Medan, 23 Rabi’ul Akhir 1437/2 Februari 2016 (MINA) – Seorang bapak dua anak etnis Rohingya asal Myanmar, Abdul Rahim, 34, ingin memberikan masa depan yang lebih cerah bagi keluarganya. Tapi, dia sadar tak bisa melakukannya di Myanmar.
Bulan Februari dan Mei merupakan bulan harapan terbaik bagi etnis Rohingya untuk berdayung di lautan ketika ingin melarikan diri ke negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, hingga Australia. Sebab, ombak lautan di bulan Februari-Mei lebih tenang.
“Tidak ada angin kencang atau hujan deras,” ujar Rahim yang tiba di Malaysia lebih dari satu dekade lalu dan terjebak di Indonesia setelah gagal menembus Australia sekitar tiga tahun lalu seperti di laporkan Strait Times, dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
“Waktu yang paling berbahaya untuk melaut adalah pada bulan ketujuh, kedelapan, dan kesembilan,” lanjut Rahim. Saat ingin pergi ke Australia, dia merogoh kocek hingga RM23.000 (Rp72,4 juta) untuk membayar pelaku penyelundup manusia.
Baca Juga: Tim SAR dan UAR Berhasil Evakuasi Jenazah Korban Longsor Sukabumi
Pada Mei 2012, Rahim dan keluarganya berangkat dari Malaysia menuju Medan, Sumatra Utara. Dengan menggunakan bus, mereka menempuh perjalanan dua hari untuk sampai di Jakarta sebelum akhirnya terbang menuju Kendari, Sulawesi Selatan.
Rahim dan keluarganya bertolak dari Kendari menuju Australia. Setelah lima hari terapung di lautan, mesin perahu yang mereka tumpangi mogok ketika hampir sampai di Pulau Natal. Di sana, mereka kesulitan mencari bantuan darurat.
Seiring dengan waktu, perahu itu terdorong ombak ke arah mereka datang. Para nelayan lokal di Pulau Toyam, dekat Pulau Rote, menyelamatkan mereka. Sebanyak 157 penumpang perahu itu tinggal empat hari di sana sebelum dibawa Angkatan Laut RI ke Kendari.
Sejak peristiwa itu, Rahim dan keluarganya kini tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Mereka menunggu direlokasi ke negara tujuan oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Di Indonesia, Rohingya mendapatkan kartu UNHCR dan gaji bulanan.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Mereka mengucapkan syukur, kendati mereka tidak bisa bekerja. Jika mereka menikah dengan warga negara Indonesia (WNI), gaji bulanan mereka akan dicabut. Hal itu dialami dan diungkapkan Rahim yang menikah dengan orang Indonesia.
Kini, lebih dari 1.000 rohingya tinggal di Indonesia. Adapun rinciannya 200 di Nusa Tenggara Timur, 300 di Sumatra Utara, 300 di Aceh, dan 200 di Sulawesi. Sebagian besar dari mereka tiba di Tanah Air pada Mei 2015 saat krisis pengungsi melanda Asia Tenggara. (T/P020/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat