Oleh: Widi Kusnadi, Redaktur di Kantor Berita Islam Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sampai pada Rabu (26/8/2015 ) kurs rupiah ditutup melemah 0,56% berada di posisi Rp14.133/dolar AS pada penutupan perdagangan pasar.
Mata uang negara-negara di Asia Tenggara mayoritas melemah. Hanya dolar Singapura yang menguat 0,08%. Mata uang lainnya melemah, yaitu peso Filipina (-0,22%), ringgit Malaysia (-1,74%), baht Thailand (-0,25%), dan rupiah melemah 0,37%.
Beberapa analis ekonomi menyatakan, sejak akhir tahun 2013, nilai tukar rupiah terus melemah. Berbagai peristiwa telah diungkapkan oleh pemerintah dan analis ekonomi, disebut-sebut sebagai alasan mengapa rupiah melemah. Realitanya, rupiah memang salah satu mata uang terlemah di dunia, yang nilainya mudah ditekan oleh perubahan kondisi ekonomi, baik di luar maupun di dalam negeri.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Penyebab Melemahnya Rupiah
Rupiah termasuk dalam kategori soft currency, yaitu mata uang yang mudah terdepresiasi. Mata uang negara-negara berkembang umumnya adalah mata uang tipe ini. Sedangkan mata uang negara maju seperti Amerika Serikat disebut hard currency karena kemampuannya untuk mempengaruhi nilai mata uang negara lain. Berikut beberapa hal yang mempengaruhi nilai rupiah:
- Ketidakstabilan kondisi politik merupakan salah satu penyebab utama jatuhnya nilai soft currency. Contohnya saat krisis tahun 97/98. Nilai rupiah menembus angka hinggs Rp. 17.000/ dolar AS. Kondisi negara-negara sekitar juga turut mempengaruhi nilai tukar mata uang soft currency itu. Sebagai contoh, jika di negara-negara sekitar banyak terjadi kerusuhan, bencana atau terjadi ketidakstabilan keamanan lainnya, maka rupiah ikut melemah. Sebaliknya, jika negara berkembang lainnya (terutama negara tetangga) dalam kondisi stabil, maka rupiah cenderung menguat.
- Perlu diketahui, modal yang beredar di Indonesia, terutama di pasar finansial, sebagian besar adalah modal asing. Ini membuat nilai rupiah tergantung pada kepercayaan investor asing terhadap prospek bisnis di Indonesia. Semakin baik iklim bisnis Indonesia, maka akan semakin banyak investasi asing di Indonesia, dengan demikian rupiah akan semakin menguat. Sebaliknya, semakin negatif pandangan investor terhadap Indonesia, Rupiah akan kian melemah.
- Selain itu, performa data ekonomi Indonesia, seperti pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product), inflasi, dan neraca perdagangan (impor dan ekspor) juga cukup mempengaruhi rupiah. Pertumbuhan PDB yang bagus akan menyokong nilai Rupiah, sebaliknya defisit neraca perdagangan akan membuat Rupiah terdepresiasi. Itulah sebabnya kenapa sangat penting bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor dan mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Siapa yang Untung Jika Rupiah Melemah
- TKI di luar negeri
Kiriman TKI ke keluarganya di Indonesia akan menjadi berlipat nilainya seiring melemahnya rupiah dan hampir semua uang kiriman TKI dalam bentuk dolar AS ketika akan mengirim ke Indonesia. Ini menjadi momen bagus bagi para TKI untuk segera mengirimkan hasil kerjanya selagi dolar masih berharga tinggi terhadap rupiah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
- Surplus Neraca Perdagangan
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah membawa berkah bagi anggaran negara. Pasalnya, pelemahan tersebut akan memberikan surplus dalam neraca perdagangan.
Bambang mengungkapkan, setiap rupiah melemah akan memberikan keuntungkan. “Pelemahan Rp 100 per dolar AS, kontribusi tambahan surplus ke Anggaran Pendapatan Negara (APBN) mencapai Rp 2,3 triliun. Jadi pelemahan tidak membahayakan anggaran.
Meski begitu, Bambang enggan jika pemerintah disebut ingin mencari keuntungan dari kondisi pelemahan kurs rupiah.
- Produk Indonesia di Luar Negeri
Harga produk Indonesia yang dijual di luar negeri akan makin murah bagi. Secara teoritis, hal ini bisa meningkatkan pangsa pasar bagi produk-produk Made In Indonesia. Selain itu, perusahaan berorientasi ekspor menerima pembayaran dari luar negeri dalam bentuk Dolar AS yang nilainya semakin tinggi seiring melemahnya rupiah. Dengan sendirinya, kondisi ini bisa meningkatkan ekspor Indonesia.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
a. Perikanan
Sejumlah perusahaan perikanan yang berorientasi ekspor memanfaatkan momentum ini untuk bisa menggenjot penjualan ekspor mereka hingga akhir tahun.
Sebagai catatan, PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk (DSFI) membukukan penjualan 1.848 ton atau senilai Rp 136,54 miliar selama semester I – 2015. Sebanyak 1.548 ton atau senilai Rp 131,47 miliar di antaranya untuk ekspor, sisanya lokal. DSFI juga berhasil mencetak laba bersih Rp 3,78 miliar.
Berbeda dengan DSFI, PT Central Proteina Prima Tbk (CPRO) pada semester I-2015, mencatatkan penjualan Rp 4,64 triliun.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
b. Kopi
Selain itu, Ketua Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki) Hutama Sugandhi mengatakan, eksportir dan petani kopi Indonesia mendapatkan keuntungan dari melemahnya mata uang rupiah.
“Eksportir dan petani mendapat perbaikan keuntungan dengan pelemahan ini, tahun lalu produksi kopi sedang tidak bagus, sedangkan tahun ini produksi kita bagus,” kata Hutama Sugandhi Jakarta, Sabtu (22/8/2015).
c. Kakao
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sektor lain, pengusaha dan petani kakao sebagai bahan baku cokelat meraup keuntungan lumayan dari pelemahan Rupiah akhir-akhir ini. Sebagai contoh, petani di Sulawesi Selatan yang mengalami penurunan volume produksi dalam beberapa bulan terakhir, namun dengan melemahnya rupiah, mereka tetap mendapatkan hasil menggembirakan.
Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulawesi Selatan, Yusa Rasyid Ali, mengungkapkan, harga kakao di pasar komoditas dunia sekitar USD3.028 perton. Kalau saja nilai dolar tidak menguat, dan nilai rupiah melemah, petani dan eksportir pasti akan rugi.
3. Agen Wisata
Sementara itu, Melemahnya nilai tukar rupiah juga menguntungkan eksportir dan agen wisata. Di Yogyakarta misalnya, mereka kebanjiran pesanan dalam beberapa pekan ini. Wisatawan mancanegara biasanya melakukan reservasi setahun sebelum kunjungan ke Yogyakarta. Wisatawan mancanegara yang reservasi itu kebanyakan dari Eropa.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
d. Mebel
Selain itu, perusahaan furnitur juga mendapat banyak pesanan. Para pembeli dari beberapa negara seperti mebel dari Denmark, Jerman, dan Spanyol yang telah melakukan pememesanan membuat omzet penjualan naik hingga 10 persen dari kondisi normal. Singkat kata, harga dolar yang tinggi jelas menguntungkan eksportir.
Siapa yang Rugi Jika Rupiah Melemah
Selain dampak posisif dari melemahnya rupiah seperti yang disebutkan di atas, ada juga sederet kerugian yang ditimbulkan. Yang paling utama, kejatuhan mata uang suatu negara menandai turunnya kepercayaan investor terhadap negara tersebut. Besarnya kebutuhan akan barang impor karena menguatnya nilai tukar dollar AS juga membuat inflasi semakin tak terkendali.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
1. Pengusaha Tahu Tempe
Kita mulai dari level bawah, bagi para pengusaha yang bahan baku produknya berasal dari luar negeri, tentu hal ini menjadi kendala yang cukup serius bagi kelangsungan usahanya. Sebagai contoh ringan, pengusaha tahu tempe yang mengandalkan bahan baku kedelai impor (karena petani Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional).
Harga tahu, tempe dan sule (susu kedelai) dapat dipastikan akan mengalami kenaikan drastis akibat bahan baku yang semakin mahal. Padahal makanan tersut menjadi alternatif utama masyarakat ketika harga daging melejit.
2. Peternak
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Selain tahu tempe, pengusaha pakan ternak juga dipastikan mengalami masalah serius. Hal itu karena lebih dari 50 persen bahan bakunya diimpor dari luar negeri. Selama ini para pengusaha mengipor bahan baku pakan ternak (termasuk jagung) dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan India.
Produksi Jagung Nasional yang hanya mencapai 5,5 juta ton pertahun belum mampu mencukupi kebutuhan jagung nasional yang mencapai 8,5 juta ton pertanunnya. Dengan naiknya harga pakan ternak, otomatis harga daging ayam juga akan mengalami kenaikan.
Di sektor lain, Indonesia akhir-akhir ini juga diguncang dengan kelangkaan daging sapi. Untuk memenuhi hal itu, pemerintah memutuskan untuk mengimpor sedikitnya 50 ribu sapi dari Australia. Jika rupiah semakin melemah, tentu harapan pemerintah untuk bisa menurunkan harga daging sapi di pasaran akan mengalami kendala karena harga sapinya saja sudah mahal, apalagi dagingnya.
3. Pengusaha Elektronik dan Automotif
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Harga barang-barang elektronik dan automotif juga dipastikan akan mengalami lonjakan drastis. Hal ini karena barang-barang tersebut merupakan produksi luar negeri, atau jika dibuat di Indonesia, bahan bakunya diimpor dari luar, atau minimalnya, pemilik/ pemegang saham perusahaan bukan orang pribumi. Kenaikan harga berdampak pada daya beli masyarakat terhadap produk-produk elektronik dan otomotif semakin rendah dan para pedagang pastinya bersiap-siap merasakan penurunan omset penjualannya.
4. Utang Luar Negeri
Pada skala makro, utang luar negeri, baik oleh pemerintah maupu swasta akan membengkak dan menjadi beban bagi negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, setiap rupiah melemah Rp 100, defisit anggaran bertambah Rp 940,4 miliar hingga Rp1,21 triliun.
Bank Indonesia (BI) merilis data terbaru mengenai posisi utang luar negeri Indonesia per April 2015, sebesar USD 299,84 miliar (4.200 triliun, jika kurs Rp. 14.000) .
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Utang tersebut terdiri atas utang pemerintah serta swasta. Porsi utang pemerintah per April 2015 tercatat sebesar USD 127,95 miliar dan Bank Indonesia tercatat 4,9 miliar. Sehingga, total utang pemerintah dan Bank Indonesia adalah USD 132,86 miliar.
Sedangkan utang luar negeri swasta tercatat sebesar USD 166,98 miliar. Utang luar negeri swasta ini terdiri dari utang perbankan dan nonbank.
Utang luar negeri perbankan tercatat USD 31,91 miliar, sedangkan utang nonbank tercatat USD 135 miliar. Lembaga bukan bank terdiri dari LKBB atau nonbank financial corporation dengan jumlah utang USD 11,52 miliar dan perusahaan bukan lembaga keuangan atau nonfinancial corporation sebesar USD 123,54 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara dalam pernyataannya mengatakan posisi utang luar negeri per April 2015 masih cukup sehat, namun perlu diwaspadai risikonya terhadap perekonomian. Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan utang luar negeri, khususnya sektor swasta.
5. Kredit Bermasalah (Non Performing Loan)
Pelemahan rupiah juga akan memberikan dampak pada kenaikan suku bunga. Tingginya suku bunga akan menghambat pertumbuhan kredit. Pelemahan rupiah akan memicu tingginya risiko kredit bermasalah.
Dengan terjadinya banyak kredit macet, bisa dipatikan akan mengganggu stabilitas perekonomian nasional karena negara mengalami perlambatan ekonomi.
Saran
Sudah selayaknya, Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan manusianya menjadi negara yang kuat, mandiri, tidak tergantung kepada utang luar negeri dan mampu mengelola aset-aset negara berupa sumber daya alam secara mandiri. Jika memang belum mampu, setidaknya kita memiliki posisi tawar yang tinggi apabila ingin bekerja sama dengan perusahaan asing.
Rakyat Indonesia juga harus memiliki jiwa kreatif, tidak mengandalkan produk-produk luar negeri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketergantungan kepada suatu produk tentu akan membuat kita berada di posisi sulit pada kondisi tertentu, terutama saat krisis seperti saat ini.
Semangat untuk dapat menjadi negara swasembada pangan harus selalu digalakkan oleh siapapun, terutama pemerintah sebagai penentu kebijakan.
Akhirnya, tidak ada solusi yang paling efektif selain rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam ini kembali kepada ajaran agamanya. Dalam ajaran Islam, kita sangat ditekankan untuk hidup sederhana, mandiri dalam berusaha, menjauhi riba, dan mampu menjadi contoh bagi bangsa lain dalam menyelesaikan setiap persoalan, baik dalam negeri maupun upaya mendukung perdamaian dan menghapuskan penjajahan. (R03/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)