekuler. Pemerintahan yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, yang mengandalkan koalisi ekstrem kanan, telah memicu kemarahan publik dengan berbagai kebijakan yang dianggap otoriter dan diskriminatif.
Salah satu isu yang paling kontroversial adalah reformasi peradilan yang diajukan oleh pemerintahan Netanyahu. Reformasi ini dianggap melemahkan Mahkamah Agung Israel dan mengancam prinsip demokrasi. Ratusan ribu warga Israel turun ke jalan dalam gelombang demonstrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tentara cadangan, termasuk pilot dan petinggi militer, ikut bersuara. Banyak dari mereka menolak untuk melanjutkan tugas militer sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Ini menandai situasi yang sangat genting, di mana kekuatan pertahanan negara mulai goyah akibat konflik politik domestik.
Baca Juga: Amerika, Pahlawan Palsu, Pelindung Penjajah Nyata
Kelompok ultra-Ortodoks (Haredi) menambah panasnya suasana. Mereka menuntut kebijakan yang lebih mengakomodasi gaya hidup religius mereka, termasuk pembebasan dari wajib militer. Ini menimbulkan ketegangan dengan kelompok sekuler yang merasa beban pertahanan negara menjadi tidak adil.
Di sisi lain, masyarakat Arab Israel juga menunjukkan keresahan yang meningkat. Mereka merasa semakin terpinggirkan dalam sistem pemerintahan dan kebijakan negara yang didominasi oleh kelompok Zionis sayap kanan.
Konflik internal ini tidak hanya berdampak pada stabilitas politik, tetapi juga menimbulkan keraguan di kalangan investor asing. Ketidakpastian hukum dan politik membuat banyak perusahaan internasional mulai menarik diri dari pasar Israel.
Bahkan, hubungan antara Yahudi diaspora dan Israel mulai merenggang. Banyak Yahudi liberal di Amerika Serikat yang merasa tidak lagi sejalan dengan arah politik dan nilai-nilai yang dipegang oleh pemerintahan Israel saat ini.
Baca Juga: Piagam Jaminan Keamanan Umar bin Khattab untuk Martabat Manusia
Media internasional mulai menyoroti bahwa retaknya kesatuan internal Israel ini bukan sekadar gejolak biasa. Ini bisa menjadi pertanda perubahan besar dalam struktur sosial-politik negara itu, bahkan bisa mengarah pada perpecahan yang lebih luas di masa depan.
Para analis menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Israel adalah contoh nyata dari bagaimana ideologi ekstrem bisa menghancurkan pondasi negara dari dalam. Ketika tidak ada ruang untuk dialog dan kompromi, maka yang muncul adalah polarisasi dan konflik horizontal.
Ironisnya, ketika dunia internasional fokus pada konflik eksternal antara Israel dan Palestina, justru di dalam negeri sendiri, bom waktu perpecahan sedang berdetak kencang. Banyak yang bertanya: apakah Israel mampu bertahan menghadapi krisis internal ini?
Beberapa pihak mulai mengangkat wacana konfederasi atau pemisahan wilayah otonom sebagai solusi alternatif. Gagasan ini tentu saja kontroversial, tetapi mencerminkan betapa dalamnya krisis identitas dan kebangsaan yang kini melanda Israel.
Baca Juga: Haji, Jalan Lebar Transformasi Menuju Indonesia Emas 2045
Keretakan internal ini juga memberi sinyal baru bagi dunia Arab dan komunitas internasional untuk membaca ulang posisi Israel dalam lanskap geopolitik global. Negara yang selama ini tampak kokoh, ternyata memiliki celah besar di dalamnya.
Dalam pandangan beberapa pemikir politik, perpecahan internal Israel bisa menjadi titik balik dalam sejarah Timur Tengah. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan mustahil negara ini menghadapi disintegrasi sosial yang serius dalam waktu dekat.
Dunia kini menyaksikan sebuah ironi besar: negara yang dibangun atas dasar semangat kebersamaan diaspora, kini terancam pecah oleh ego sektarian dari dalam. Apakah ini awal dari akhir supremasi Zionis? Hanya waktu yang akan menjawabnya.[]
Mi’raj News Agency (MINA)