Pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, Palestina, diinisiasi oleh Lembaga Kegawatdaruratan Medis, MER-C, tentu tidak terlepas dari bagaimana perjuangan para relawan yang menjadi pembuka jalan menembus kota yang diblokade itu. Semula seperti Mission Impossible namun kini kita bisa menyaksikan RSI telah berdiri kokoh empat lantai, telah melayani warga, menjadi hadiah dan bukti cinta rakyat Indonesia untuk Palestina.
Salah seorang relawan yang menjadi pembuka jalan berdirinya Rumah Sakit ini adalah dr. Arief Rachman, yang dalam misi kemanusiaan luar negeri pertamanya ke jalur Gaza, berhasil membawa pulang dua lembar surat lampu hijau disetujuinya dan penunjukan lokasi pembangunan Rumah Sakit Indonesia. Membayar tuntas perjuangannya bertahan selama empat bulan di Jalur Gaza.
“Ketika saya ngomong bahwa MER-C akan bangun RS Indonesia ke NGO Turki, dibilang gila saya,” ujarnya menceritakan awal perjuangan MER-C saat akan membangun Rumah Sakit di Gaza.
“…..kemudian saya pulang. Itu bawa pulang surat dua rasanya kaya pahlawan perang pulang, ya bawa surat dua, saya gak pulang dengan tangan kosong, empat bulan saya pergi luntang-lantung, tapi bawa hasil,” katanya.
Baca Juga: [BREAKING NEWS] Pria Amerika Bakar Diri Protes Genosida di Gaza
Tim Wartawan MINA mengadakan wawancara dengan dr.Arief Rachman pada Rabu (22/12). Ia berbagi pengalamannya menjalankan mission impossible pembangunan RS Indonesia di Gaza sejak masa persiapan untuk mendapat izin dan mendapat lokasi. Berikut laporan wartawan MINA, Sri Astuti :
MINA: Untuk kembali menyegarkan ingatan kita semua, bisa dokter ceritakan kembali bagaimana awal perjuangan pembangunan RS Indonesia di Gaza?
dr. Arief : Jadi akhir 2008 Gaza diserang untuk kesekian kalinya oleh Israel. Itu menarik perhatian dunia. Almarhum dr. Joserizal Jurnalis (Ketua Presidium MER-C waktu itu) mengumpulkan teman-teman dan mengatakan kita akan berangkat ke Gaza. Selanjutnya berkordinasi dengan Menteri Kesehatan saat itu Ibu Siti Fadilah Supari. Ia mengatakan akan memberi bantuan. Ya sudah kita katakan bareng-bareng saja Bu. Jadi MER-C yang NGO dan Pemerintah bareng-bareng menyerahkan bantuan. Ini disepakati sekitar Desember 2008, kemudian tim berangkat. Waktu itu yang berangkat dari MER-C adalah dr. Jose, dr. Sarbini Abdul Murad dan satu relawan lainya lalu menyusul sepekan, kemudian dr. Indra dan Pak Faried Thalib.
Tapi barulah Januari akhir tim ini bisa masuk ke Gaza. Inipun rutenya memutar dari Yordania masuk ke Tepi Barat, ternyata tidak bisa. Akhirnya turun ke Mesir dan masuk di Rafah. Temen-temen kemudian bergabung dengan lembaga masyarakat internasional lainnya mencoba memaksa pintu perbatasan dibuka sehingga bantuan bisa masuk. Sekitar satu pekan di dalam, kami di sini kemudian mendapat informasi siapkan tim berikutnya karena teman-teman di dalam sudah menilai situasi dan telah diputuskan bahwa MER-C akan fokus memberikan bantuan rumah sakit dan juga sudah dihitamputihkan dengan MoU antara MER-C dan Kementerian Kesehatan Gaza. Siapkan tim berikutnya suruh Arief berangkat.
Baca Juga: MUI Gelar Forum Ukhuwah Islamiyah, Minta Presiden Jokowi Ganti Kepala BPIP
Jadi Gaza 2009 itu adalah misi luar negeri saya yang pertama. Saya sama sekali tidak menyangka kalau saya akan dikirim berangkat tapi bismillah, saya ngomong ke keluarga, mereka gak keberatan, kemudian Februari kami berangkat. Jadi Februari itu timnya lebih banyak, ada saya, kemudian ada dr. Abdul Mughni dan istrinya dr. Farah, dr. Dany Kurniadi yang masih pendidikan spesialis bedah saraf kemudian ada Bambang dan Abdillah Onim. Jadi berenam berangkat, mendarat di Mesir dari Kairo langsung ke Rafah, sekitar satu pekan baru clear semuanya bisa masuk.
Masuk ke Gaza berkumpul lagi dengan temen-temen NGO lain di Rumah Sakit Syifa, koordinasi dengan Kementerian Kesehatan. Kemudian tim saya bagi dua. Ada tim medis ada tim untuk follow up rumah sakit, dr. Mughni, dr. Farah, dr. Dany ditempatkan di rumah sakit untuk bantu-bantu mengatasi korban serangan, saya sama yang lain berkeliling lihat model rumah sakitnya, sistemnya bagaimana, kebutuhanya apa dan lokasinya di mana.
Bulan Februari masuk ke Maret belum ada progres, serangan masih ada kecil-kecil. Dalam waktu itu dua kali kami dipanggil Kedutaan Indonesia di Kairo untuk pulang karena akan ada serangan. Ngeyel! Sama kebiasaan MER-C ngeyel, saya katakan, “Ya kalau ada serangan justru keberadaan MER-C dibutuhkan ngapain keluar?”.
KBRI sendiri khawatir kalau jadi korban bagaimana karena merasa bertanggung jawab. “Kalau jadi korban ya sudah lah pak kubur saja di sini gak usah dipulangin” kata saya. Jadi di Jakarta pun mendukung ya sudah tidak usah keluar di situ saja.
Baca Juga: [BREAKING NEWS] Yahya Al-Sinwar Terpilih Sebagai Kepala Biro Politik Hamas
Februari karena faktor perizinan dr. Mughni dan dr. Farah pulang, menyusul bulan Maret dr. Dany dan Bambang pulang. Maret, April tinggal saya dan Abdillah Onim saja, dari Februari sampai ke Maret itu kita kaya anak hilang. Mau ketemu Kementerian responsnya begitu amat padahal kita sudah tunjukkan MoU-nya, yang tanda tangan Menteri kalian. Akhirnya kita memilih “orang-orang yang punya hubungan informal”. Saya kemudian dikenalkan dengan figure dokter anak di RS Al Rantisi. Sudah sepuh orangnya dan betul-betul tawadu.
Kemudian saya di bawa oleh beliau keliling rumah sakit. Saya cerita dari awal sampai akhir rencana kita. Beliau menangkap betul inti permasalahannya. Beliau ajak keliling cari lokasi. Akhirnya sampai pada kesimpulan dari beberapa tanah yang kami lihat kami kemudian condong ke satu lokasi, hanya saja lokasinya itu milik pemerintah, tempat latihan askar, jadi askar latihan di Gaza utara, karena memang pesan dari Jakarta cari Gaza Utara karena Gaza utara front line jadi kita fokus di sana.
Beliau bilang “tulis saja surat nanti saya bawa suratnya”. Saya masih belum paham apa yang beliau sampaikan. Pokoknya kirim surat saya titipkan, hanya satu pekan kemudian beliau menginfokan sudah dibaca dan disetujui.
“Siapa yang menyetujui?” tanya saya. “Siapa lagi kalau bukan orang nomer satu,” katanya. “Maksud Anda Ismail Haneyyah? Ya kalau begitu saya perlu bukti untuk saya bawa ke tanah air.”
Baca Juga: Ismail Haniyeh Dikabarkan Terbunuh di Iran
Jadi singkat cerita tiga hari kemudian saya terima surat tertulis nama saya, kepada saudara kami Arief Rachman, isinya bahwa kami menyetujui program ini, tertanda di bawahnya Ismail Haniyyeh.
Plong gitu empat bulan kayanya pintu surga udah di depan mata. Saya datang ke Kemenkes lagi, prosesnya jadi bareng ketika saya jalan ke pintu ini, pintu di Kementrian juga dibuka jadi saya bisa berkordinasi dengan bagian Kerjasama Internasional waktu itu. Dia bilang “sekarang kalau ada apa-apa kamu ngomong sama saya.”
Surat dari Otoritas Gaza waktu itu kita sudah dapat saya tunjukkan ke mereka, “ini saya sudah dapat bisa gak saya dapat surat dari Kemetrian untuk bukti bahwa program bisa lanjut,” kemudian diketik oleh beliau, dikasih. Karena saya sudah dapet dua surat saya pamit pulang.
Jadi dari situ sepekan kemudian pulang saya bawa surat, itu rasanya bawa pulang surat dua kaya pahlawan perang pulang gitu. Ya saya gak pulang tangan kosong, empat bulan saya pergi luntang-lantung itu bawa hasil. Sedangkan saya tahu di Jakarta insinyur sudah rancang bangunan rumah sakit, sudah ketemu Bu Menteri, sudah ketemu berbagai pihak, bantuan dari masyarakat masuk banyak, bahkan boleh saya bilang bantuan terbesar dalam sejarahnya MER-C adalah bantuan untuk Palestina tahun itu.Dalam waktu satu bulan kita pernah nilainya sampai di atas 20 M.
Baca Juga: Breaking News: Ledakan Dahsyat Guncang Tel Aviv
Luar biasa, untuk itu saya meraskan betul amanah yang dititipkan masyarakat kepada MER-C untuk program ini, maka kemudian bisa selesai lega banget.
Waktu sudah pulang ke Jakarta fasenya kemudian berubah dari fase bantuan medis kemudian jadi konstruksi, ini jadi estafetnya ke insinyur. Saya membantu memberi masukan mengenai apa yang disebut sebagai flow pasien, flow dokter, layanan yang dibutuhkan.
Apa yang diminta oleh dr Jose waktu itu adalah traumatologi untuk membantu korban-korban trauma perang, jadi kita membangun dengan grand design itu.
Nah jadi insinyur sibuk menggambar menghitung, kemudian saya dan rekan lain menyusun alat Kesehatan yang dibutuhkan apa saja, dan pihak ketiga adalah teman-teman relawan Aqsa Working Group (AWG) dan Al Fatah yang di sana, jadi Ir Edy, Ir. Nur Ikhwan yang membangun itu, kami adalah jembatan.
Baca Juga: Presiden Iran Alami Kecelakaan Helikopter di Azerbaijan Timur
Prosesnya kami punya list, alat mereka carikan suplayer, kami tenderkan, alat datang mereka terima, kemudian dicek apakah sesuai orderan, diterima, bayar, itu semua yang melakukan adalah temen-temen di Gaza. Jadi banyak sekali tangan yang terlibat untuk rumah sakit ini. Saya pikir sebanyak harapan rakyat Indonesia itulah yang membantu RS Indonesia ini, bukan hanya relawan MER-C bukan hanya relawan-relawan Al Fatah, AWG, tapi tangan-tangan yang tidak kelihatan itu yang kemudian bisa menjadikan mission impossible yang tadi dikatakan menjadi possible.
Ketika saya ngomong bahwa MER-C akan bangun RS Indonesia ke NGO Turki dibilang gila saya. “Ahh gila kamu paling mungkin, kamu beli gedung kamu renovasi jadi rumah sakit,” kata mereka. Saya bilang “kekecilan designnya gak bagus, MER-C mau bikin design yang beda.”
Sekarang kalau orang Gaza lihat Rumah Sakit ini nangis karena mengingatkan mereka dengan Kubah As sakhrah. Dulu ketika sebelum Gaza diblokade, hari Jumat setelah sholat duha laki-lakinya akan marching sampai ke Al Aqsa jadi pagi habis duha mereka jalan sambil sholawatan dan saat itu tentara Yahudi tidak berani menyetop mereka. Tapi yang muda-muda belum pernah ke Al Aqsa maka kemudian melihat gedung ini seolah-olah de Javu kaya inilah Al Aqsa.
Rumah Sakit ini kemudian tidak hanya menjadi pusat layanan Kesehatan, tapi sudah menjadi social landmark. Hari Jumat ketika liburan, itu keluarga pada ke sini bawa tikar, cemilan, gelar karpet di parkiran-parkiran, di bawah pohon, duduk di depan Rumah Sakit.
Kalau 2009 ditanya tentang rombongan RS Indonesia dianggapnya orang China karena orang Gaza cuma tahu empat bangsa, kalau hitam orang Afrika, kalau ngomong arab orang Arab, kalau rambutnya pirang matanya agak biru kehijauan itu orang Eropa, sisanya orang China, paling banter kalau keliling disebutnya Malaysia kalau Indonesia tidak tahu.
“Indonesia sebelah mananya Bali, Indonesia sebelah mananya yang kena tsunami, karena mereka tahunya itu. Tapi kalau sekarang “dari mana? Indonesia, ohh RS Indonesia,” sekarang sudah seperti pulang ke kampung sendiri kalau ke Gaza. Relawan yang di Gaza ya kalau di Indonesia mungkin sudah bikin RT sendiri, kalau lama lagi sudah bisa jadi kampung Indonesia di situ. (W/R7/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis