PENDIDIKAN sejatinya adalah upaya menyucikan jiwa dan mencerdaskan akal secara paripurna. Ia bukan sekadar transmisi pengetahuan, tapi pembentukan peradaban. Namun kini, dunia digital datang bak tsunami yang menenggelamkan nilai-nilai hakiki pendidikan. Teknologi menggoda dengan kemudahan, tapi sekaligus melumpuhkan ruh mendidik yang penuh kesabaran dan ketelatenan.
Banyak yang kini percaya bahwa YouTube bisa menggantikan guru, dan Google lebih pintar dari perpustakaan. Padahal tidak ada algoritma yang bisa menggantikan sentuhan hati seorang pendidik sejati. Dunia digital menjadikan anak-anak lebih cepat tahu, tapi tak menjamin mereka bijak dalam menggunakan apa yang mereka tahu. Pendidikan pun jadi kehilangan arah: tahu banyak, tapi tak kenal hikmah.
Guru—dulu digugu dan ditiru—kini diburu sertifikasi agar hidupnya layak, tapi malah tercerabut jiwanya sebagai pendidik. Di banyak ruang kelas, guru hadir hanya untuk menggugurkan jam mengajar. Tak lagi ada cahaya yang terpancar dari hati untuk menerangi jiwa anak-anak didik. Kelas berubah menjadi ladang administratif, bukan taman ilmu yang hidup.
Lebih miris lagi, tujuan pendidikan kini semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan. Lulus sekolah berarti berburu ijazah, bukan membentuk karakter atau mengejar keberkahan ilmu. Anak-anak diajari menjadi mesin produksi, bukan manusia berjiwa mulia. Cita-cita mulia diganti dengan ambisi kosong: kerja, gaji, beli, dan mati.
Baca Juga: Kisah Juraiz Hikmah Kekuatan Doa Seorang Ibu
Negeri ini mayoritas muslim, tapi sistem pendidikannya kehilangan ruh keislaman yang sejati. Tidak terdengar lagi doa bersama yang menembus langit setiap pagi, hanya absen yang jadi ritual suci. Pendidikan Islam tereduksi menjadi hafalan kosong tanpa pemaknaan. Lalu kita bertanya, mengapa moral anak-anak kita runtuh?
Para pendidik kehilangan idealisme, terperangkap dalam labirin regulasi. Mereka tak lagi bebas mendidik dengan hati karena terjepit target, angka, dan laporan. Bahkan, kurikulum pun tak memberi ruang bagi pembentukan ruhani yang kuat. Anak-anak dijejali materi, tapi kosong dari makna hidup.
Kita mendambakan anak-anak cerdas, tapi lupa menjadikan mereka baik. Kita bangga anak bisa coding sejak SD, tapi tak peduli jika ia tak mampu menahan emosi saat kalah main game. Dunia digital membentuk mereka jadi generasi instan: cepat puas, tak tahan lelah, mudah menyerah. Dimana peran pendidikan yang harusnya menguatkan jiwa?
Dulu, pendidikan melahirkan ulama, negarawan, dan tokoh bangsa. Kini, ia melahirkan pegawai, selebgram, dan konsumen yang tak habis-habis nafsunya. Tujuan hidup menyempit, mimpi pun jadi rendah. Sekolah bukan lagi tempat menempa jiwa, tapi tempat mengejar ranking dan gengsi.
Baca Juga: Anak Pintar Tapi Tak Shalat: Gagal Pendidikan atau Gagal Jadi Orang Tua?
Pendidikan sejatinya adalah jihad, bukan sekadar profesi. Guru adalah penjaga peradaban, bukan hanya pencetak nilai. Tapi jika ruh ini tak segera dibangkitkan, kita hanya akan menuai generasi kering jiwa, rapuh semangat, dan hampa tujuan. Kita sedang membangun bangsa tanpa pondasi.
Anak-anak kita butuh lebih dari sekadar WiFi dan gadget canggih. Mereka butuh teladan, pelukan hangat, dan nasehat yang menenangkan. Mereka perlu melihat guru menangis karena cinta, bukan marah karena gaji. Mereka perlu sekolah yang membentuk hati, bukan hanya otak.
Mari kita sadari, pendidikan bukan tentang berapa banyak anak lulus, tapi tentang seberapa kuat jiwa mereka saat menghadapi hidup. Bukan soal seberapa banyak nilai sempurna di rapor, tapi seberapa luhur mereka memperlakukan sesama. Mari kembalikan ruh pendidikan: mendidik dengan hati, menanamkan iman, menumbuhkan cinta. Itulah inti dari pendidikan dalam Islam.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi? Bangkitkan kembali pendidikan yang bernyawa, yang melahirkan generasi Rabbani. Jangan biarkan dunia digital mencuri anak-anak kita, karena masa depan umat ditentukan dari siapa yang mendidik mereka hari ini.[]
Baca Juga: Menghafal Qur’an Sejak Dini: Bekal Masa Depan Anak
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kemenag Sediakan Beasiswa Pendidikan Jarak Jauh untuk Guru