Jakarta, 7 Dzulhijjah 1435/1 Oktober 2014 (MINA) – Amir Dakwah Jamaah Muslimin (Hizbullah) untuk wilayah Jabodetabek, Syamsuddin Ahmad menyatakan rukyat lokal tidak bisa mengakomodir pelaksanaan ibadah haji.
“Rukyat lokal jelas tidak bisa mengakomodir pelaksanaan ibadah haji, karena sifat ibadah haji harus sentral pada satu hari yang sama,” kata Syamsuddin kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Selasa malam (30/9), saat ditemui di kediamannya di Cengkareng, Jakarta Barat.
Dia mencontohkan, jika Indonesia melakukan rukyat hilal (melihat bulan) bulan Dzulhijjah pada Rabu, 24 September, yang semuanya tidak bisa melihat hilal, maka bulan Dzulqa’dah digenapkan 30 hari. Sementara 4 jam kemudian , Arab Saudi melakukan rukyat hilal, dan berhasil melihat hilal, berarti ini yang dipercayai.
“Karena pada hakekatnya hilal itu sudah terlihat, hanya masih belum tersingkap dalam pandangan umat Islam yang melakukan rukyat di Indonesia karena beberapa kendala, terutama hambatan ghumma (tertutup awan), sehingga tidak bisa melihat hilal,” ujar dai sekaligus guru agama yang mengajar di beberapa sekolah itu.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Menurutnya, Muslimin yang sekarang sedang melaksanakan ibadah haji, mau tidak mau, dari mana pun negara asalnya, mengikuti keputusan yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi yang berhasil me-rukyat hilal untuk menetapkan 1 Dzulhijjah.
“Puncak ibadah haji di Arafah, 9 Dzulhijjah, jatuh pada tanggal 3 Oktober 2014. Ini merupakan salah satu bukti tentang Rukyat Global itu.”
Pria kelahiran Bima itu menegaskan, antara Rukyat Global dengan Rukyat Lokal, mamfaat terbaik yang bisa diambil adalah yang sifatnya global, sebagaimana globalnya dunia Islam dan merujuk bahwa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).
“Muslimin ini semestinya berada di dalam satu kepemimpinan yang sentral, sehingga Muslimin yang ada di dalamnya bisa dikendalikan cara pandangnya, cara memahami tentang Rukyat Global ini,” tambahnya.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
Sebelumnya, Ahad (28/9), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kebudayaan, KH. Cholil Ridwan, menyesalkan Menteri Agama RI menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah 1435 pada Jumat, 26 September, setelah bulan Dzulqaidah di-istikmalkan (disempurnakan) menjadi tiga puluh hari.
Penetapan itu membuat hari raya Idul Adha jatuh pada Ahad, 5 Oktober 2014, padahal pelaksanaan wukuf haji di Arafah, ditetapkan oleh Kerajaan Arab Saudi pada Jumat 3 Oktober dan hari raya pada 4 Oktober.
“Arafah cuma satu di dunia. Bagaimana pemerintah bisa Idul Adha Ahad? Indonesia melihat Arafah yang mana?” kata Cholil, di mana dalam ajaran Islam, hari raya Idul Adha merujuk pada pelaksanaan wukuf jamaah haji di Arafah.
“Saya yakin buminya satu, mataharinya satu, bulannya satu, dan harinya (Idul Adha) satu,” katanya. (L/P001/R03)
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)