Jakarta, 25 Dzulqa’dah 1435/19 September 2014 (MINA) – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Anak yang merupakan revisi dari UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 yang rencananya diparipurnakan pekan depan semakin menjamin dan mendukung perlindungan anak.
RUU tersebut sudah memasuki pembicaraan tingkat satu antara Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah. Menurutnya, dalam draft revisi terbaru RUU itu banyak klausul perlindungan anak yang dirinci secara lebih spesifik, sebagaimana rilis resmi DPR yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Jumat.
Klausul yang dirinci seperti memasukkan ketentuan tentang perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban pornografi, anak korban HIV/AIDS, anak korban kejahatan seksual, anak korban jaringan terorisme, anak dengan perilaku sosial menyimpang serta anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya, yang belum tertera dalam undang-undang terdahulu.
“Undang-undang lama belum memasukkan poin-poin tersebut sementara kita menghadapi kenyataan bahwa dalam beberapa tahun terakhir kekerasan pada anak justru meningkat terutama dalam hal kejahatan seksual dan juga banyak sekali anak yang rentan terlindungi dari kondisi-kondisi seperti tersebut di atas termasuk ikut menanggung beban labeling terkait kondisi orangtuanya,” jelas Ledia.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Ledia mengatakan, jika pembahasan berlangsung tanpa hambatan yang berarti diharapkan pekan depan RUU ini sudah dapat disahkan menjadi Undang-undang Perlindungan Anak versi baru.
“Hingga saat ini alhamdulillah tidak banyak perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR mengenai substansi revisi undang-undang perlindungan anak ini. Pasal demi pasal dikupas tuntas dengan semangat untuk memberikan perlindungan terbaik bagi anak,” ujar Humas Kaukus Perempuan Parlemen itu.
Selain persoalan hak anak untuk mendapat perlindungan dalam berbagai bidang, kewajiban pemerintah pun mendapat koreksian dalam RUU ini dengan memasukkan secara eksplisit tanggungjawab pemerintah daerah dalam menjamin perlindungan bagi anak.
“Hal ini berkesesuaian dengan Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah menjabarkan adanya pemisahan tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sehingga kewajiban memenuhi perlindungan kepada anak perlu ditegaskan untuk mengikat pemerintah daerah,” lanjut Ledia.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
Beberapa hal lain yang juga menjadi menjadi muatan tambahan dalam RUU itu adalah kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan perlindungan bagi anak dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, pengasuhan, kependudukan dan beberapa hal lain juga peran serta orangtua, keluarga dan masyarakat untuk mendukung perlindungan tersebut.
“Kami telah mengupayakan segala pertimbangan untuk memasukkan klausul-klausul perlindungan anak secara lebih purna dengan memastikan kepentingan terbaik bagi anak selalu diutamakan. InsyaAllah, RUU ini akan memberikan perlindungan yang lebih baik kepada Anak Indonesia,” ungkap Ledia.
Aborsi Tidak dibolehkan
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI) Maria Ulfah Anshor dalam forum legislasi ‘RUU Perlindungan Anak’ di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa lalu, menyatakan jika dalam setiap tahunnya telah terjadi 3.700-an atau sebanyak 13-15 kasus kekerasan terhadap anak dalam setiap harinya. Baik dalam bentuk kekerasan seksual, kekerasan fisik lainnya, pembunuhan, perdagangan manusia (human traficking), narkoba, anak-anak jalanan dan sebagainya.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
“Itu baru kasus yang dilaporkan ke KPAI. Padahal, banyak lagi kasus di daerah-daerah yang tidak dilaporkan akibat tidak memahami aturan, dan atau takut akibat ancaman. Jadi, kekerasan terhadap anak ini seperti fenomena gunung es kalau dibiarkan akan membahayakan masa depan anak-anak dan bangsa ini,” tegasnya.
Menurut Maria Ulfah, RUU ini merupakan penggabungan antara UU Kesejahteraan Anaktahun 2007 dengan Perlindungan Anak, sehingga makin lengkap dalam usahamemberikan perlindungan terhadap anak. “Termasuk hak asuh akibat konflik, tidak bolehhanya oleh satu orang tua, melainkan pemberian asuh itu tetap harus oleh kedua orangtuanya. Itu salah satukalusul putusan pengadilan hak asuh anak,” tambahnya.
Sementara mengenai ketentuan sanksi pidana agar berefek jera kata Maria Ulfah, hal itusedang dirumuskan oleh tim ahli bidang hukum. KPAI mendukung hukuman mati bagipelaku kekerasan terhadap anak (pembunuhan, perkosaan, perdagangan, narkoba dll.).“Tapi, acuannya pada KUHP, sedangkan di KUHP tidak ada hukuman mati. Hanyahukuman 20 tahunpenjara,” katanya.
Selain itu lanjut Maria Ulfah, setiap orang dilarang melakukan pengguguran anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
“Jadi, tidak ada yang namanya diperbolehkan aborsi itu, yang ada kesehatan reproduksi, di mana boleh menggugurkan anak sesuai yang diatur UU. Misalnya akan mengancam jiwa ibunya dan sebagainya,” jelasnya.(L/R05/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)