rohingya-300x184.jpg" alt="kondisi kamp rohingya" width="300" height="184" /> Kamp pengungsi Rohingya (Potho: Dailystar)
Pekan ini, tepatnya Rabu (3/12), Presiden Myanmar Thein Shein telah menyerahkan Rancangan Undang-undang tentang Agama dan Pernikahan, kepada parlemen, di tengah kecaman dunia internasional.
Masalahnya adalah dalam RUU itu diadakan beberapa pembatasan terutama dengan sasaran terhadap warna minoritas muslim Rohingya yang secara sistematis mendapat perlakuan tidak adil, melanggar HAM, melanggar hukum internasional, dipaksa pergi dan lain-lain, dari Pemerintah Myanmar.
Dalam RUU itu antara lain diatur pembatasan pernikahan antaragama, konversi agama dan tingkat kelahiran. Para aktivis kelompok hak asasi manusia mengatakan ikhwal-ikhwal ini akan semakin memperuncing masalah antara etnis minoritas dan kaum Budha.
Sekelompok biksu Budha ultranasionalis, yang dikenal sebagai Ma Ba Tha, adalah pelopor dari kampanye menggolkan RUU tersebut, karena dalam RUU tersebut, setiap wanita Buddhis harus memiliki izin jika hendak menikah dengan pria dari agama lain.
Baca Juga: 39,2 Ton Harapan dari Langit: Kisah Misi Satgas Garuda Merah Putih II untuk Gaza
RUU itu juga membatasi jumlah anak dari setiap keluarga, satu langkah yang dimaknai sebagai usaha mencegah tambah banyaknya warga minoritas muslim Rohingya.
Tidak hanya itu, bagi siapa saja yang ingin mengganti agamanya, harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat melalui proses berbelit-belit yang akan memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
Dilaporkan, Ma Ba Tha juga mengusulkan empat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang ganti agama, monogami dan pengendalian populasi.
Dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency pada Kamis, Tun Tun Oo, seorang aktivis Kristen, mengatakan: “Tidak ada yang dapat mengendalikan iman seseorang. RUU Antaragama dan Perkawinan sangat bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional dan konstitusi Myanmar itu sendiri,” tegasnya.
Baca Juga: Dari Kijang Inova hingga Kopi yang Mengubah Hidup
Sebanyak 89 persen dari 55 juta penduduk Myanmar adalah Buddha sedangkan umat Islam dan Kristen masing-masing berjumlah sekitar 4 persen dari populasi.
Perlu ditambahkan, RUU juga mengatur tidak ada pembatasan pada pria Buddha yang ingin menikah di luar keyakinan mereka, sementara wanita harus meminta izin dari otoritas setempat dan melakukan pemberitahuan terlebih dahulu untuk kemudian diberikan izin.
Pasangan harus membatalkan pernikahan mereka jika ada keberatan pada undang-undang yang berlaku atau dihukum dua tahun penjara.
“Rancangan Undang-undang yang diusulkanitu bersifat diskriminatif kepada perempuan karena pada umumnya secara fisik dan mental mereka lebih lemah dari laki-laki, karenanya seharusnya mereka perlu diawasi dan dilindungi,” aliansi kelompok masyarakat sipil mengatakan.
Baca Juga: Santri AGA Nurul Bayan Kibarkan Merah Putih dan Palestina di Puncak Cakra
Sementara itu komentar kain datang dari aktivis Jaringan Perdamaian Kachin, Khun Jar yang mengatakan, “Kami berasumsi bahwa RUU ini dbikins karena pemerintah ingn mendiskriminasikan kebangsaan dan agama tertentu”.
Dia mencela Pemerintah Myanmar sebab mestinya malu kepada dunia internasional mengajukan RUU semacam ini pada Parlemen DPR, di mana mereka menerapkan sistem demokrasi.
Para pengamat mengatakan Presiden Tein Sein telah menyampaikan RUU tersebut untuk mendapat dukungan masyarakat mayoritas Budha dalam pemilu yang akan diadakan tahun depan.
Ratusan orang tewas dan lebih dari 140.000 telah mengungsi sejak kerusuhan yang dipimpin oleh mayoritas Budha sejak 2012 dan sebagian besar korban adalah Muslim.
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Human Rights Watch awal tahun ini menyerukan kepada Parlemen Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan dan mengahapus hukum, yang melatarbelakangi terjadinya ketegangan komunal” dan “mempolitisasi agama.”(T/P004/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Selat Hormuz: Urat Nadi Energi Dunia dari Jantung Teluk Persia