DI SEBUAH pusat perbelanjaan, deretan baju tergantung anggun. Diskon besar-besaran terpampang dari etalase. Tapi, di hadapannya, berdiri sekelompok manusia bermata redup: Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya).
Mereka datang bukan untuk belanja, tapi untuk sekadar menghirup aroma kemewahan yang tak sampai ke dapur mereka.
Fenomena ini bukan lelucon. Ini potret luka. Ketika kantong-kantong rakyat bolong, bukan karena lalai menabung, tapi karena harga beras naik tanpa permisi, listrik menggigit diam-diam, dan minyak goreng berubah jadi barang mewah.
Ibarat mereka berjalan di antara deretan pesta, seperti tamu dalam pesta yang disiarkan luas, tapi tak tersedia kursi untuk mereka.
Baca Juga: Mari Merawat Ukhuwah Islamiyah
Di layar kaca, para pejabat dan kerabatnya mengunggah liburan ke Swiss, makan malam dengan daging Wagyu, atau sekadar berbagi video unboxing mobil mewah.
Sementara rakyat? Mereka unboxing daftar tagihan, kredit macet dan cicilan di bank. Ada ironi yang menganga lebar: negara menjanjikan 19 juta lapangan kerja, tapi yang nyata justru jutaan PHK yang menggulung hidup rakyat jelata.
Coba tanyakan pada mereka yang jadi Rojali—adakah mereka malas? Tidak. Mereka hanya kehabisan peluang. Tanyakan pula pada Rohana—adakah mereka iseng? Tidak. Mereka sedang menghitung sisa uang sambil berharap harga tak naik esok pagi.
Tetapi siapa yang peduli, ketika pencitraan jauh lebih penting daripada pemenuhan pangan dan kebutuhan pokok rakyat lainnya.
Baca Juga: Suara dari Monas Jakarta untuk Gaza Terbebas dari Genosida
Di balik parade janji-janji, rakyat sudah terlalu sering jadi pendengar setia. Dari kampanye ke kampanye, dari mimbar ke mimbar. Katanya, negeri ini kaya raya, sumber daya alam berlimpah. Tapi anehnya, yang menikmati kemakmuran justru segelintir yang memegang palu kekuasaan, bukan mereka yang memegang palu di bengkel atau kuli bangunan.
Mereka—Rojali dan Rohana—bukan malas, tapi tak diberi kesempatan. Negara menjanjikan karpet merah, tapi di lapangan hanya ada jalan merah berlumpur penuh lubang.
Sementara sang elite bicara tentang hilirisasi dan ekonomi digital, rakyat masih sibuk bertanya: “Bagaimana caranya beli paket data kalau buat makan saja susah?”
Ekonomi Indonesia, katanya tumbuh. Tapi banyak rakyat kecil di mana-mana justru mengeluh. Investor akan buka pabrik, tapi warung tetangga sebelah tutup.
Baca Juga: Genosida Kelaparan di Gaza sebagai Senjata Pembunuhan Massal
Pendapatan per kapita katanya naik, tapi pendapatan rakyat tak kunjung menanjak. Angka statistik disulap jadi prestasi, sementara isi dompet rakyat makin meringis tak ada isi.
Rojali dan Rohana bukan penyakit sosial. Mereka adalah gejala. Gejala dari sistem yang lebih pandai bersandiwara daripada bekerja. Gejala dari janji-janji pembangunan yang lebih sering dibangun di atas kertas, di mimbar kampanye dan forum-forum internasional, tapi sepi dan hampa di lapangan dan pasar tradisional.
Di tengah semua ini, rakyat tetap tangguh. Mereka tetap tertawa, meski perih. Mereka tetap bekerja, meski gaji kadang hanya cukup untuk setengah bulan. Katanya gajinya sembilan koma, ternyata tanggal sembilan sudah koma.
Mereka tetap bersyukur, meski yang datang bukan rejeki, tapi reruntuhan janji-janji yang tak tahu kapan akan ditepati.
Baca Juga: Kelaparan di Gaza dan Kepedulain Kita
Masih ada secercah harapan dalam wajah-wajah letih itu. Bahwa suatu hari, negeri ini akan benar-benar berpihak pada mereka. Bukan hanya saat pemilu, tapi dalam tiap denyut kehidupan. Bahwa pembangunan bukan hanya soal gedung tinggi, tapi soal perut yang tak lagi lapar dan pendidikan yang tak lagi dihantui tunggakan SPP.
Mungkin, di balik wajah Rojali yang diam dan Rohana yang sabar, ada doa yang tak henti-hentinya naik ke langit: agar anak-anak mereka tak perlu jadi generasi yang hanya bisa “nanya” dan “jarang beli.”
Mereka ingin generasi penerus bisa membeli, bukan sekadar barang-barang yang mereka inginkan, tapi lebih dari itu, mereka bisa meraih mimpi dan masa depan.
Para aktifis, penulis, wartawan, dan semua profesi sosial lainnya punya tugas menyuarakan jeritan ini. Bukan untuk mengeluh, tapi untuk menggugah. Bukan untuk menyalahkan, tapi mengingatkan. Bahwa memberi bantuan kepada rakyat bukan dianggap sebagai beban, tapi investasi masa depan.
Baca Juga: Negara Yahudi itu Kian Terpecah
Di negeri Konoha yang kaya, dipenuhi pemimpin katanya bijaksana, dan keadilan masih jadi pajangan etalase negara. Di atas mimbar mereka bicara visi, tapi di bawah langit rakyat masih mengantri untuk mendapat sesuap nasi. Jika janji tinggal gema yang tak pernah menginjak bumi, maka apalah arti kepemimpinan selain retorika yang tak berhati?
Wahai para pemangku kuasa—dengarlah bisik angin dari gubuk-gubuk yang reot, dari pasar yang sepi, dari anak-anak yang menghafal abjad dalam perut yang kosong. Kekuasaan bukan mahkota, tapi beban yang kelak diadili di hadapan Yang Maha Kuasa.
Jika benar cinta negeri ini, jangan hanya bersuara saat kamera menyala—turunlah, tatap mata rakyatmu, dan rasakan nadi yang mulai melemah karena kecewa.
Sebab sejarah tak mencatat nama dari mereka yang pandai bersandiwara. Sejarah mencatat siapa yang berani berlaku adil, meski dunia menertawakannya. Rakyat ingin pemimpin yang bukan hanya terlihat, tapi benar-benar hadir. Dalam duka, dalam lapar, dalam setiap luka yang mereka rasakan. []
Baca Juga: Jihad Digital Suarakan Tangisan Anak-anak Gaza
Mi’raj News Agency (MINA)